Resensi Film: Harapan Di Penghujung Tragedi

……adalah Hope. Seorang gadis kecil usia 9 tahun seperti anak kebanyakan. Manis, menawan, ingin dimanja, dan ingin memanja. Suka tayangan anak-anak Kokomong dan berangkat ke sekolah berjalan kaki. Menurut juga pada ibunya untuk selalu berjalan di sisi jalan besar, dan untuk tidak melewati gang kecil. Hope juga baik. Sekalipun khawatir terlambat sekolah, ia mau memenuhi permintaan seorang asing untuk membagi ruang di payungnya dan menemani orang asing ini ke sebuah tempat. Saat itu sedang hujan. Dan Hope tak tega melihat pria itu basah. Inilah permulaan dari pengalaman luka tersebut, dimana tak lama kemudian media massa melaporkan telah ditemukannya seorang anak kecil perempuan, tak jauh dari sekolah, menderita luka hebat, dan mengalami kerusakan pada organ genitalnya.

Lahir dan tumbuh di sebuah keluarga yang sibuk. Ayah Hope berangkat kerja ke pabrik sebelum Hope terbangun. Ibunya juga sibuk dengan rumah tangga dan tokonya. Ayahnya meletakkan tanggung jawab untuk membesarkan anak pada ibunya.Yang selalu ia katakan pada Hope agar ia tak terlalu banyak mengganggu waktu-waktunya adalah “Dengarkan perkataan ibumu”. Ibu Hope tahu bahwa suaminya telah lama tidak mencintainya, sekalipun melalui rahimnya telah lahir seorang gadis kecil cantik, juga adanya janin yang menunggu peristiwa lahir. Ibu Hope mampu merasakan itu melalui tidak hadirnya lagi perhatian seperti yang sering ia peroleh pada permulaan hubungan kasih mereka. Kasih mewujud dalam perhatian, tidak melulu lewat tanggung jawab mencari nafkah.

Setelah tragedi yang menimpa, Ayah dan ibu Hope berpikir mengapa dari semua anak di belahan bumi hanya Hope seorang yang tertimpa peristiwa itu. Rasa-rasanya ini tidak adil. Rasa-rasanya mereka ingin agar kejadian serupa juga menimpa anak-anak yang lain, walaupun itu terdengar sinis dan kejam. Mereka berpikir demikian lantaran ingin Hope tidak berdiri dan bertahan sendirian, agar ia juga punya kehendak untuk pulih dan melanjutkan hidupnya kembali. Namun, memikirkan janin pada istrinya ini, mereka urungkan pikiran tadi. Pada mulanya mereka sekedar bertahan hidup setelah peristiwa itu. Setiap kali ibunya membersihkan colostomy bag ( kantung bantu penampung feses) milik Hope, yang selalu dibawa-bawa kemana, ia memikirkan dalam gurat luka dan pedih kapan semua ini akan berakhir. Pengalaman luka ini bagi orang tua Hope adalah pengalaman yang tidak bisa dan tidak sepadan dibandingkan dengan pengalaman luka lainnya. Mereka merasa bahwa penderitaan merekalah yang paling berat di dunia ini.

Ketika seorang sahabat ayah Hope menyarankannya dengan hati-hati untuk tidak terlalu memikirkan peristiwa tersebut dan menganggapnya seperti peristiwa tertabrak mobil misalnya, ayah Hope murka. Baginya padanan itu tidaklah sebanding. Ia adalah pihak yang paling malang. Bahwa ungkapan ‘aku tahu bagaimana perasaanmu’ adalah ungkapan duka cita atau empatik yang amat remeh dan sungguh melukai hatinya. Bagaimana mungkin melalui pengalaman luka yang berbeda tersebut temannya ini bisa memahami perasaanya, sementara temannya tersebut tak pernah melewati masa-masa pedih dan perjuangan pemulihan sepertinya. Ucapan hati-hati si teman melukai hatinya, menyayat kembali pedihnya, menggoreskan lagi perihnya, dan membuat lubang luka di hati semakin terbuka.

Adalah seorang psikiater, wanita yang amat hangat dan empatik, yang lantas membantu Hope untuk pulih. Ia mengaku pada ibu Hope jika anaknya juga pernah mengalami persitiwa seperti apa yang terjadi pada Hope. Ia mendapat kekerasan seksual dan celakanya si pelaku masih melenggang merasakan udara bebas di luar sana. Ketika remaja, anak dari psikiater ini memilih untuk bunih diri karena merasa tak sanggup untuk membawa beban pengalaman dan luka-luka tsendirian. Karena itulah, psikiater ini amat peduli pada dan membantu Hope untuk tidak sekedar survive (bertahan hidup), melainkan live the life (menghidupi hidup).

Pada psikiater ini Hope banyak bercerita. Orang-orang menyalahkan Hope atas apa yang terjadi. Tidak seorang pun membela jika tindakannya tersebut, menolong orang, benar. Hope pada waktu itu sempat ingin meninggalkan pria asing itu karena takut terlambat sekolah. Namun karena orang asing tersebut nampak basah karena guyur hujan dan menerbitkan rasa kasihan pada, Hope sudi membagi ruang payungnya dan mengantarkan pria ini melintasi gang sempit ke satu bangunan. Yang Hope rindukan dalam proses pemulihan tersebut sebagai seorang bocah ialah sekolah dan bertemu teman-temannya lagi. Cuma saja ia merasa malu untuk bertemu mereka. Ia malu atas apa yang telah terjadi. Mereka pasti menanyakan tentang ketidakhadirannya di kelas. Dan ia bisa saja menjawab jika ia saat itu mengunjungi sepupunya atau pergi berlibur bersama keluarga. Kalau ia tidak berhasil meyakinkan teman-temannya, rumor tidak sedap akan menyelubungi sekolah. Ia tidak ingin mereka mengetahui hal tersebut yang pada akhirnya mungkin akan mengolok-olok, menjauhi, dan meninggalkannya seorang diri dalam upaya untuk membangun kepercayaan diri. Pada psikiter ia juga berkata pelan ingin melihat adiknya lahir. Ingin sekali memeluknya hangat. Namun, ia takut colostomy bag yang dibawa setiap detik akan mengotori adik bayi mungilnya. Ia juga takut jika adik bayi itu akan membuat perhatian ayah dan ibu tidak lagi pada dirinya. Pernah satu kali ia mencoba menahan pedih dan meminum semua pil, lantas berdoa sebelum tidur agar semua penderitaan tersebut usai, dan kembali normal seperti sedia kala, seakan-akan tidak pernah terjadi kejadian buruk semacam. Namun, ketika bangun keesokan harinya, ia mendapati tidak ada yang berubah. Ia jadi paham apa maksud dari ucapan neneknya. Nenek sering merintih “Aku akan mati”. Pada mulanya Hope tak mengerti apa yang dimaksudkan neneknya. Namun, setelah peristiwa yang menimpanya tersebut, rasa-rasanya ia bisa memahami apa yang neneknya maksud.  “Aku akan mati. Apa itu maksudnya menurutmu?” tanya psikiater ini. Selama beberapa detik Hope menunduk sayu. Sambil menggenggam tangan dan menatap jemarinya, ia berucap pelan, “Mengapa aku dilahirkan?”

Hope sempat khawatir mengenai pertanyaan-pertanyaan dari teman-temannya tentang ketiadahadirannya di kelas. Dan betul, saat kembali ke sekolah, beberapa teman memenuhi kekhawatirannya. Seorang sahabat yang amat peduli padanya, meskipun sebelumnya gengsi mensahabati Hope, membela Hope. “Kenapa kamu ingin tahu memangnya?” kata si sahabat ini sambil menaikkan dagu dan menatap menantang teman-temannya tersebut. Hope tersenyum kecil dan menawarkan beberapa permen pada mereka. Siapa tak suka permen. Dan permen itu pun yang berhasil membuat mereka lupa pada pertanyaan dan rasa ingin tahu pada kondisi Hope.

Sekembalinya ke rumah dan masih dalam proses pemulihan, Hope tak berani untuk menatap ayahnya. Ia takut. Ia berada dalam kondisi traumatis. Ayahnya mengingatkannya pada orang jahat tersebut. Barangkali karena si pelaku lelaki, pun demikian juga ayah Hope. Kesedihan seorang ayah adalah ketika anak yang dikasihinya tak lagi dekat dan menghindari kontak langsung dengannya. Situasi semacam sempat menimbulkan frustasi si ayah. Tetapi syukurlah ayah Hope adalah tipikal ayah yang mau belajar. Ia coba identifikasi cara untuk mendekati Hope melalui internet. “Bagaimana berbicara dengan anak perempuanmu”. Begitu bunyi salah satu artikel yang ia baca. Dalam proses tersebut, Ayah Hope tahu jika Kokomong adalah tokoh rekaan kesukaan Hope sebab Hope suka sekali menyaksikan acara Kokomong di televisi dan mengikuti dalam larut gembira anak-anak segala gerakan Kokomong. Semacam tari-tarian Kokomong. Ayah Hope lantas memilih untuk rehat dari pekerjaannya beberapa lama guna mengembalikan kepercayaan diri Hope. Ia memutuskan untuk mengenakan pakaian lengkap Kokomong dan mengikuti Hope pada momen-momen tertentu, seperti ketika Hope berangkat ke sekolah, ketika sedang dalam pelajaran, ketika pulang sekolah, yang ini dilakukan hanya dalam sepengetahuan Hope saja. Ayahnya ingin agar Hope selalu memancarkan simpul senyum itu setiap kali ia melihat Kokomong. Ayahnya tak ingin Hope merasakan pengalaman kesepian dan kesendirian dalam proses pemulihan atas luka-luka batin dan fisik tersebut.

Hope tahu jika Kokomong yang mengikutinya, yang sering kali juga hadir di rumah sakit ketika ia kesepian, adalah ayahnya. Memang Hope sempat merasa takut pada ayahnya dan senantiasa menghindari ayahnya karena kondisi yang belum stabil atau traumatis tersebut. Sampai akhirnya dalam momen tersebut setelah pulang sekolah, Hope memanggil Kokomong, menghampirinya, dan bertanya, “Kau ayah, kan?”. Kokomong yang tak pernah mengeluarkan suara apapun itu hanya bisa mengangguk pelan. “Apa ayah tidak merasa panas di dalam pakaian itu?” Hope bertanya penasaran. Kokomong mengangguk lagi. Hope dengan pelan meraih tangan Kokomong, ayahnya itu, menggandeng tangannya dan mengajak ayahnya pulang. Mereka berjalan seiring.

Setiba di rumah, dalam kekagetan istrinya yang baru tahu kelakuan suaminya tersebut, Hope membuka penutup kepala Kokomong. Hope menatap wajah ayahnya dengan lembut, memperhatikan keringat hebat yang membanjiri seluruh wajah dan tubuh ayahnya, menyentuh wajah ayahnya perlahan, mulai mengusap keringat ayahnya dengan jemari, dan menyeka keringat tadi sampai kering dengan lengan bajunya. Ayah Hope masih menunduk tak berani menatap Hope, tetapi Hope kini sudah lebih berani dan tegar penuh kasih untuk melihat lebih dekat wajah ayahnya.

Bagaimana mengenai cerita si pelaku kejahatan tadi? Kerabat dan keluarga Hope memang mengharapkan hukuman seberat mungkin pada si pelaku kejahatan berlapis ini karena telah menimbulkan sakit permanen pada Hope. Si pelaku selalu berbicara bahwa ia tak merasa melakukan kesalahan atas perbuatan keji tersebut karena saat peristiwa itu ia sedang dikuasai oleh mabuk beratnya. Ia mengaku sebagai orang yang tak bersalah (innocent) dan bahwa pengadilan tak mendengarkannya. Karena memang ada bukti medis si pelaku kecanduan alkohol berat dan gangguan pada pikirannya, pengadilan memberi hukuman penjara dua belas tahun. Kerabat dan keluarga Hope berang atas keputusan pengadilan. Mereka berteriak mengutuk hakim dan ruang sidang. “Keadilan macam apakah ini?” teriak mereka. Dalam situasi kalut tersebut, ketika si pelaku sedang digiring keluar ruang sidang, ayah Hope dengan perlahan menghampiri si pelaku dan mengambil satu benda keras-tumpul. Dengan emosi yang siap meledak dan puncak kegeraman, ayah Hope mengarahkan dengan tenaga penuh benda tersebut ke arah si pelaku kejahatan. Namun, Hope berlari menghampiri dan memeluk erat kaki ayahnya. Hope duduk bersimpuh menangis dan meminta ayahnya tak melakukan tindakan tersebut, yang malah akan menghantarkan ayahnya ke bilik penjara. Dalam sedu sedan tangisan itu, masih dalam memeluk erat salah satu kaki ayahnya, Hope bilang, “Ayo pulang ayah. Ayo pulang”. Dan pertahanan terakhir ayah Hope keluar sudah. Ia menangis terisak-isak, menggendong Hope dengan tenaga seadanya karena telah  terkuras pikiran dan emosinya, lalu berkata, “Kita pulang, Nak. Kita pulang”.

Setelah pengadilan itu, cinta yang mewujud menjadi janin itu lahir dalam rupa manusia. Pengalaman luka tersebut nampaknya mengembalikan lagi suasana kasih dan cinta mula-mula di keluaraga ini. Mereka menamakan bayi laki-laki itu Happy. Sebuah nama yang menyimpan sebuah ujud doa dan harapan, sama seperti nama Hope. Happy bagi Hope adalah sebuah berkah, sebuah harapan, dan sebuah kegembiraan baginya, untuk tidak lagi bersembunyi (hide) dan bertahan hidup(survive), tetapi untuk menghidupi hidup itu sendiri (live the live). Setidaknya, itulah yang saya tangkap atas film ini.

Film yang diluncurkan pada 2 Oktober 2013 ini memang memenangkan banyak hati penonton karena mampu menguras emosi mereka, mampu menempati box office, dan mampu memenangkan penghargaan. Dengan durasi 122 menit, film yang dimulai pada sebuah tragedi ini ingin menampakkan jika sekalipun di penghujung ratapan, keputusasaan dan ketiada-bahagiaan atas rangkaian kesukaran yang menyapu, harapan yang merekah itu masih ada. Itulah salah satu pesan dari film yang bersumber dari kisah nyata di Korea Selatan ini. Sekalipun begitu, bukan berarti kritik tidak muncul dan tenggelam. Bagaimana mungkin, pada para kritikus film, sebuah tragedi dikemas menjadi konsumsi hiburan massa? Bagaimana mungkin, apapun alasan empunya pembuat film, melihat sebuah penyelesaian tragedi dalam cara yang terlampau idealistis? Dan, etiskah menampilkan dan membuka luka lama seorang anak dan keluarga, sekalipun hal tersebut mampu menuai simpati dari banyak orang?

Pada akhirnya, terlepas dari pujian dan kritik atas film ini, saya ingin berucap: selamat melihat.

The loneliest person is the kindest. The saddest person smiles the brightest. Because they don’t want others to feel the same pain (Anonymous)

Francis Simamora, mahasiswa pascasarjana CRCS (Center for Religious and Cross-cultural Studies) UGM, aktif di LSM Rumah Impian, dan pernah bergabung di Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Lampung.

 —————

Hope (2013)
Sutradara: Lee Joon-Ik
Penulis: Jo Joong-hoon dan  Kim Ji-hye
Durasi: 122 menit
Pemain: Sol Kyung-gu, Uhm Ji-won, dan Lee Re

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid