Harga-harga telah menanjak naik dalam beberapa minggu terakhir, sementara sebagian besar orang masih mabuk kepayang piala dunia. Tidak dapat disalahkan memang, namun kita tetap harus mengerti perkembangan situasi tanah air.
Sebagai contoh, ketika sebagian besar orang berkonsentrasi pada piala dunia, sebuah kejadian di Banyuwangi benar-benar sangat mengancam demokrasi. Acara sosialisasi tiga anggota DPR, yaitu Ribka Tjiptaning, Rieke Diah Pitaloka dan Nur Suhud, tiba-tiba dibubarkan paksa oleh ormas yang bernama Front Pembela Islam (FPI). Secara sepihak, FPI menuding acara itu sebagai temu kader PKI, padahal hanya acara sosialisasi soal kesehatan gratis.
Sebelumnya, ada pula aksi-aksi sepihak penutupan gereja HKBP di beberapa tempat, misalnya di Bekasi dan Riau, hanya dengan bermodalkan alasan klise, bahwa mayoritas warga setempat tidak menghendaki keberadaan gereja tersebut. Ini tidak hanya bertentangan dengan nilai pluralisme, tapi juga melanggar aturan konstitusi soal kebebasan menjalankan ibadah menurut agama masing-masing.
Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) pun pernah menjadi korban. Ketika baru berdiri selama tiga bulan, partai ini sudah mendapatkan 34 serangan dari FPI dan kelompok yang mengaku anti-komunis. Lagi-lagi, tuduhan “komunis” dipergunakan sebagai senjata paling ampuh untuk membungkam kekebasan berorganisasi dan berpendapat.
Aksi seperti ini sudah sering terjadi. Ironisnya, aksi-aksi ini didorong atau diprovokasi oleh kelompok-kelompok berfikiran sempit, anti pluralisme, dan anti persatuan nasional rakyat Indonesia. Sebut saja FPI, organisasi yang paling aktif melakukan aksi penyerangan dan provokasi, sebetulnya tidak memiliki landasan ideologi dan politik yang jelas.
Ini jelas berbahaya, sekaligus dapat mengancam perjuangan demokrasi. Aksi-aksi kekerasan dan penyerangan seperti ini, dalam berbagai kasus, telah menebarkan rasa takut kepada warga masyarakat. Orang menjadi takut untuk menjalankan hak sipil-politik dan ajaran agamanya. Sedangkan Polisi dan aparat negara tidak bertindak apapun untuk mengatasi hal ini.
Tindakan seperti ini juga menyerang kebebasan untuk menyatakan pendapat, seperti yang diatur dalam UUD 1945. Organisasi seperti FPI dan sejenisnya tidak berhak untuk mengadili suatu aliran politik atau kepercayaan di Indonesia, apalagi hendak membubarkan atau melikuidasinya.
Lebih jauh lagi, tindakan FPI dan organisasi serupa sangat jelas mengancam persatuan nasional, salah satu unsur penting negara kesatuan. FPI dan sejenisnya harus menyadari, negara Indonesia terlahir dari persatuan nasional—Bhineka tunggal ika-, dan akan menjadi hancur jika tak ada persatuan. Berarti, jika FPI memusuhi persatuan nasional, maka mereka sebetulnya hendak menghancurkan negara ini.
Bagaimanapun, karena ini menyangkut pelanggaran konstitusi dan ideologi negara, maka pemerintah seharusnya bertindak keras terhadap organisasi-organisasi seperti FPI dan sejenisnya. Negara tidak boleh kalah oleh organisasi kekerasan segelintir kepala batu. Dalam hal ini, pemerintahan SBY-Budiono juga memikul tanggung-jawab, sebab gagal mempertahankan situasi demokrasi bagi seluruh rakyat.
Perlu kami tekankan, problem pokok bangsa ini adalah penjajahan kembali oleh negeri-negeri imperialis, melalui sebuah sistim yang disebut neoliberalisme. Seharusnya, seluruh tenaga dan daya upaya kita dipersatukan untuk melawan penjajahan tersebut, bukan memukul atau melukai kawan sebarisan.
Bagaimanapun, disamping pertandingan piala dunia, kita juga harus konsentrasi untuk mengawasi ancaman terhadap demokrasi ini. Soekarno berkata sambil mensitir Abraham Lincoln, a nation divided against itself cannot stand.
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid