Revolusi Perumahan di Venezuela

Soal perumahan tidak bisa diserahkan kepada pasar. Sebab, pasar hanya melayani yang punya daya beli. Proyek perumahan juga tidak bisa ditaruh dalam logika bisnis belaka. Sebab, logika bisnis yang mensyaratkan keuntungan (profit) bisa membuat harga rumah tidak bisa dijangkau oleh si miskin.

Di tahun 1980-an, Venezuela mengalami periode oil-boom. Minyak menjadi jantung ekonomi negara itu.

Bersamaan dengan itu, orang-orang Venezuela berebut ke kota untuk mengejar hidup lebih baik. Tidak mengherankan, Venezuela termasuk negara paling urban di dunia. Sebanyak 89 persen penduduknya tinggal di kota.

Ini membawa masalah. Terutama soal ketersediaan rumah atau tempat tinggal yang layak. Masalahnya, ledakan kaum urban ini tidak dibarengi dengan ketersediaan hunian layak huni.

Lahirlah pemukiman kumuh (barrios), yang bertengger di perbukitan yang mengelilingi kota Caracas. Karena lokasinya di perbukitan, barrios-barrios ini rawan longsor. Mengerikan bukan?

Situasi ekonomi juga berpengaruh pada pemilikan rumah di Venezueala. Ketergantungan ekonomi Venezuela pada satu komoditi saja, yakni minyak, yang dalam istilah ekonomi disebut “penyakit Belanda”, mematikan sektor ekonomi yang lain.

Sebelum 1999, kemiskinan di Venezuela hampir mencapai separuh dari jumlah penduduknya. Banyak keluarga di Venezuela menghabiskan sebagian besar penghasilannya hanya untuk kebutuhan paling dasar. Akibatnya, banyak diantara mereka tidak punya mimpi punya rumah sendiri.

Belum lagi, karena diserahkan ke pasar, harga rumah di Venezuela terbilang tinggi. Kantong orang miskin tidak bisa menjangkaunya, kendati melalui kredit.

Pada tahun 2011, ada 3,7 juta orang Venezuela tidak punya rumah yang layak. Ini sudah termasuk mereka yang tinggal di rumah tidak layak huni dan daerah rawan bencana.

Venezuela juga rawan bencana, khususnya banjir. Seperti banjir besar di tahun 2010, yang menyebabkan puluhan ribu keluarga kehilangan tempat tinggalnya. Sebagian korban banjir ditampung di Istana Kepresidenan Miraflores.

***

Tahun 2011, Presiden Venezuela meluncurkan misi perumahan yang disebut “Gran Misión Vivienda Venezuela”. Misi ini bercita-cita membangun 2 juta rumah baru dalam 6 tahun pertama (2011-2017) bagi rakyat Venezuela yang paling membutuhkan.

Bagi Chavez, 3,7 juta rakyat Venezuela yang tidak punya rumah adalah “utang sosial” yang harus dibayar oleh negara. Karena itu, sumber daya negara dimobilisasi besar-besaran untuk menunaikan misi ini.

Untuk mendanai program ini, selain mengandalkan kas negara dan keuntungan minyak, Chavez juga menggandeng pendanaan dan sokongan negara lain, seperti Tiongkok, Iran, Kuba, Belarusia, Portugal, Rusia, dan Brazil.

Disamping itu, Chavez juga mengundang pihak swasta. Tidak ketinggalan, Bank Negara dan swasta juga diwajibkan untuk membantu pendanaan program besar ini.

Sebelum pembangunan dimulai, Chavez memerintahkan sensus nasional partisipatif. Artinya, rakyat dimobilisasi untuk mendata populasi yang paling membutuhkan rumah. Hasilnya, ada 3,679,339 keluarga.

Angka itu kemudian diklasifikasi lagi, berdasarkan mana yang paling prioritas: tunawisma, korban bencana alam, janda/ibu sebagai kepala rumah tangga, keluarga miskin, dan pekerja yang berpendapatan rendah.

Apa yang menarik dari proyek ini?

Pertama, memastikan seluruh rakyat Venezuela bisa mengakses rumah yang layak huni. Istilah mereka: rumah yang bisa membuat penghuninya bermartabat.

Untuk itu, jutaan rumah yang dibangun diprioritaskan pada yang paling membutuhkan, seperti tunawisma, korban bencana alam, janda/ibu sebagai kepala rumah tangga, keluarga miskin, rumah tangga yang menumpang di rumah kerabat/temannya, dan pekerja yang berpendapatan rendah (standar upah minimum ke bawah). Untuk kategori ini, mereka diberi rumah dengan subsidi 100 persen alias gratis.

Untuk yang berpendapatan dua kali dari upah minimum, mereka mendapat subsidi 50 persen oleh pemerintah. Sedangkan yang bergaji empat kali lipat di atas upah minimum, mereka tidak mendapat subsidi dari negara.

Kedua, program perumahan di Venezuela juga mendemokratiskan tata-ruang kota dan layanan publik. Maksudnya?

Jadi begini. Karena pembangunan kota di Venezuela, terutama Caracas, mengikuti logika kapital, maka tercipta pengelompokan ruang hunian: pusat dan pinggiran (periphery).

Pusat kota jadi ruang bisnis, kawasan pemukiman elit, Residen, Apartemen, dan lain-lain. Mereka aman dari bencana longsor (jauh dari bukit) dan dekat dengan layanan publik. Sayang, yang bisa mengakses ini hanya kelas menengah ke atas, yang memang punya daya-beli.

Sementara orang-orang miskin terlempar ke pinggiran. Sebagian besar mendiami rumah-rumah kumuh di atas perbukitan. Bila hujan deras datang, mereka rentan tertimpuk longsor. Di kawasan ini, infrastuktur dan layanan publik juga terbatas.

Program perumahan merombak konfigurasi itu. Rumah-rumah baru dibangun di tengah kota, dilengkapi dengan fasilitas bermain bagi anak-anak, fasilitas rekreasi keluarga, dan layanan publik (kesehatan, pendidikan, pasar, dan lain-lain).

Inilah yang disebut “revolusi perumahan”, yang tidak hanya mendemokratiskan pemilikan rumah, tetapi juga ruang kehidupan bersama.

Ketiga, kendati dimotori oleh negara, tetapi misi ini mengedepankan partisipasi rakyat. Baik melalui organisasi rakyat maupun Dewan-Dewan Komunal.

Dalam 8 bulan pertama misi ini, hampir 50 persen rumah yang terbangun dikerjakan secara kolektif dan mandiri oleh Dewan Komunal dan organisasi-organisasi rakyat. Ini termasuk rumah yang dipugar atau direhabilitasi.

Begitulah. Hingga artikel ini dibuat, misi perumahan di Venezuela telah membangun 1.469.206 rumah baru. Targetnya, akhir tahun ini mereka bisa membangun 2 juta rumah.

Keempat, misi perumahan bergandengan dengan agenda reforma agraria di wilayah perkotaan.

Untuk diketahui, mayoritas warga yang tinggal di pemukiman kumuh membangun rumah tanpa ijin resmi. Pemilikan tanahnya tidak jelas. Kalau di Indonesia, mereka akan segera dicap “penghuni liar”.

Karena itu, misi perumahan ini juga mendorong legalisasi pemilikan lahan oleh rakyat miskin. Juga inventarisasi tanah-tanah terlantar dan pemilikan tanah luas untuk ketersediaan lahan misi perumahan.

Disamping itu semua, misi perumahan juga menggerakkan industri Venezuela, terutama industri penyedia bahan bangunan. Juga menciptakan lapangan kerja yang besar.

Memang, kondisi ekonomi Venezuela memburuk akibat jatuhnya harga minyak dunia. Maklum, 90 persen penerimaan negara itu bersumber dari ekspor minyak.

Kondisi itu berpengaruh juga pada seretnya pendanaan untuk program sosial, termasuk misi perumahan. Namun, belakangan pemerintahan Nicolas Maduro tidak memangkas anggaran belanja sosial. Yang dipangkas justru belanja rutin dan gaji pejabat negara.

***

Pengalaman Venezuela menunjukkan bahwa soal perumahan adalah soal politik. Negara harus mengambil peran besar, untuk memastikan seluruh rakyatnya, termasuk si miskin, bisa punya akses terhadap rumah layak.

Soal perumahan tidak bisa diserahkan kepada pasar. Sebab, pasar hanya melayani yang punya daya beli. Proyek perumahan juga tidak bisa ditaruh dalam logika bisnis belaka. Sebab, logika bisnis yang mensyaratkan keuntungan (profit) bisa membuat harga rumah tidak bisa dijangkau oleh si miskin.

Rudi Hartono

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid