Melalui artikel di Kompas, Mempercepat Reforma Agraria, Iwan Nurdin menggambarkan sekilas situasi agraria di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Saya kira itu bagus sebagai pemantik diskusi agraria. Maklum, sejak pasca pemerintahan Sukarno, mereka yang bicara reforma agraria kerap dicap komunis. Tuduhan serupa masih sering kita temui, yang ditimpakan kepada mereka yang melakukan advokasi petani untuk keadilan agraria.
Dalam artikelnya itu, Iwan Nurdin menegaskan bahwa reforma agraria adalah perkara komitmen politik. Di masa Bung Karno, reforma agraria menjadi komitmen politik pemerintah. Bung Karno mengatakan, “Revolusi indonesia tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong kosong tanpa isi, melaksananakan land reform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari revolusi Indonesia.”
Di era Jokowi, komitmen reforma agraria dalam bentuk redistribusi lahan 9 juta hektar, sebagaimana tercantum dalam nawacita poin kelima, sudah tergambar buku panduan Reforma Agraria yang dikeluarkan oleh Kantor Staf Presiden. Di dalamnya diulas program dan kegiatan prioritas yang meliputi: pertama, penguatan kerangka regulasi dan peneyelesaian konflik agraria; kedua, penataan, penguasaan dan pemilikan tanah obyek reforma agraria; ketiga, kepastian hukum dan legalisasi hak tanah obyek reforma agraria; keempat, pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, pemamfaatan dan produksi atas tanah obyek reforma agraria; dan kelima, kelembagaan pelaksana reforma agraria pusat dan daerah.
Namun, komitmen politik pemerintahan Jokowi itu seakan terbentur oleh fakta penguasaan sumber daya alam, khususnya tanah, oleh pihak pemilik modal yang kuantitasnya sangat kecil. Mengacu pada data Badan Pertanahan Nasional, 56 persen aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya 0,2 persen penduduk Indonesia.
Sensus Pertanian 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar per keluarga. Sekitar 14,25 juta rumah tangga tani lain hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar per keluarga. Padahal, skala ekonomi untuk satu keluarga minimal 2 hektar.
Menurut Iwan, penguasaan tanah oleh pemilik modal yang jumlahnya 0,2 persen ini telah menimbulkan ketimpangan, kesenjangan, kerusakan lingkungan bahkan konflik agraria.
Revolusi Mental
Sebelum terpilih sebagai Presiden, tepatnya pada Mei 2014, Jokowi menulis di Harian Kompas dengan judul “Revolusi Mental”. Intinya, Jokowi menghitung bahwa Reformasi 1998 hanya melakukan perombakan kelembagaan/institusional, belum paradigma, mindset, atau budaya politik kita sebagai sebuah bangsa.
Menurut Jokowi, bangsa Indonesia masih terhadang oleh mental korupsi, intoleransi, kerakusan, keinginan cepat kaya secara instan, pelecehan hukum, dan sikap oportunis, yang kesemuanya menghambat kemajuan.
Singkat cerita, menurut Jokowi, Indonesia perlu Revolusi Mental untuk membabat habis mental yang menghambat kemajuan itu, menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.
Masalahnya sekarang, sudahkah revolusi mental itu berjalan?
Saya kira, samai sekarang ini revolusi mental masih sebatas sosialisasi dan iklan di televisi. Jangankan mentalitas bangsa, mentalitas dan paradigma berpikir aparatus negara saja belum banyak berubah. Masih sama dengan sebelumnya: bermental jongos kepada pemilik modal.
Padahal, revolusi mental seharusnya mengubah cara berpikir hingga perilaku aparatus negara, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, hingga Angkatan Bersenjata dan Aparat kepolisian.
Dalam hubungannya dengan persoalan agraria, komitmen politik Jokowi untuk reforma agraria akan sulit terwujud jika aparatus pelaksananya belum direvolusi mentalnya.
Sejak berkuasa, Presiden Jokowi sudah dua kali melakukan reshuffle kabinet. Selain untuk memperkuat Kabinet, reshuffle juga untuk memperbaiki kinerja Kabinet, agar bekerja lebih cepat, efektif, responsif dan solid.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang merangkap Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) juga mengalami reshuffle, dari Ferry Mursyidan Baldan ke Sofyan Djalil. Apa yang terjadi?
Di bawah kepemimpinan Ferry Mursyidan, ada beberapa kemajuan yang dicapai Kementerian ATR/BPN terkait penyelesaian konflik agraria. Misalnya yang terkait dengan konflik agraria yang ditangani oleh Serikat Tani Nasional (STN) di Teluk Jambe (Karawang) dan Suku Anak Dalam 113 (SAD) di Jambi.
Sayang, begitu ganti Menteri, berbagai kemajuan dalam penyelesaian konflik di daerah itu ikut dianulir. Malahan, Menteri Sofyan Djalil kerap melontarkan pernyataan yang menghambat reforma agraria, seperti pernyataannya soal mafia tanah.
Saya kira, rintangan terbesar reforma agraria sekarang ada di Kementerian yang menjadi ujung tombak program ini, yakni Kementerian ATR/BPN.
Sehabis Pilkada DKI Jakarta, isu reshuffle kabinet kembali terdengar nyaring. Sebagimana disampaikan oleh Jokowi Kongres Ekonomi Umat yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Hotel Sahid, Jakarta, Sabtu (22/4/2017).
Jika benar terjadi reshuffle kabinet, maka untuk memastikan komitmen politik Jokowi terkait reforma agraria, maka saya punya usulan: pertama, membentuk Kementerian Koordinator Agraria yang membawahi menteri menteri yang mengurus agraria, yakni Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDT), Kementerian Pertanian, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Menteri Agraria Tata Ruang /Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dan Menteri Kehutanan.
Seperti yang dilakukan Presiden Sukarno melalui Kabinet Dwikora tahun 1964, yang membentuk Kemeterian Kompartemen Agraria (semacam Kementerian Koordinator) yang membawahi enam Kementerian, yaitu: Menteri Pertanian, Menteri Perkebunan, Menteri Kehutanan, Menteri Agraria, Menteri Pembangunan Masyarakat Desa dan Menteri Pengairan Rakyat. Sebab, Kementerian itu terkait erat tidak hanya soal administrasi pertanahan, namun jauh lebih penting yakni politik pertanahan demi terwujudnya keadilan sosial.
Kedua, Presiden Jokowi harus berani mengganti Menterinya yang mengurusi soal agraria, terutama Kementerian ATR/BPN, yang terbukti gagal melaksanakan perintah Presiden soal percepatan reforma agraria.
Saya kira, Presiden Jokowi harusnya bercermin pada komitmen politik Presiden Sukarno dalam menjalankan reforma agraria ( baca : land reform). Sukarno dengan tegas menyatakan: “land reform berarti memperkuat dan memperluas kepemilikan tanah untuk seluruh rakyat indonesia terutama kaum tani”.
Ahmad Rifai, Ketua Umum Serikat Tani Nasional (STN)
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid