Pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of Parties (COP) 21 di Paris, Perancis, Senin (30/11/2015), diapreasiasi banyak pihak.
Dalam pidato tersebut, Jokowi menyampaikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 29 persen dibawah business as usual pada tahun 2030. Bahkan bisa mencapai 41 persen jika mendapat bantuan internasional.
Namun, bagi Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Abetnego Tarigan, komitmen yang disampaikan oleh Presiden Jokowi tersebut masih meragukan.
Abetnego mengungkapkan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, ada proyek pembangunan tenaga listrik 35.000 watt dengan mengandalkan batubara. Padahal, batubara adalah energi kotor yang menaikkan emisi.
“Bagaimana mungkin target menurunkan emisi karbon 29 persen pada 2030 dapat tercapai, jika karbon yang dihasilkan dari pembakaran batubara, justru meningkat dua kali lipat dari 201 juta tCO2 pada 2015 menjadi 383 juta tCO2 pada 2024,” kata Abetnego kepada berdikarionline.com, Selasa (1/12/2015).
Lebih lanjut, Abetnego mengeritik Intended Nationally Determined Contribution atau INDC Indonesia. Menurut dia, dalam konteks kebaran lahan dan hutan, INDC Indonesia tidak memasukkan emisi dari kebakaran lahan dan hutan.
“Padahal kita tahu, bahwa sumber emisi Indonesia, sebagian besar dari land use land use change and forestry (LULUCF),” ungkapnya.
Menurut dia, pemerintah Indonesia seharusnya mengukur ulang baseline emisi dari kejadian kebakaran hutan dan gambut, sehingga perlu menjadikan kebakaran hutan dan lahan serta tata kelola gambut sebagai salah satu hal yang paling mendasar.
Terkait kerentanan Indonesia terhadap perubahan iklim, khususnya di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil, pidato Jokowi juga dianggap kurang bersesuaian dengan kenyataan di lapangan.
“Konversi terus terjadi. Berbagai proyek reklamasi terjadi di Indonesia, dan pulau-pulau kecil diserbu industri tambang dan sawit. Artinya, di tengah kerentanan, pemerintah terus memproduksi pembangunan berisiko tinggi,” papar Abetnego.
Bagi Abetnego, jika pemerintah Indonesia memang peduli pada isu perubahan iklim, maka pilihannya adalah beralih pada model pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
“Pembangunan ekonomi Indonesia tidak boleh lagi diserahkan kepada mekanisme pasar dan korporasi yang justru terbukti semakin melanggengkan komodifikasi dan finansialisasi sumber daya alam,” tandasnya.
Menurut dia, Jokowi seharusnya mengakui dan menjadikan model kelola rakyat yang berbasiskan pada kearifan lokal sebagai upaya mitigasi perubahan iklim, bukan kepada korporasi, termasuk dalam restorasi ekosistem.
Ulfa Ilyas
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid