Selamat Datang, Depresi Besar 2020

Setelah krisis keuangan 2007-09, ketidakseimbangan dan resiko yang melingkupi perekonomian dunia terus diperparah oleh kesalahan kebijakan.

Seringkali, ketimbang menyelesaikan persoalan struktural yang meruntuhkan sektor keuangan dan resesi yang menyusul kemudian, kebanyakan pemerintah seperti “menendang kaleng di jalan” (ungkapan yang berarti menghindari atau menunda persoalan utama), yang membuat resiko krisis lain tak terelakkan.

Dan sekarang itu terjadi, resiko itu terlanjur menjadi akut. Sayangnya, bahkan jika resesi besar akan menghadirkan skema pemulihan gelombang U tahun ini, atau depresi besar dengan gelombang L di tahun-tahun berikutnya di dekade ini, akan menyingkap 10 pertanda buruk atau resiko.

Yang pertama, soal defisit dan resiko yang menyertainya: utang dan gagal bayar. Respon kebijakan terhadap krisis Covid-19 memicu defisit fiskal besar-besaran—di atas 10 persen PDB atau lebih—di saat tingkat utang publik di banyak negara sudah sangat tinggi dan tak berkelanjutan.

Lebih buruk lagi, hilangnya pendapatan banyak rumah tangga dan badan usaha bermakna level utang sektor swasta tidak akan berkelanjutan, yang berpotensi memicu gagal-bayar dan kebangkrutan massal. Dengan utang publik yang melambung tinggi, pemulihan tak memungkinkan seperti resesi besar dekade lalu.

Kedua, bom waktu di negara-negara ekonomi maju. Krisis covid-19 menunjukkan, belanja publik untuk sektor kesehatan perlu dinaikkan. Bahwa sistem kesehatan universal dan kebutuhan publik lainnya adalah kebutuhan, bukan barang mewah.

Namun, karena banyak negara maju masyarakatnya mengalami penuaan, anggaran yang dikeluarkan di masa depan akan memperbesar utang pada sistem kesehatan dan sistem perlindungan sosial.

Ketiga, meningkatnya resiko deflasi. Selain menyebabkan resesi yang mendalam, krisis ini juga akan menciptakan pengenduran kapasitas barang-barang (kapasitas mesin yang tak terpakai) dan tenaga kerja (pengangguran massal). Ini juga akan mendorong anjloknya harga komoditas, seperti minyak dan industri metal. Itu akan membuat deflasi utang memicu pailit.

Keempat, mata uang yang mengalami penurunan nilai. Bank Sentral mencoba menghadapi deflasi dan menghindari resiko kenaikan suku bunga (setelah penumpukan utang besar-besaran), kebijakan moneter akan makin tak konvensional dan berjangkauan jauh.

Dalam jangka pendek, pemerintah perlu menjalankan strategi defisit fiskal yang dimonetisasi untuk menghindari depresi dan deflasi. Namun, seiring jalannya waktu, gangguan permanen pada sisi produksi makin diakselerasi oleh fenomena de-globalisasi dan proteksionisme, sehingga stagflasi tak terhindarkan.

Kelima, dampak luas disrupsi digital pada perekonomian. Dengan jutaan orang kehilangan pekerjaan, atau mungkin bekerja lebih sedikit, kesenjangan pendapatan dan kekayaan pada ekonomi abad-21 akan semakin melebar.

Untuk mengantisipasi guncangan di rantai pasokan (supply-chain shocks) di masa depan, perusahaan-perusahaan dari negara ekonomi maju akan memindahkan produksinya dari wilayah-wilayah berbiaya produksi rendah ke pasar domestik yang berbiaya lebih tinggi.

Tapi, alih-alih membantu pekerja di negara bersangkutan/domestik, kecenderungan ini justru akan mempercepat laju otomatisasi, yang akan menekan upah ke titik lebih rendah, sembari mengipas-ngipas sentimen populisme, nasionalisme, dan xenophobia.

Keenam, menguatnya de-globalisasi. Pandemi ini akan mendorong kecenderungan menuju balkanisasi dan fragmentasi yang sekarang mulai terjadi. AS dan Tiongkok akan berpisah paling cepat, sehingga mayoritas negara akan merespon dengan mengadopsi kebijakan proteksionisme untuk melindungi perusahaan nasional dan pekerjanya dari gangguan global.

Dunia pasca-pandemi akan menghidupkan pembatasan yang lebih ketat terhadap pergerakan barang, jasa, modal, tenaga kerja, teknologi, data, dan informasi. Hal ini sudah terjadi di sektor farmasi, peralatan medis, dan sektor pangan, yang mana banyak negara menghentikan ekspor untuk mengamankan kebutuhan dalam negeri.

Point ketujuh, bangkitnya pemimpin populis. Reaksi terhadap demokrasi akan memicu perkembangan ini. Pemimpin populis akan mendapat manfaat dari perlambatan ekonomi, pengangguran massal, dan melebarnya ketimpangan. Dalam situasi ekonomi yang tak baik-baik saja, sangat mudah untuk mencari “kambing hitam” dari luar untuk dipersalahkan atas krisis ini. Pekerja kerah-buruh dan sebagian besar kelas menengah sangat rentan terhadap retorika populisme, khususnya proposal untuk membatasi perdagangan dan migrasi.

Situasi ini akan menunjukkan poin kedelapan: ketegangan geostrategis antara AS dengan Tiongkok. Melihat Trump yang terus menyalahkan Tiongkok atas pandemi, pemimpin Tiongkok Xi Jinping akan melipatgandakan klaimnya bahwa AS bersekongkol untuk mencegah Tiongkok tumbuh-pesat secara damai.

Keterpisahan antara AS dengan Tiongkok dalam perdagangan, teknologi, investasi, data, dan pengaturan moneter, akan semakin meningkat.

Buruknya lagi, ketegangan diplomatik ini akan menciptakan panggung baru untuk perang dingin antara AS dengan rival-rivalnya—tidak hanya Tiongkok, tetapi juga Rusia, Iran, dan Korea utara.

Dengan pemilu Presiden AS yang sudah mendekat, setiap alasan untuk memicu perang di dunia maya juga berpotensi memicu bentrokan fisik/militer. Dan karena teknologi adalah senjata kunci untuk mengontrol industri di masa depan dan memerangi pandemi, sektor teknologi swasta di AS akan semakin terintegrasi dengan kompleks industri pertahanan.

Dan resiko akhir (kesepuluh) yang tak dapat diabaikan adalah disrupsi lingkungan, sebaimana ditunjukkan oleh krisis covid-19, bisa menyuguhkan malapetaka ekonomi yang melebihi krisis keuangan 2008-09.

Epidemi yang berulang (HIV sejak 1980-an, SARS tahun 2003, H1N1 tahun 2009, MERS di tahun 2011, dan Ebola di tahun 2014-16), seperti juga dengan perubahan iklim, adalah bencana yang ada andil manusia akibat buruknya standar kesehatan dan sanitasi, penyalahgunaan sistem alam, dan meningkatnya inter-koneksi dalam dunia yang makin terglobalisasi.

Pandemi dan banyak gejala perubahan iklim yang mengerikan akan menjadi lebih sering, parah, dan berbiaya mahal di masa-masa mendatang.

Kesepuluh resiko yang dijelaskan di atas, yang sudah nampak menjelas sebelum pandemi korona ini muncul, berpotensi menjadi bahan bakar yang menyapu ekonomi global yang dalam satu dekade keputus-asaan.

Pada 2030, teknologi dan kepemimpinan politik yang kompeten mungkin akan mengurangi, mengatasi, atau meminimalkan berbagai persoalan ini, sehingga menciptakan tata-internasional yang lebih inklusif, koperatif, dan stabil.

Akan tetapi, setiap prediksi tentang akhir yang bahagia mengasumsikan bahwa kita berhasil menemukan cara untuk bertahan hidup dari depresi besar yang sudah di depan mata.

NOURIEL ROUBINI, Profesor Ekonomi di NYU Stern School of Business. Dia juga bekerja untuk Dana Moneter Internasional (IMF), Federal Reserve, dan Bank Dunia

Artikel ini diterjemahkan dari sumber aslinya di: Project Syndicate.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid