Kericuhan menyusul pelaksanaan pilkada di 10 kabupaten Sulawesi Selatan akhir pekan lalu kembali menimbulkan berbagai pertanyaan tentang tingkat kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi. Lebih-lebih kericuhan semacam ini hampir seluruhnya disebabkan oleh ketidakpuasan pihak yang kalah.
Dengan perspektif yang pesimistis, beberapa mengomentari bahwa ini bukti rakyat Indonesia, khususnya para elit yang ditengarai mendalangi kericuhan tersebut, masih belum mampu menjalankan demokrasi. Karena untuk itu dibutuhkan kerelaan untuk menerima kekalahan. Sebaliknya, mereka yang lebih optimis memandang ini sebagai “susah-susah di hulu”, mengingat pengalaman bangsa ini dalam menerapkan pemilihan daerah secara langsung masih baru, yakni sejak masa reformasi. Pendapat yang terakhir banyak juga dipegang oleh lembaga-lembaga internasional dalam menilai kualitas demokrasi di Indonesia.
Memang, bila mengacu pada model demokrasi dominan atau barat, yang mensyaratkan faktor-faktor seperti kebebasan pers dan kompetisi antara kandidat, maka demokrasi di Indonesia bisa tergolong cukup berhasil. Namun adalah juga penting untuk mengukur kualitas demokrasi dari tingkat kepuasan rakyat terhadap proses itu sendiri.
Maka, maraknya kericuhan terkait pilkada secara gamblang menggambarkan ketidakpuasan rakyat terhadap proses demokrasi yang berlangsung di tingkat daerah. Sesungguhnya ini ironis, karena pilkada merupakan unsur penting penerapan kebijakan desentralisasi kekuasaan, yang rasionalisasinya adalah untuk menciptakan pemerintahan yang lebih responsif dan memahami aspirasi masyarakat lokal yang bersangkutan.
Melalui pilkada warga semestinya berkesempatan lebih besar untuk memilih kandidat yang lebih dikenal, yang mengusung janji-janji yang lebih relevan dengan persoalan lokal, bila dibandingkan dengan pemilu nasional. Sekecil apa pun dampaknya, ini merupakan suatu pemberdayaan politik yang memberikan harapan dan kesempatan lebih besar kepada warga untuk mewujudkan aspirasinya, baik berupa dukungan terhadap kandidat yang disukainya, atau hukuman bagi kepala daerah yang mengecewakannya. Ketika harapan ini pupus oleh kenyataan busuk bahwa proses yang katanya adil ternyata marak kecurangan dan rekayasa, kemarahan warga pun berlipat ganda.
Tentunya elit politik lokal berperan besar dalam membusukkan proses ini, karena sebagian besar – kalau bukan seluruhnya – menerapkan politik uang dan KKN yang berdampak menginjak-nginjak aspirasi warga itu sendiri. Ini tak bisa lain merupakan pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh aktor-aktor politik dan gerakan kerakyatan, dengan cara antara lain membangun suatu kekuatan politik yang bersih dan dapat menyaingi atau mengalahkan elit-elit korup tersebut dalam ajang-ajang pemilihan.
Dalam sebagian besar kasus kericuhan pilkada, KPUD merupakan pihak yang paling sering dituduh melakukan kecurangan. Ini menunjukkan bahwa aturan main yang ada masih perlu disempurnakan untuk lebih menjamin transparansi dalam proses penghitungan, dan penanganan laporan pelanggaran.
Dan memang sesungguhnya demokrasi bukan barang jadi dengan model tertentu, tapi suatu proses yang ditentukan oleh perimbangan kekuatan politik yang ada dalam masyarakat. Seperti ciptaan manusia lainnya, ia terus menerus disempurnakan, dengan arah perkembangan yang seyogyanya menuju pada partisipasi dan aspirasi rakyat seluas mungkin dalam kehidupan.
Dari sudut pandang ini, beberapa wacana yang mempersulit persyaratan kandidat pemilu, seperti minimal berpendidikan S1 hingga peningkatan parliamentary dan electoral threshold dalam pemilu nasional, merupakan langkah mundur. Bukan saja ini mencekik peluang rakyat untuk berpartisipasi dalam politik, tapi juga memarakkan politik uang karena semakin lama hanya mereka yang memiliki kemampuan ekonomi besar lah yang mampu mencalonkan diri.
Demikian pula gelar pendidikan sudah menjadi komoditas yang bisa dibeli. Sementara sejarah menunjukkan banyak pemimpin besar yang tidak mengecap pendidikan tinggi. Sebutlah presiden Brasil saat ini, Lula Da Silva, yang putus sekolah sejak kelas 4 SD karena harus bekerja; kini menjadi pemimpin dunia yang dihormati dan berhasil mengangkat negeri itu menjadi salah satu kekuatan utama di dunia.
Apakah kita akan membiarkan potensi seperti itu tersisih dari proses demokrasi kita? Sementara keran partisipasi semakin dikencangkan dengan dalih menyederhanakan sistem pemilu?
Sejarah dengan gemilang menunjukkan bahwa rakyat Indonesia sejak mula, pada 1955, mampu melaksanakan pemilu dengan demokratis, damai, dan terbuka bagi partai, perseorangan maupun berbagai organisasi massa. Dunia pun memuji-muji Indonesia atas kesuksesan menggelar pemilu 2004. Maka mungkin persoalannya bukan rakyat yang tidak mampu berdemokrasi, tapi elit politik yang tamak kekuasaan dan penyelenggara pemilu.
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid