WR Supratman Dan Kisah Lagu “Indonesia Raya”

Hari Musik Nasional, yang ditetapkan tanggal 9 Maret berdasarkan Keppres nomor 10 tahun 2013, merujuk pada hari lahir seorang musisi sekaligus pejuang kemerdekaan: Wage Rudolf Supratman.

Dia bukan hanya pencipta lagu kebangsaan dan lagu-lagu perjuangan yang penuh daya gugah, tetapi seorang pejuang yang mengabdikan hidupnya bagi kemerdekaan tanah-airnya.

Supratman lahir pada 9 Maret 1903 di Purworejo, Jawa Tengah. Ayahnya, Djoemeno Senen Sastrosoehardjo, seorang sersan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Sedangkan ibunya, Siti Senen, meninggal dunia ketika Soepratman masih kecil.

Sejak ibunya meninggal, Supratman kecil ia diasuh oleh kakak sulungnya, Roekijem Soepratijah, yang menikah dengan seorang Belanda bernama Van Eldik.

Sejak belia, bakat bermusik Supratman sudah nampak. Kebetulan, kakak sulung dan kakak iparnya pemain biola. Merekalah yang mengajari Supratman alat musik dawai yang digesek itu. Hebatnya, dia cepat menguasai alat musik tersebut.

Lantaran itu, Van Eldik memboyong Supratman ke kelompok musiknya, Black and White Jazz Band. Saat itu usianya masih belasan tahun.

Pada tahun 1914, Van Eldik dan istrinya pindah tugas ke Makassar. Supratman juga ikut diboyongnya. Di sanalah Supratman yang beranjak dewasa bisa mengenyam pendidikan, yakni Europeesche Lagere School (ELS). Supaya bisa diterima di sekolah khusus orang Belanda dan Eropa itu, nama Soepratman ditambahi “Rudolf”. Tetapi itu hanya berlangsung sebentar. Belakangan, pihak sekolah mengetahui hal itu dan langsung mengeluarkannya dari sekolah itu.

Ia lalu pindah ke Sekolah Dasar Angka Dua (2 Inlandsche School). Lalu berlanjut sebagai siswa di Sekolah Guru. Setelah tamat, Supratman sempat menjadi guru selama 3 tahun. Tetapi, rupanya, kakaknya keberatan dengan pekerjaan itu.

Setelah itu, Ia bekerja di kantor seorang pengacara keturunan Indo di Makassar. Dan, seperti kebanyakan keturunan Indo zaman itu, pengacara itu bersimpati dengan gerakan Indische Partij, yang digagas oleh tiga serangkai: Douwes Dekker, Tjipto Mangungkusumo, dan Ki Hajar Dewantara.

Kantor pengacara itu berlanganan koran-koran IP. Dan disitulah Supratman muda mengenal ide-ide pergerakan. Itu pula yang mendorong ia pindah ke kota Bandung, Jawa Barat, yang saat itu menjadi pusat pergerakan IP. Di sana ia bekerja sebagai jurnalis di Kaoem Moeda dan Kaoem Kita.

Di kota Bandung, ia beberapa kali pindah tempat bekerja. Ia sempat bekerja di Kantor Berita Alpena, lalu pindah lagi ke Kantor Berita Tionghoa-Melayu Sin Po. Di situ ia sering menulis berita tentang kaum pergerakan.

Dari pekerjaan sebagai penulis berita pergerakan, WR Soepratman mulai mengenal tokoh-tokoh pergerakan pemuda jaman itu, seperti Mohamad Yamin, Soegondo Djojopoespito, dan Mohammad Tabrani.

Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”

Tak jelas kapan lagu “Indonesia Raya” diciptakan WR Soepratman. Wartawan senior Alwi Shahab menuliskan, “Suatu hari, secara kebetulan Supratman membaca artikel berjudul ‘Manakah Komponis Indonesia yang Bisa Menciptakan Lagu Kebangsaan Indonesia yang Dapat Membangkitkan Semangat Rakyat’ dalam majalah Timboel terbitan Solo.”

Supratman merasa terpanggil oleh artikel itu. Ia merasa, seruan itu sengaja ditujukan padanya.

Ada juga yang mengatakan, lagu “Indonesia Raya” diciptakan WR Supratman tahun 1926. Itu bertepatan dengan Kongres Pemuda Indonesia pertama. Dia mendengar kabar pelaksanaan kongres itu dari Mohammad Tabrani.

Menurut Alwi Shahab, Supratman berniat memperdengarkan lagu ciptaannya itu kepada peserta Kongres Pemuda Indonesia I. Namun, entah kenapa, ia mengurungkan niat itu.

Versi lain mengatakan, Supratman membuat lagu itu pasca Kongres Pemuda Indonesia pertama. Jadi, pada saat kongres pemuda pertama itu, Ia mendengar pidato berkobar-kobar dari Tabrani. Tabrani antara lain berseru, “Rakyat Indonesia, bersatulah.”

Kata-kata itu sangat menyentuh Supratman. Ia kemudian menerjemahkan kata-kata itu melalui sebuah lagu berjudul Indonees, Indonees.

Lagu itu diperdengarkan pertama kali pada Kongres Pemuda Indonesia II di gedung Indonesische Clubgebouw, Jalan Kramat Raya 106, Jakarta. Saat itu, malam penutupan Kongres Pemuda II, Supratman mendatangi Ketua Sidang, Soegondo Djojopoespito, untuk meminta diberi kesempatan membawakan lagu ciptaannya.

Soegondo setuju, tapi ia meminta agar Supratman tidak menyanyikan liriknya. Maklum, liriknya ada banyak kata “Indonees, Merdeka”. Soegondo khawatir, lirik lagu itu akan memancing dinas intelijen kolonial untuk membubarkan acara kongres. Supratman setuju. Ia pun memainkan lagu ciptaannya itu menggunakan instrumen biola.

Banyak hadirin yang terpukau. Lagu itu benar-benar membangun jiwa dan raga para pendengarnya.

Usai kongres itu, karena daya gugah kebangsaannya, lagu itu mendadak populer. Organisasi kepanduan turut mempopulerkan lagu itu ke tengah-tengah rakyat.

Dua bulan kemudian, Partai Nasional Indonesia (PNI) turut menyanyikan lagu itu di kongresnya. Partai dan gerakan politik yang lain juga melakukan hal serupa.

Seiring dengan popularitas lagu itu, terbersit keinginan Supratman untuk merekamnya. Ia kemudian menghubungi orang yang bernama Yo Kim Tjan.

Yo Kim Tjan merekam lagu itu. Dalam piringan hitam itu, lagu tak beralun dengan alat musik saja, melainkan ada suara Supratman di sana. Pada tahun 1957, Yo Kim Tjan menyerahkan rekaman asli itu ke Djawatan Kebudayaan.

Gara-gara lagu itu, WR Soepratman beberapa kali berurusan dengan dinas intelijen Belanda (PID). Ia ditanya, mengapa dalam lagu itu banyak sekali kata “Indonees, Merdeka”. Maklum, ketika itu kata “Indonesia” dan “Merdeka” masih merupakan kata yang terlarang. Karenanya, pada 1930, Belanda melarang lagu ini.

Kapan lagu itu berubah nama menjadi Indonesia Raya? Pada tahun 1944, sebuah panitia yang ditugaskan mempersiapkan kemerdekaan ditugaskan mencari lagu Kebangsaan.

Panitia yang dipimpin oleh Sukarno itulah yang beberapa kali mengubah lirik dan judul lagu itu. Pada tanggal 8 September 1944, sebuah keputusan rapat memutuskan mengubah judul lagu itu dari Indonees, Indonees menjadi Indonesia Raya.

Beberapa liriknya pun berubah. Diantaranya: “Indones, Indones, moelia, moelia, tanahkoe, neg’riku yang koecinta” menjadi “Indonesia Raja, Merdeka, merdeka; Tanahku, neg’riku jang kutjinta!” Sedangkan “Indones, Indones, Moelia, Moelia, Hidoeplah Indonesia Raja” diubah menjadi “Indonesia Raja, Merdeka, merdeka, Hiduplah Indonesia Raja.”

Lagu Indonesia Raya pun diputuskan sebagai lagu Kebangsaan. Sayang, WR Soepratman tak sempat melihat lagu ciptaannya itu menjadi lagu kebangsaan Indonesia Merdeka. Ia lebih dulu di panggil Tuhan Yang Maha Kuasa pada tanggal 17 Agustus 1938.

Selain lagu Indonesia Raya, Ia juga menggubah lagu-lagu nasional seperti Dari Barat Sampai ke Timur, Bendera Kita, Bangunlah Hai Kawan, Ibu Kita Kartini, Indonesia Hai Ibuku, Matahari Terbit, dan Di Timur Matahari.

Kusno

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid