Sehat itu Hak!

Layanan kesehatan secara kuantitas terjadi peningkatan. Menurut data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), saat ini sudah sekitar 190 juta jiwa rakyat Indonesia yang menjadi peserta layanan kesehatan. Dari jumlah itu, penerima bantuan iuran (PBI) berjumlah 108 juta peserta.

Tentu saja, ada  konsekuensi yang kemudian menjadi masalah dalam peningkatan kuantitas tersebut, yakni soal peningkatan kualitas layanan.

Pertanyaannya kemudian, apakah peningkatan kuantitas sudah sama hebatnya dengan peningkatan kualitas layanan?

Mari kita lihat bersama.

Infrastruktur Kesehatan

Salah satu aspek dari perbaikan kualitas layanan kesehatan adalah hadirnya infrastruktur kesehatan yang modern, meluas dan bisa diakses oleh seluruh rakyat.

Pertanyaannya: ada berapa banyak Rumah Sakit (RS) tipe A, B, C dan D, dengan kelengkapan penunjang yang memadai sesuai klasifikasinya , seperti kamar, alat medis, tempat tidur dan tenaga ahli.

Persoalan infrastruktur menjadi hal utama dalam maksimalitas layanan. Sebagai misal, masih banyak pasien yang harus antre untuk mendapatkan kamar, ICU, ICCU, NICU, termasuk ruang isolasi.

Akibatnya, banyak pasien yang akhirnya kemudian tidak tertolong nyawanya karena kurangnya fasilitas ruangan, alat, bahkan tenaga medis.

Keterbatasan tenaga ahli medis tentu tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan yang mahalnya nauzubillah. Sudah menjadi rahasia umum, untuk mendaftar di fakultas kedokteran, seseorang  butuh anggaran antara 200 hingga 400 juta. Demikian pula untuk jadi bidan ataupun perawat, biayanya juga tidak sedikit.

Kita hanya bangga dengan peningkatan kuantitas, tetapi kelimpungan dalam hal peningkatan kualitas layanan.

Tidak heran, karena infrastruktur kesehatan publik kurang memadai, pelaku bisnis melihat peluang  untuk mengeruk keuntungan dengan  membangun RS swasta bertaraf international, yang notebene hanya berpikir mencari keuntungan. Demikian pula maraknya klinik komersil dengan modal ijin yang sangat mudah didapatkan.

Kampanye hidup sehat juga terasa hambar, karena tidak ditunjang oleh  integrasi sistem antara lembaga terkait.

Ketersediaan alat dan obat-obatan

Sejauh ini, alat dan obat-obatan kita lebih banyak menggunakan obat dan alat dari luar. Kita tidak pernah berpikir untuk meningkat industri obat-obatan dalam negeri. Padahal, bahan baku obat-obatan kita tidak kurang banyaknya.

Sudah begitu, penyediaan dan pasokan obat-obatan banyak dikuasai swasta. Harganya menjadi sangat mahal. Untuk diketahui, berdasarkan data Komisi Persaingan Usaha (KPPU), harga obat di Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara.

Inilah problem kedua: mahalnya harga obat-obatan, yang membuat sehat itu menjadi mahal.

Anggaran Kesehatan

Mari kita periksa APBN kita, berapa banyak sih anggaran untuk kesehatan nasional?

Di APBN 2019, anggaran kesehatan mencapai Rp 121,9 triliun. Namun, meskipun anggaran sudah besar, alokasi anggaran kesehatan belum sesuai amanah Undang-Undang. Sebab, anggaran yang besar itu mencakup juga gaji pegawai di sektor kesehatan. Padahal, anggaran kesehatan minimal 5 persen APBN menurut UU harusnya tidak memasukkan gaji pegawai sektor kesehatan.

Untuk kesepesertaan BPJS anggarannya mencapai Rp 20,1 triliun. Lalu berapa anggaran untuk infrastruktur kesehatan?

Hampir tiap tahun anggaran BPJS meningkat, tetapi infrastruktur RS baru sangat jarang kita temukan.

Penegakan hukum

Di tengah situasi banyak kasus penyelewengan anggaran kesehatan dan layanan, persoalan penegakan humum menjadi aspek penting untuk dibicarakan.

Penegakan hukum ini harus disertai tiga unsur hukum:

Pertama, hukuman pidana, bagi pelaksana layanan yang menyimpang.

Kedua, hukuman perdata, berupa ganti rugi atas layanan yang tidak sesuai dengan protap.

Ketiga, sanksi administrasi, bagi pelaksana layanan dalam, hal ini RS Swasta, Klinik, Dokter Pribadi dan lain-lain, jika ditemukan malpraktik dan penyalahgunaan layanan. Sanksi ini bisa berupa pencabutan ijin operasional dan praktek.

Karena itu, layanan kesehatan tidak bisa diukur keberhasilannya hanya dengan meningkatnya kepesertaan. Harus dilihat secara konprehensif, seperti perbaikan infrastruktur kesehatan, perluasan aksesnya, hingga kualitas layanannya.

Sebaiknya Kementerian Kesehatan mengajukan anggaran  pembangun RS tipe A dan B setiap tahunnya, sehingga setiap propinsi terbangun RS dengan fasilitas memadai dan tenaga medis yang mumpuni. Juga perluasan fasilitas kesehatan yang ditunjang infrastruktur dan tenaga kesehatan hingga ke desa-desa terpencil.

Dan yang terpenting, karena kesehatan itu hak, maka negara harus memastikan seluruh rakyat Indonesia bisa mengakses layanan kesehatan dengan mudah (tanpa rintangan biaya), berkualitas, dan tidak ada diskriminasi.

WAHIDA BAHARUDDIN UPA, Ketua Umum Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid