Kisah ‘Robin Hood’ dari tanah Silungkang

Anda pernah mendengar kisah Robin Hood? Kisah yang mirip dengan cerita rakyat Inggris itu banyak bertebaran di nusantara.  Salah satunya adalah Robin Hood dari tanah Silungkang, Sumatera Barat: Sulaiman Labai.

Pada tahun 1912, di bawah kekuasan kolonial Belanda, Silungkang merupakan pusat perdagangan dan pertambangan. Seiring dengan interaksinya dengan dunia luar, gagasan-gagasan radikal masuk juga ke tana Silungkang.

Pada tahun 1915, Sulaiman Labai, seorang saudagar muslim, mendirikan cabang Sarekat Islam di Silungkang. Tiga tahun kemudian, ia mulai mempelopori perlawanan terhadap peraturan-peraturan kolonial yang melarang pengangkutan beras.

Saat itu, sebagian besar rakyat Silungkang sedang dilanda kelaparan. Namun, ironisnya, kereta-kereta pengangkut beras belanda tidak pernah berhenti hilir-mudik melewati Silungkang. Beras-beras itu dikirim untuk pejabat dan administrator Belanda yang berada di tambang Ombilin di Sawahlunto.

Di sinilah aksi “Robin Hood” itu terjadi. Pada tahun 1918, Sulaiman Labai dan puluhan anggotanya memaksa kepala stasiun untuk menyerahkan dua gerbong beras dari keretap api yang melintas di Silungkang. Beras hasil rampasan itu kemudian dibagi-bagikan kepada rakyat yang kelaparan.

Sulaiman Labai ditangkap gara-gara aksi tersebut. Namun demikian, kisah kepahlawanannya membuat rakyat sangat bersimpati kepadanya dan Sarekat Islam. Dalam sekejap, banyak orang yang ingin bergabung dengan organisasi bentuk HOS Tjokroaminoto tersebut.

SI cabang Silungkang pun berkembang pesat. Selain memimpin SI, Sulaiman Labai juga memimpin koran kiri: Panas. Tetapi, sangat sedikit sumber tentang koran ini dan sepak terjang Sulaiman Labai di dalamnya.

Pada tahun 1924, SI cabang Silungkang diubah menjadi Sarekat Rakyat (SR). Meningkatnya aktivitas kaum radikal dalam perjuangan anti-kolonial mendorong pemerintah Belanda melakukan penangkapan-penangkapan. Pada tahun 1926, Sulaiman Labai ditangkap oleh Belanda.

Sulaiman Labai ditangkap sebelum terjadinya pemberontakan anti-kolonial di Silungkang  pada malam Tahun Baru 1927. Pemberontakan rakyat itu dipimpin oleh PKI dan Sarekat Rakyat. Pemberontakan itu menemui kegagalan. Ribuan aktivis, kaum tani, kaum buruh, ulama, dan rakyat biasa ditangkap oleh Belanda.

Nasib sulaiman Labai sendiri sudah tidak jelas saat itu. Sebuah artikel yang ditulis oleh Anwar Sirin, Perang Rakyat Silungkang Sumatera Barat 1927, menceritakan bahwa pada Maret 1928 Sulaiman Labai dan sejumlah pejuang rakyat Silungkang di pindahkan ke sebuah penjara di Pulau Jawa.

Anwar Sirin mencatat sebuah dialog antara  Sulaiman Labai dengan Rusad, seorang pribumi yang menjadi Mantri Polisi Belanda. Di situ, Mantri Polisi Rusad mengejek para pejuang itu dengan mengatakan: “Kamu semua telah merasakan tanganku. Tentu kamu menaruh dendam kepadaku. Tapi jangan harap kamu semua dapat membalas dendam itu. Sekalipun kini ada Sukarno mengikuti jejak kalian yang hendak merdeka dan hendak menjadi raja. Besok pagi kalian semuanya berangkat untuk jadi raja dan rakyat di hotel prodeo di tanah Jawa.

Sulaiman Labai, yang berada di barisan pejuang itu, maju kedepan dan mengatakan: “Tidak ada dendam kami terhadap pegawai dan amtenar bahkan terhadap Belanda pribadi, kami hanya dendam terhadap penjajah Belanda.”

Abdul Muluk Nasution, salah seorang tokoh pemberontakan rakyat Silungkang yang turut dibuang ke pulau Jawa, menulis satu lagi kisah keberanian Sulaiman Labai saat berada di penjara Belanda di Glodok, Jakarta.

Pada tahun 1930, dua tahun setelah Sumpah Pemuda, seorang tokoh PNI Jabar yang juga dipenjara di Glodok, Tussin, memberitahu Sulaiman Labai dan kawan-kawan perihal Sumpah Pemuda itu. Tidak hanya itu, Tussin juga mengajari Sulaiman Labai dan kawan-kawa menghafal dan menyanyikan lagu “Indonesia Raya”.

Pada pukul 8 malam, 28 Oktober 1930, di bawah pimpinan Sulaiman Labai, tokoh pemberontak Silungkang, Sumpah Pemuda dibacakan. Lagu Indonesia Raya pun mereka gemakan serentak di setiap sel penjara Glodok, tanpa mempedulikan risiko dicambuk atau diasingkan di sel gelap dengan tangan dan kaki terantai. Ya, Sulaiman Labai, pahlawan yang tak kenal takut itu.

Pada tahun 1937, ketika Abdul Muluk dibebaskan dari penjara, Sulaiman Labai yang sudah berumur 60-an tahun masih harus menjalani penjara 15 tahun lagi.

Pada tahun 1942, ketika Jepang menguasai Indonesia, Sulaiman Labai tetap berada di dalam penjara. Ia menolak dibebaskan oleh Jepang. Sebab, baginya, Jepang dan Belanda sama saja: merampas kemerdekaan rakyat Indonesia.

Sulaiman Labai, pejuang rakyat Silungkan yang tak kenal surut, meninggal di dalam penjara pada tanggal 15 Agustus 1945—dua hari menjelang Bung Karno dan Bung Hatta membacakan kemerdekaan negeri yang diperjuangkannya. Semoga kita tetap mengenang kisah perjuangan seperti beliau ini. Merdeka!

TIMUR SUBANGUN

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid