Suarakan Peristiwa 1965 Lewat Sastra

Perempuan itu sibuk menari-nari di pojok ruangan. Dibukanya rok yang ia kenakan, lalu digantungnya di dinding persis disampingnya saat menari. Ia menari-nari, berlenggok, bak orang yang tak tahu situasi di tengah lilin merah yang menerangi seluruh ruangan.

Makin tak jelas saja, perempuan itu menari tanpa motif. Bergerak bebas, mebuat semua orang yang menyaksikan tariannya tersentak-sentak. Apalagi, saat ia memotong-motong rambutnya dengan sebilah pisau. Rambut indahnya itu, kemudian dibakar menggunakan lilin yang meneranginya saat menari.

Di pojok lain, seorang lelaki sibuk memegang sebuah mayat. Tak jelas jasadnya siapa, entah itu bapaknya, ibunya, istrinya atau temannya. Yang pasti, leher mayat itu telah terlilit seutas kawat. Kawat yang ujung satunya menempel di salah satu tiang itulah yang menjadi alat pencabut nyawa si mayat. Lelaki itu meratap-ratap, hingga air matanya tak bisa lagi keluar, mungkin sudah kering.

“Ahhhh,” desah lelaki lain yang ada di bawah meja. Kepalanya tengah diinjak kaki meja.

Lelaki itu hanya bisa merintih, tak bisa melawan sedikitpun. Hanya meronta-ronta, mendesah. Mau minta tolong juga percuma. Tubuhnya sudah lunglai, kepalanya hampir pecah. Lelaki itu sunggung sudah lunglai tak berdaya. Jangankan untuk melawan,  suaranya saja kalah dengan suara heningnya malam. Giginya sudah dicabuti dengan tang, kepalanya diinjak, tubuhnya disiksa.

Sementara, di meja yang kakinya digunakan untuk menjepit kepala lelaki itu, ada seorang psikopat yang sedang duduk mengintrogasi. Lelaki itulah yang tega menyiksa ketiga tahanan tersebut. Dengan mesin ketik usang, ia sibuk mengetik laporan perihal ketiga tahanan yang ada di ruangannya itu.

“Aku makan ekstasi, inex, biar berani,” terdengar suara alasan kenapa si lelaki pembantai itu tega menjadi pencabut nyawa bak malaikat Izrail. Setelah puas membantai para tahanan, lelaki itu lalu mengambil beberapa lembar karung.

Nampaknya, karung-karung itu akan digunakan untuk memasukkan mayat para tahanan jika nanti mereka mati akibat siksaan. Benar saja, mengenakan kacamata Elvis, topi cowboy dan jaket kulit, ia kemudian menghampiri semua tahanan dan menyarungkan karung ke kepala para tahanan hingga mereka tak bisa bernafas.

****

Begitulah adegan demi adegan performance art yang ditampilkan oleh empat anggota teater ARTeri/ pada #Reboan Jaker, Rabu (18/2). Grup teater asal Kota Bekasi tersebut menyebut ‘Tukang Kacamata dan Penggemar Elvis’ sebagai judul karya performance art yang terinspirasi dari pembantaian 65 itu.

“Penampilan ini diinspirasi oleh tragedi pembantaian PKI pada tahun 65 lalu. Kita ingin menyuarakan tragedi yang sangat memilukan ini lewat penampilan teater,” kata ketua teater ARTeri, Dendi.

Naskah ‘Tukang Kacamata dan Penggemar Elvis’ sendiri terinspirasi dari film The Act Of Killing (Jagal) dan The Look of Silence (Senyap). Dua film dokumenter garapan Joshua Oppenheimer itu, kata Dendi, berhasil menguak sejarah kelam yang pernah diterima oleh anak bangsa ini. Selain juga, menginspirasi seniman untuk giat mengkampanyekan cerita asli dari tragedi yang menawaskan jutaan rakyat Indonesia itu.

“Film Joshua itu mengajarkan saya betapa kejamnya PKI dibantai. Yang pelajaran itu tidak saya dapatkan di sekolah,” jelasnya.

Sementara itu, Adek Ceeguk yang berperan menjadi perempuan yang sibuk menari dalam performance art ini menjelaskan, perannya itu menyimbolkan betapa sengsaranya para korban tragedi genosida terbesar yang ada di Indonesia tersebut.

“Membakar-bakar rambut itu melambangkan seorang korban sangat frustasi. Masa saya harus (berperan) membakar diri, jadi rambut saja yang saya bakar,” ucapnya.

Ditambahkan oleh Ricky yang menari dengan patung kepala, perannya lebih menonjolkan bagaimana para tahanan atau orang yang tertuduh PKI itu dibantai. “Misalnya, seperti di film Jagal itu, ada yang lehernya dililit oleh kawat hingga mati, dan masih banyak cara membunuh para tahanan dengan sadis,” ungkapnya.

Hal yang senada disampaikan oleh Fidel. Pria yang memerankan tahanan yang kepalanya diinjak oleh kaki meja itu juga menyimbolkan betapa tersiksanya korban 65 akibat siksaan yang diberikan oleh para jagal. Fidel mengakhiri perannya dengan mengambili sampah dan mencuci kaki semua penonton.

“Itu juga saya ambil dari film Jagal. Dimana Anwar Congo (yang menjadi jagal) itu, tidak bisa tidur kalau belum membasuh kaki. Karena selalu terbayang-bayang dengan korban yang ia bunuh,” imbuhnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Jaringan Kebudayaan Rakyat (Jaker) Tejo Priyono sendiri mengatakan karya teater Arteri ini sangat menghentak dan membuat para penonton terkagum-kagum. Teater Arteri berhasil membungkus sejarah 1965 lewat teater dengan sangat apik. Ia berharap, para seniman Indonesia kedepan lebih aktif membongkar sejarah yang ditutup-tutupi bahkan dimanipulasi oleh penguasa. Hal ini bertujuan agar budaya lama bisa digantikan dengan kebudayaan baru yang anti pada militerisme, feodalisme dan kapitalisme.

“Tragedi 65 itu adalah lautan inspirasi yang luas untuk dunia sastra. Kedepan Jaker juga akan membukukan karya sastra untuk mengenang kembali tragedi ini,” pungksanya. (**)

Tedi CHO, Penggiat Pojok Literasi Indonesia

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid