Soal Freeport, Fokuslah Ke Persoalan Pokok: Neokolonialisme!

Ketika kasus “Papa minta saham” mencuat di publik, dan sekarang sedang bergulir di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, ada pihak yang sedang bertepuk tangan: PT Freeport Indonesia.

Kenapa bisa demikian?

Sekarang ini, dengan mencuatnya isu tersebut, perhatian orang tertuju pada “pemburu rente”. Kita sibuk mengutuki si pemburu rente. Sementara PT. Freeport pelan-pelan diposisikan sebagai “korban” dari ekonomi rente ini.

Sekarang yang terlihat, Sudirman Said jadi pahlawan. Bos Freeport Indonesia, yang bekas telik sandi negara itu, juga-juga dipuja-puji sebagai pahlawan. Sementara para anggota MKD, sekalipun pertanyaan-pertanyaannya cukup penting, terlanjur dicap penjahat.

Seolah-olah Freeport perusahaan yang bersih. Dalam sekejap, kita seakan lupa dengan dosa-dosa perusahaan asal Amerika Serikat ini. Padahal, sejak masuknya hingga sekarang, perusahaan ini menenteng banyak catatan hitam.

Pertama, kontrak karya (KK) pertama Freeport sebetulnya bisa dianggap ilegal. Ada 3 fakta penting di sini: satu, KK pertama diteken ketika Papua belum resmi menjadi wilayah Republik Indonesia [Catat: Pepera baru dilakukan tahun 1969, yang disertai dengan banyak manipulasi dan kecurangan); dua, Suharto sebagai penandatangan KK itu masih berstatus “pejabat sementara Presdien” (Suharto diangkat sebagai Presiden resmi tanggal 27 Maret 1968); dan tiga, Forbes Wilson, kepala Freeport Sulphur Company saat itu, mengira pemerintah Indonesia berada di bawah tekanan AS saat meneken kontrak dengan Freeport itu (Denise Leith, 2002).

Kedua, praktek bisnis Freeport merugikan Indonesia. Seperti ditegaskan Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli, bahwa Freeport terlalu serakah. Pasalnya, sejak menjalani kontrak dengan Indonesia dari tahun 1967 hingga tahun 2014, Freeport hanya membayar royalti sebesar 1 persen. Padahal, di negara-negara lain royalti emas rata-rata 6-7 persen.

Ketiga, praktik bisnis Freeport juga mengabaikan lingkungan. Puncak gunung  Ertsberg kini sudah menjadi lubang raksasa sedalam 360 meter. Dataran rendah Sungai Ajkwa kini menjadi tempat buangan limbah tailing PT FI yang mencapai 300.000 ton per hari (Siti Maimunah, 2015). Dan masih banyak kasus lagi. Menurut Rizal Ramli, Freeport hanya mengejar untung tanpa menghitung dampak limbahnya.

Keempat, operasi Freeport di bumi Papua berjalan beriringan dengan praktek kekerasan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap warga dan aktivis di sekitar daerah pertambangan. Di awal-awal beroperasinya, yakni antara 1972 dan 1977, lebih dari 1.000 orang Amungme meninggal karena kekerasan (Elsham Papua, 2003).

Belum lagi, untuk mengamankan kepentingan bisnisnya, Freeport menggelontorkan dana puluhan juta dollar AS kepada TNI dan Polri. Tidak mengherankan, Freeport punya kedekatan dengan aparatus bersenjata itu. Dan Presiden Direktur Freeport Indonesia saat ini, Maroef Sjamsoeddin, mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) periode 2011-2014.

Kelima, Freeport berulangkali mengangkangi hukum Indonesia. Mulai dari keengganan duduk di meja renegosiasi kontrak, mengabaikan aturan larangan ekspor bahan mentah, hingga meminta perpanjangan kontrak karya sebelum waktu yang diatur dalam UU. Ironisnya, banyak orang-orang pemerintah kita justru lancang mengutak-atik aturan demi melayani permintaan Freeport.

Keenam, eksistensi Freeport di Papua tidak begitu berkontribusi terhadap kehidupan rakyat di sana. Hingga tahun 2014 lalu, Papua masih merupakan provinsi termiskin di Indonesia. Tragedi kelaparan juga kerap terjadi di tanah yang kaya raya itu. Karena kemiskinan dan keterbelakangan, rakyat Papua juga paling rentan dibunuh penyakit mematikan. Baru-baru ini ada 50-an anak meninggal karena virus yang belum diketahui.

Ketujuh, kehadiran Freeport di Indonesia sangat erat berkait dengan sejarah neokolonialisme di Indonesia. Freeport adalah perusahaan asing pertama yang masuk ke Indonesia begitu kekusaan Bung Karno tumbang. Menurut Bradley Simpson, seorang dosen sejarah di Universitas Princeton, Amerika Serikat, Freeport adalah “ujian penting untuk membuktikan komitmen rezim baru (baca: Orba) terhadap investasi asing (Bradley Simpson, 2011).”

Poin terakhir inilah yang terpenting. Sebab, hingga detik ini, persoalan terbesar bangsa kita adalah neokolonialisme. Inilah yang merusak tatanan politik, ekonomi, dan sosial bangsa kita hingga sekarang ini.

Di bidang ekonomi, neokonialisme hanya menempatkan ekonomi Indonesia sebagai penyedia bahan baku, tenaga kerja murah, pasar bagi produk negeri kapitalis maju, dan tempat penanaman modal asing. Akibatnya, ekonomi Indonesia tidak pernah bergeser dari ekstraktivisme, yaitu eksploitasi SDA dengan orientasi dijual dalam bentuk bahan mentah di pasar global. Situasi ini tidak menciptakan syarat-syarat yang memungkinkan ekonomi nasional kita berkembang lebih maju, produktif, dan mandiri.

Ekonomi kapitalis yang berkembang di Indonesia sangatlah terbelakang dan bergantung pada kapitalisme global. Atau meminjam bahasa Sukarno, “belum mengalami mechanische dan industrieele revolutie” (mekanisasi dan revolusi). Dalam struktur ekonomi yang begini, kapitalis yang lahir bukanlah kapitalis yang tangguh, yakni kapitalis yang lahir dari kegiatan produksi, melainkan kapitalis bermental “calo” dan pemburu rente. Inilah yang melahirkan orang-orang seperti Setya Novanto, Riza Chalid, dan sejenisnya.

Karena itu, percuma anda mengutuki orang-orang seperti Setya Novanto dan Riza Chalid tanpa berpikir merombak struktur ekonomi kita yang sangat neokolonial ini.

Dalam struktur negara neokolonial ini, fungsi negara adalah meniadakan resiko-resiko yang menghambat kepentingan investasi dan proses akumulasi kapital. Sedangkan para pejabat negara sebagai pelayan setia bagi kepentingan investor asing. Ya, politisi bermental komprador. Persis yang dimainkan oleh Sudirman Said sekarang ini.

Karena itu, di riuhnya dagelan “Papa minta saham” ini, kita harus tetap fokus pada isu pokok. Perjuangan kita adalah melawan neokolonialisme. Dan Freeport adalah salah satu tiang pancang berdirinya neokolonialisme.

Dalam konteks itu, pilihannya hanya satu: nasionalisasi Freeport. Ini bukan soal gagah-gagahan, apalagi sok nasionalis, tetapi sebuah keharusan untuk membebaskan ekonomi dan politik kita dari cengkeraman neokolonialisme. Menasionalisasi Freeport adalah titik awal untuk menegakkan cita-cita Trisakti. Juga untuk membebaskan rakyat Papua dari ancaman kerusakan ekologis yang lebih parah dan kejahatan kemanusiaan yang terus-menerus terjadi. Itu kalau di dalam dada kita masih merah-putih!

Mahesa Danu

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid