Realitas di Balik Penghargaan “Menteri Keuangan Terbaik Dunia”

Tiga hari lalu, majalah The Banker memberikan penghargaan sebagai “Best Finance Minister of the Year 2019” kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, untuk kategori Dunia dan juga Asia Pasifik.

Bila melihat alasan pemberiannya seperti dituliskan di website resmi The Banker, kalimat pembukanya: “Di 2018, Indonesia menghadapi tragedi tetapi negara ini cepat pulih di bawah kepemimpinan dari menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati.” Kemudian di kalimat yang lain, “Dalam merespon ini (bencana), Sri Mulyani memodernisasi respon negara Indonesia terhadap bencana alam melalui suatu strategi baru pembiayaan resiko bencana. Diumumkan di Oktober 2018, strategi ini akan menjamin asuransi bangunan publik sejak 2019, melindungi dan menolong mereka untuk mempercepat proses pemulihan.

Jadi The Banker memberikan penghargaan kepada Sri Mulyani karena menciptakan model baru asuransi pembiayaan yang masih akan diterapkan untuk menangani bencana yang akan datang. Anggaplah ini akan berguna. Tetapi pastinya, semenjak Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan Pemerintahan Jokowi, dirinya sudah tiga kali memotong anggaran badan resmi nasional yang mengurus penanganan bencana, BNPB, hingga tinggal sepertiga dari besaran awalnya. Anggaran BNPB tahun 2017 masih sebesar Rp 1,8 triliun. Tahun 2018 dipotong Sri Mulyani tinggal menjadi Rp 746 miliar, dan tahun 2019 anggaran BNPB dipotong lagi sehingga hanya tinggal Rp 610 miliar.

Selain penanganan pasca terjadinya, bencana juga harus dipikirkan bagaimana memitigasinya agar dapat meminimalisir terjadinya korban jiwa. Tapi ternyata Sri Mulyani juga memotong anggaran badan resmi negara yang bertugas memitigasi bencana, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Seorang anggota DPR dari Komisi V bersaksi, bahwa anggaran BMKG yang diajukan badan tersebut untuk tahun 2019 adalah sebesar Rp 2,7 triliun, tapi Kementerian Keuangan yang dipimpin Sri Mulyani memotongnya hingga hanya tinggal Rp 1,7 triliun. Dengan memotong anggaran yang diajukan BMKG, artinya Sri Mulyani telah menghambat modernisasi teknologi mitigasi bencana yang sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan nyawa manusia Indonesia.

Jadi, sepertinya The Banker memberikan penghargaan bagi Sri Mulyani karena berani melakukan pemotongan anggaran (austerity policy) untuk mitigasi dan penanganan bencana di Indonesia. Seperti diketahui, austerity policy adalah kebijakan memotong berbagai anggaran untuk kepentingan publik dengan mencadangkan (tidak menyentuh) anggaran untuk pembayaran cicilan dan bunga utang- yang tentu sangat disukai oleh The Banker. Dan yang paling penting tentunya, tapi The Banker mungkin lupa untuk sebutkan, di tahun 2018 Sri Mulyani kembali menarik utang sebesar Rp 15,2 triliun dari Bank Dunia -mitra dari The Banker– untuk rekonstruksi pasca bencana di Lombok dan Palu.

Kita lanjutkan kepada paparan berikutnya dari The Banker sebagai alasannya memberi penghargaan kepada Sri Mulyani sebagai menteri keuangan terbaik se-Dunia dan Asia Pasifik. “Sembari menghadapi tragedi, Indonesia masih menunjukkan pertumbuhan yang impresif. Defisit PDB untuk 2018 diproyeksikan akan sebesar 1,86 persen, lebih kecil dari angka yang diperkirakan di APBN 2018 sebesar 2,19 persen.”

Sebenarnya pertumbuhan ekonomi 5,1 persen untuk Indonesia tidaklah impresif, karena negara ini sangat berpotensi untuk tumbuh lebih tinggi lagi bahkan hingga double digit. Dengan pertumbuhan PDB hanya 5,1 persen, Indonesia hanya menduduki peringkat ke-35 di antara negara-negara Dunia. Defisit APBN bisa lebih kecil dari target tentu karena berbagai kebijakan austerity yang dilakukan Sri Mulyani, dan juga yang paling penting adalah bertambahnya penerimaan negara karena “durian runtuh” kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan kurs Rupiah terhadap Dollar AS.

Di sisi lain, defisit yang lebih berbahaya untuk kestabilan makroekonomi, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) tahun 2018 malah terus membesar hingga 3,37% dari PDB (batas aman sebenarnya di bawah 3% PDB). Di antara negara-negara tetangga di ASEAN, defisit transaksi berjalan Indonesia adalah yang terbesar- sehingga menjadi negara yang paling rentan kondisi makroekonominya bila badai krisis kembali menerjang. Dari seluruh negara ASEAN, semuanya mengalami surplus transaksi berjalan, kecuali Filipina dan Indonesia yang defisit. Semoga dengan memuji makro ekonomi Indonesia di bawah Sri Mulyani, The Banker tidak sedang menina-bobokan kita semua agar bila terjadi krisis nanti Indonesia-lah yang paling hancur dan akhirnya membutuhkan bantuan keuangan dari “sekondan” The Banker: IMF.

Dalam penutup paparannya, The Banker memuji serangkaian kebijakan perpajakan yang diterapkan Sri Mulyani di 2018. Tidak perlu saya kutip lagi karena terlalu panjang dan berbunga-bunga, pembaca dapat melihatnya sendiri di website resmi. Yang terpenting, apapun pujian dari The Banker, faktanya penerimaan pajak dibandingkan terhadap PDB atau tax ratio (dalam arti sempit, minus PNBP) Indonesia di bawah Sri Mulyani terus menurun. Menurut INDEF, tahun 2016 tax ratio masih di 10,4%, dan tahun 2017 turun ke 9,9%. Kemudian, tahun 2019 (berdasarkan perhitungan saya) tax ratio kembali turun ke 9,2%. Besaran tax ratio Indonesia yang masih di kisaran ini sangat jauh di bawah dari standar tax ratio negara-negara maju, OECD, yang sebesar 34,2% (2017).

Aneh sekali, semua poin pujian yang tertulis dalam paparan The Banker sebagai landasan pemberian penghargaan kepada Sri Mulyani, seperti tidak sesuai dengan realitas situasi Indonesia. Kemudian bila saya analisa lebih dalam lagi, dengan melihat pemaparan dari The Banker dalam pemberian penghargaan kepada para menteri keuangan di berbagai negara selama tiga tahun ke belakang, ditemukan benang merah dari realitas di baliknya.

Pertama, menerbitkan surat utang dengan yield tinggi.

Yield surat utang Indonesia (tenor 10 tahun) di bawah Sri Mulyani saat ini sebesar 8,08%. Yield surat utang India (tenor 10 tahun) di bawah Menteri Keuangan India Arun Jaitley -yang menerima penghargaan yang sama tahun 2018- adalah sebesar 7,4%. Dan yield surat utang Argentina (tenor 10 tahun) di bawah Menteri Keuangan Argentina Alfonso Prat-Gay -yang menerima penghargaan yang sama tahun 2017- adalah sebesar 7,5%. Kita tahu, semakin tinggi yield, maka semakin tinggi keuntungan para investor pasar keuangan mitra The Banker.

Kedua, berhutang dalam jumlah besar ke pasar atau grup IMF-Bank Dunia

Total surat utang yang diterbitkan Sri Mulyani sepanjang 2018 adalah sebesar USD 28,4 miliar. Menkeu Argentina Alfonso Prat-Gay dipuji The Banker karena berhasil memperbaiki hubungan dengan vulture fund (setelah masalah renegosiasi utang Kirchner tahun 2002) dan menerbitkan surat utang USD 16,5 miliar tahun 2016. Menteri Keuangan Sri Lanka Ravi Karunanayake -Menteri keuangan Terbaik tahun 2017 se-Asia Pasifik versi The Banker- “sukses” menarik utang dari IMF sebesar USD 1,5 miliar dan menerbitkan surat utang ke pasar sebesar USD 6,6 miliar.

Ketiga, menerapkan kebijakan “Austerity policy”

Sri Mulyani, Alfonso Prat-Gay, Arun Jaitley, dan Ravi Karunanayake menerapkan kebijakan ini dalam kebijakan fiskal di negaranya.***

GEDE SANDRA, analis ekonomi di Lingkar Survei Perjuangan

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid