Sanksi Terhadap Venezuela Dan Sikap Hipokrit AS

Tanggal 18 Desember lalu, Presiden Amerika Serikat Barack Obama menandatangani Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait sanksi terhadap pejabat Venezuela menjadi Undang-Undang.

Sanksi tersebut berupa pembekuan aset dan menolak memberikan visa kepada pejabat pemerintahan Venezuela yang ditengarai terlibat pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) saat menghadapi aksi protes kelompok oposisi pada Februari hingga Mei tahun 2014.

Pihak Gedung Putih menilai, pemerintah Venezuela telah menggunakan cara-cara represif dan jalan kekerasan saat menghadapi demonstrasi yang digelar oleh kaum oposisi negeri itu. Pemerintah AS juga mempersoalkan penahanan dua tokoh terkemuka kelompok oposisi, Leopoldo Lopez dan Maria Corina Machado.

Sanksi yang dijatuhkan oleh Presiden Obama tersebut, yang dilakukan atas nama demokrasi dan HAM, sangatlah hipokrit. Persis dengan ujaran pepatah lama: gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan justru sangat tampak.

***

Untuk diketahui, pada bulan Februari hingga Mei 2014, kelompok oposisi Venezuela menggelar aksi protes jalanan untuk melengserkan Presiden yang terpilih melalui pemilu yang demokratis, Nicolas Maduro.

Ironisnya, saat menggelar aksi protesnya tersebut, pihak oposisi lebih banyak menggunakan jalan kekerasan, seperti memblokade jalan, membakar ratusan bus, merusak layanan publik dan kantor pemerintah, menembaki demonstran pro-pemerintah, menyerang warga sipil, dan lain-lain.

Akibatnya, sebanyak 43 orang tewas dalam kejadian tersebut. Sementara 800-an orang mengalami luka-luka. Dan untuk diketahui, sebagian besar korban adalah warga atau aktivis pendukung pemerintah (chavistas) dan aparat keamanan. Selain itu, sebagian besar korban tersebut tewas di tangan oposisi sayap kanan garis keras (ultra-kanan).

Aksi kekerasan ini banyak didorong oleh Leopoldo Lopez, pimpinan Partai Kenginan Rakyat (Voluntad Popular). Ia adalah tokoh oposisi yang dielu-elukan oleh AS sebagai ‘pahlawan demokrasi’. Padahal, pada tahun 2002, orang ini terlibat dalam aksi kudeta untuk menggulingkan pemerintahan Hugo Chavez.

Tak lama setelah kejadian itu, pemerintah Venezuela melakukan serangkaian investigasi. Hasilnya tidak sulit diprediksi: pihak oposisi hendak menggunakan aksi protes itu, termasuk penggunaan metode kekerasan di dalamnya, untuk mendestabilisasi Venezuela dan melengserkan pemerintahan Nicolas Maduro.

Yang menarik, Steve Ellner, seorang pengajar di Universidad de Oriente di Venezuela di tahun 1977 dan banyak menulis buku soal Venezuela, mengendus keterlibatan pemerintah AS dalam berbagai aksi kekerasan yang dipicu oleh kelompok oposisi tersebut.

Buktinya, kata Ellner, adalah keprihatinan terbuka pemerintahan Obama terhadap Leopolda Lopez, pemimpin garis keras oposisi Venezuela, menjelang penangkapannya tanggal 19 Februari lalu. Tak hanya itu, gedung putih juga mengeluarkan pernyataan mendukung aksi demonstrasi yang dilakukan oposisi.

Bukan rahasia lagi, sudah sejak lama pemerintah AS aktif mendukung kelompok oposisi Venezuela. Tidak hanya melalui dukungan moral dan politik, pemerintah AS juga menggelontorkan dana ratusan juta dollar AS untuk membiayai aksi-aksi kelompok oposisi. Dana-dana itu disalurkan melalui sejumlah lembaga AS, seperti Development Alternatives, Inc DAI (sejak 2002), the Pan-American Development Foundation PADF (sejak 2005), the International Republican Institute IRI (sejak 2002), the National Democratic Institute-NDI (sejak 2002), Freedom House (sejak 2004), USAID (sejak 2002), National Endowment for Democracy (NED) dan the Open Society Institute (sejak 2006).

Memang, sejak Hugo Chavez berkuasa di tahun 1998 dan menggulirkan Revolusi Bolivarian, pemerintah AS tak henti-hentinya mengganggu Venezuela. Pada tahun 2002, pemerintah AS terlibat langsung dalam kudeta terhadap pemerintahan Hugo Chavez.  Beruntung, berkat aksi politik gerakan rakyat dan militer progressif, kudeta tersebut berhasil dipatahkan tidak lebih dari 48 jam.

Tak berhenti di situ saja, pemerintah AS terus mendukung aksi oposisi sayap kanan untuk menggulingkan pemerintahan Hugo Chavez, termasuk menyokong aksi oposisi untuk menghentikan produksi minyak Venezuela pada tahun 2002-2003, upaya destabilisasi (guarimba) di tahun 2004, dan lain-lain.

Akhirnya, ketika Chaves meninggal dunia di tahun 2013 lalu, AS sangat bermimpi bisa mengakhiri Revolusi Bolivarian. Sayang, mimpi tersebut tidak kesampaian. Barisan pendukung Chavez, yang menyebut dirinya Chavista, berhasil memenangkan Nicolas Maduro sebagai Presiden pada Pemilu Presiden pada April 2013 lalu.

Hal itu membuat kelompok oposisi dan AS kecewa berat. Tak mengherankan, mereka menempu jalan memalukan: menolak mengakui hasil pemilu demokratis. Tak hanya itu, mereka juga memprovokasi aksi kekerasan di seantero negeri untuk menganulir hasil pemilu. Dan lagi, berkat gerakan rakyat dan dukungan militer, aksi kekerasan yang digulirkan oleh oposisi tersebut berhasil dipatahkan.

Tak lama setelah itu, oposisi mulai melancarkan perang ekonomi secara sistematis: sabotase ekonomi, penyelundupan, penimbunan, dan penghentian produksi.  Pada bulan September 2013, oposisi melakukan aksi sabotase listrik, yang menyebabkan hampir 70% wilayah Venezuela gelap gulita. Aksi sabotase ekonomi juga memicu kelangkaan sembako dan memicu inflasi besar-besaran.

Jadi, jelas sekali bahwa pihak AS berada di belakang pihak oposisi Venezuela. Bahkan, pihak AS terlibat dalam mendorong dan mendanai aksi-aksi kelompok oposisi tersebut. Jadi, dengan memberikan sanksi kepada pejabat tinggi Venezuela, pemerintah AS sedang memberikan angin kepada kelompok oposisi Venezuela.

***

Yang agak lucu, ketika pemerintah AS menuduh pemerintah Venezuela melakukan pelanggaran HAM terhadap aksi oposisi, di seantero negeri Paman Sam itu sedang meledak aksi protes warga mengecam tindakan brutal polisi membunuh remaja kulit hitam di Ferguson dan New York.

“Sementara Kongres (AS) menuding pemerintah Venezuela menindas perbedaan pendapat, masyarakat afro-amerika di seluruh Amerika Serikat mengungkapkan kemarahannya atas tindakan polisi membunuh pemuda kulit hitam tak bersenjata,” sindir Presiden Majelis Nasional Venezuela, Diosdado Cabello, dalam artikelnya di New York Times (17/12/2014).

Juga, pada tahun 2011 lalu, dunia menyaksikan kebrutalan polisi AS saat menindas aksi protes tak bersenjata dari warga yang tergabung dalam ‘Occupy Wall Street (OWS). Polisi tidak hanya menangkapi, tetapi juga menyeret dan memukuli para demonstran. Bahkan, beberapa gambar memperlihatkan bagaimana polisi menyemprotkan merica ke wajah dan badan para demonstran.

Juga, pada saat hampir bersamaan dengan jatuhnya sanksi AS terhadap Venezuela, Komite Pertahanan Senat AS mengungkap kebrutalan dan kekejian badan intelijen AS (CIA) saat melakukan interogasi terhadap tahanan.  Investigasi Komite Pertahanan Senat mengungkapkan, setidaknya 119 orang yang diduga teroris ditahan tanpa melalui proses peradilan. Ironisnya, 29 orang diantaranya diakui sebagai korban salah tangkap setelah melalui serangkaian penyiksaan keji di dalam tahanan. Tidak hanya itu, laporan itu juga mengungkapkan berbagai teknik penyiksaan keji yang dilakukan CIA terhadap para tahanan, seperti teknik waterboarding atau membenamkan kepala orang yang diinterogasi sehingga ia merasa akan mati lemas, eksekusi pura-pura, direndam dalam air es, ancaman seksual, dan teknik-teknik interogasi brutal lainnya.

Juga tidak kalah naifnya, pemerintah AS seolah bungkam terhadap berbagai kejahatan HAM yang dilakukan oleh pemerintah di negara sekutunya, seperti Meksiko dan Honduras. Pemerintahan Obama tidak mengeluarkan kecaman apapun terhadap kekejaman polisi Meksiko yang membakar hidup-hidup 43 aktivis mahasiswa di Ayotzinapa. Pemerintahan Obama juga diam seribu bahasa terhadap kekejaman rezim sayap kanan Honduras yang telah menghilangkan dan membunuh ratusan aktivis.

***

Digertak oleh pemerintah AS, seperti biasa, pemerintah Venezuela tidak gentar. Melalui akun Twitternya, Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengeritik langkah Presiden Obama tersebut.

“Presiden Obama mengambil langkah yang salah terhadap negeri kami, dengan menandatangani sanksi, meskipun nasional dan benua menolaknya,” tulis Maduro.

Menurut Maduro, pihaknya akan merespon sanksi dari imperialisme AS dengan cara bermartabat. Ia menyerukan kepada rakyatnya, laki-laki dan perempuan, untuk berbaris di jalan guna memprotes tindakan imperialistik tersebut.

Sementara Menteri Luar Negeri Venezuela, Rafael Ramirez, menilai sanksi yang dijatuhkan oleh AS tersebut tidak akan mencapai hasil yang diinginkan. Sebaliknya, kata dia, kebijakan tersebut ditakdirkan untuk gagal.

“Sanksi ini tidak akan melukai kita, tetapi justru menguatkan kita. Karena itu akan memperlihatkan wajah sejati imperialisme Amerika Utara,” ujarnya.

Venezuela sendiri mendapat banyak dukungan dari banyak negara di berbagai belahan dunia untuk melawan sanksi tersebut. Kelompok negara yang tergabung dalam Mercosur dan ALBA menyatakan dukungan terhadap Venezuela.

Kelompok negara yang tergabung dalam UNASUR (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Amerika Selatan) juga mengecam kebijakan pemerintah AS menerapkan sanksi terhadap Venezuela.

“Negara-negara anggota UNASUR mendesak Amerika Serikat untuk menahan diri untuk tidak memberikan sanksi yang justru memperparah stabilitas politik Republik Bolivarian Venezuela,” demikian ditulis dalam pernyataan UNASUR, sebagaimana dikutip Telesur (1/1/2015).

Kelompok negara G-77 plus Tiongkok juga tidak ketinggalan mengutuk pemberian sanksi oleh AS terhadap Venezuela. “Kelompok G-77 dan Tiongkok menyatakan penentangan yang kuat terhadap sanksi sepihak yang dipaksakan oleh AS terhadap Venezuela,” ujar Evo Morales, Presiden Bolivia, yang mewakili kelompok G-77 dan Tiongkok saat pembukaan Institut Seni di Cochabamba, Bolivia, Senin (22/12/2014).

Sementara itu, pada 15 Desember lalu, bertepatan dengan peringatan 15 tahun Konstitusi Bolivarian, rakyat Venezuela turun ke jalan-jalan untuk memprotes sanksi yang diberlakukan oleh AS.

Kebijakan AS menjatuhkan sanksi terhadap Venezuela memang sangat hipokrit. Di satu sisi, pada 17 Desember lalu, Obama mengakui kegagalan politik agressif dan embargo terhadap Kuba. Di sisi lain, esok harinya, Obama memberlakukan kebijakan agresi baru terhadap Venezuela.

Raymond Samuel

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid