(Tidak) Berkepribadian Dalam Budaya

Judul diatas adalah keprihatinan sekaligus provokasi kepada kita, wahai pekerja-pekerja di sektor seni budaya, yang masih mencoba bertahan, limbung, demoralisasi, ketar-ketir ataupun yang tetap on fire menjaga api cita-cita Trisakti para pendiri bangsa ini.

***

Pemilihan Presiden 2014 telah selesai dilalui dengan segala pernak-pernik yang menyertainya, seperti lembaga-lembaga survey yang bermasalah dalam hitung cepat, gugatan kubu Prabowo–Hatta ke Mahkamah Konstitusi, hingga perseteruan di parlemen antara Koalisi Merah Putih versus Indonesia Hebat. Tapi terlepas dari hal-hal yang disebut diatas tadi, secara umum capaian atas pesta demokrasi ini adalah terbilang sukses.

Sukses, dalam hal ini, bisa dilihat dari partisipasi rakyat yang terlibat aktif saat momen pemilihan presiden berlangsung. Dan saya pernah mencatatnya dalam tulisan berjudul “Indahnya Pemilu Presiden 2014”, yang dimuat di portal ini.

Fenomena Jokowi memang meledak, terdengar, tersebar hingga ke seluruh dunia. Menjadi perbincangan politisi, orang biasa hingga musisi (rock) terkenal mancanegara yang memang tahu kalau ‘Bapak Esemka’ ini, selain senang blusukan, juga gandrung menkonsumsi musik rock. Maka tak heran bila pimpinan Megadeth, Dave Mustaine dari Amerika, Arkarna dari Inggris, Jason Mraz, Mike Tramp sampai Sting memberi dukungan terbuka, ucapan selamat dan respek lewat akun media sosial resmi mereka.

Jokowi menjadi media darling, laris jadi liputan khusus di koran, wajahnya close up di sampul majalah TIME, televisi sukses menjaga rating bila talk show mereka menghadirkan Jokowi, potongan-potongan suaranya diulang rutin sebagai brand promosi stasiun radio dan seterusnya dan seterusnya.

Partisipasi politik rakyat dalam mendukung sekaligus memenangkan Jokowi hingga terpilih menjadi presiden terwujud dalam grup-grup relawan yang tersebar seluruh nusantara. Tercatat ada Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP), Posko Jokowi, Sahabat Buruh, Seknas Jokowi, Projo, Jo-Man (Jokowi Mania), Laskar Jokowi, Seknas Tani, ARM (Aliansi Rakyat Merdeka), Gema Jokowi, Kornas Jokowi, Komunitas Pengusaha Jokowi-JK, dan Alumni UGM (blusukan Jokowi).

Konser–konser musik yang memberi dukungan pun digelar; Revolusi Harmoni Untuk Revolusi Mental, Rock For Vote, dan puncaknya pada”Konser Rakyat“, syukuran pelantikan Jokowi-JK di Bundaran HI, Tugu Monas, dan Istana Presiden, 20 Oktober 2014.

Buku–buku soal Jokowi terbit; Jokowi Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker; Jokowi: Spirit Bantaran Kali Anyar; Jokowi: Tokoh Perubahan; Jokowi: From Zero To Hero; Jokowi: Pesona dan Kharisma; Jokowi: Politik Tanpa Pencitraan; Jokowi: Memimpin Kota Menyentuh Jakarta; Jokowi; Dari Jualan Kursi Hingga Dua Kali Mendapatkan Kursi; Jokowi: Si Tukang Kayu. Slogan-slogan pun lahir; Salam Dua Jari, Jokowi Adalah Kita, Vote for Jokowi, JKW4P dan sebagainya.     

 …and party is over, atau pesta harus berakhir. Usai pelantikan, Jokowi–Jusuf Kalla membentuk kabinet gotong royong agar segera bisa kerja, kerja, kerja menjalankan pemerintahan. Jargon Trisakti dan Nawacita, yang dulu diserukan Soekarno, dipakai kembali oleh Jokowi, bergema mengiringi harapan besar akan datangnya perubahan bagi Indonesia, akan datangnya kesejahteraan nyata, cukup sandang, papan, pangan bagi seluruh rakyat negeri tanpa terkecuali. Mengeyam pendidikan murah (bahkan gratis) hingga perguruan tinggi, melahirkan sumber daya manusia unggul–terdidik yang kemudian terserap bekerja di sektor–sektor industri yang berbasis di daratan seperti pengolahan, pertambangan, kehutanan, pertanian, peternakan, maupun yang berbasis ekonomi maritim: perikanan, pengembangan pesisir pantai, transportasi laut dan lain sebagainya.

Tapi, seperti pemerintahan yang sudah-sudah, kita kembali dibuat kecewa karena Jokowi – JK seperti lupa janji kampanyenya.

Setelah meluncurkan tiga kartu untuk masyarakat tidak mampu, yaitu Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera (KSKP), Jokowi–JK menaikkan harga BBM, yang memicu kenaikan harga–harga kebutuhan pokok yang lain. Seperti efek domino, maka beras naik, gas naik, tarif angkot naik, tarif kereta naik, cabai naik sampai harga kangkung, juga ikutan naik dan membuat seorang teman perlu teriak di status medsosnya sebab jatah pakan marmut peliharaanya harus ia kurangi.

Dari itulah kita bertanya, Jokowi-JK ini serius mau menegakkan Trisakti atau justru melanjutkan dan jadi pelayan Tuan Imperialisme dalam mengeksploitasi dan menjajah Indonesia?

***

Hari ini, dibawah dikte imperialisme neoliberal, kita (masih) jadi buruh yang gajinya habis untuk beli shampoo, sabun, odol, mbayar kontrakan, lalu mendatangi mall atau pusat belanja untuk benda–benda yang akan mendukung tampilan fisik terbaik kita.

Hari ini, kita sudah jadi manusia tidak taat dan tidak punya kesabaran di jalan raya, senang melanggar aturan, alpa surat–surat, melawan arus jalan, terobos traffic light, terobos pintu perlintasan kereta, mengumbar klakson, ambil bagian dalam performance art kemacetan akut. Semua hal diatas sebab alasan menghemat waktu, mengejar waktu, bensin mahal, tak ada pembatasan kendaraan import, belum maksimalnya sistim trasportasi massal dan banyak alasan lain.

Hari ini, telinga dan hati kita telah terbiasa dan “lumrah” mendengar lagu-lagu (pop) berlirik eksploitasi percintaan, merendahkan kaum perempuan, dangkal, jorok sekaligus pesan cabul di dalamnya. Semua hal diatas sebab alasan monopoli koorporasi raksasa musik dunia yang memang maunya seperti itu, beriringan dengan mau pemerintah negeri–negeri maju dunia pertama (Amerika, Inggris, Perancis, Jepang, Jerman, Spanyol) menjajah (kembali) negara–negara berkembang dengan cara – cara  modern, membentuk karakter kita (rakyat Indonesia) jauh dari semangat memiliki nilai–nilai positif; rajin berproduksi dan gotong royong. Mereka ingin kita terus jadi bangsa yang bisanya konsumsi, konsumsi, dan konsumsi.

Hari ini, kita telah menjadi warga global di media sosial, sepanjang waktu sibuk dengan gadged, up date status, pamer perhatian, selfie terlayak, berdagang atau sekedar posting photo makan siang kita.

Hari ini, dunia pendidikan kita membentuk siswa menjadi individual yang pintar dan hebat. Para orang tua murid kurang percaya dengan kurikulum di sekolah formal, hingga harus dan perlu menambah “senjata” bagi anak-anaknya dengan memasukkan mereka ke bimbel atau malah home schooling sekalian. Ini tentu menjauhkan si anak dari relasi sosial, kerja-kerja kolompok dan budaya gotong-royong.

Untuk mahasiswanya, sekarang seperti jauh dari pertarungan gagasan, debat, diskusi juga produksi pikiran-pikiran kritis, yang umum terjadi obrolan mereka berkutat pada trend life style terkini. Kampus harusnya jadi benteng terakhir dari penetrasi pola pergaulan hidup hedonis-konsumerisme. Mahasiswalah yang harus mempertahankan budaya solidaritas, kebangsaan dan tetap menjadi agen perubahan, pelopor atas masalah-masalah sosial yang terjadi, bukan justru sebaliknya.

Hari ini, kita semakin jadi masyarakat individualis, dikondisikan-terkondisikan mencari selamat sendiri-sendiri akan kelangsungan hidup kita, juga hidup anak cucu kita. Moral agama tak bisa membuat kenyang perut yang lapar, dan tak mampu membendung keinginan kita menumpuk pundi-pundi harta sebanyak mungkin, apapun caranya– sembarang jalannya, tipu-tipu, menindas, korupsi, bunga hutang, rampok, jambret, maling dan sebagainya. Semakin tinggi capaian ekonomi kita raih maka semakin tinggi, kokoh dan runcing pagar rumah (pribadi) kita bangun.

***

Terakhir, kita pekerja-pekerja di sektor seni budaya harus mendesak pada Pemerintahan Jokowi-JK untuk konsisten mewujudkan cita-cita Trisakti para pendiri bangsa ini. Lewat produk-produk seni budaya yang sudah atau nanti akan tercipta. Kita harus mengawal Kepemimpinan Baru ini untuk benar-benar bersama rakyat memperjuangkan Trisakti, apapun resikonya.

Karena kita tahu, imperialisme bersama kaki tangannya di dalam negeri pasti tak akan tinggal diam untuk hal itu. Akan ada konsekuensi serius atas harga Trisakti, apakah mungkin nanti penggulingan kekuasaan seperti Soekarno dulu, diisolir seperti Korea Utara, embargo ekonomi abadi seperti Kuba, atau negara kita akan dicabik-cabik seperti Saddam Hussein di Irak atau Moammar Khadafi di Libya, tapi yang pasti kita harus berani, bersiap dan berlawan untuk situasi tersebut. Hanya dengan Trisakti-lah jalan kita menjadi bangsa yang maju, modern, adil makmur, berkarakter dan punya kepribadian akan tercapai.

Panjang umur untuk perjuangan rakyat mewujudkan Trisakti..!

Jakarta, 06 Mei 2015

Tejo Priyono, bekerja di Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid