Pada tanggal 18 Juni 2010, dalam suatu ramah-tamah dengan wartawan di Istana Cipanas, Presiden SBY menyatakan, “Kalau bicara hak asasi, hak politik TNI tidak boleh dicabut. Ide itu tidak keliru karena hak politik seseorang”. Besoknya, lontaran presiden ini menuai polemik di mana-mana, terutama dari partai politik, LSM, dan pengamat politik.
Bagi sebagian besar parpol, hak pilih tidak dapat diterapkan sebelum proses reformasi internal TNI dituntaskan, apalagi TNI memiliki garis komando yang tidak cocok dengan sistim politik demokrasi. Sementara itu, di mata LSM, hak pilih TNI merupakan “setback” dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, sebuah pintu bagi kembalinya militer di panggung politik.
Kita harus mendudukkan persoalan ini secara objektif dan rasional. Dahulu, pada saat pemilu 1955, TNI pun sudah mempergunakan hak pilihnya. Ketika itu, partisipasi TNI dalam bilik suara tidak mengarahkan TNI pada perpecahan, meskipun suara TNI tersebar di berbagai partai politik dan golongan. Bahkan, 30 % pemilih PKI adalah tentara berseragam.
TNI memang memiliki garis komando, tapi itu tidak menjamin ketika seorang prajurit sedang di dalam bilik suara. Tidak menutup kemungkinan, misalnya seorang prajurit memilih partai di luar keinginan sang komandan karena partai dimaksud mewakili pandangan politik atau kepentingan sosialnya.
Sebagai warga negara dalam pemilu, suara seorang prajurit adalah sama dengan suara Jenderal. Untuk urusan ketentaraan atau angkatan perang, misalnya, setiap prajurit dan jenderal memang harus diikat oleh sistim komando. Namun, sebaliknya, ketika berbicara soal urusan kebijakan dan perut, maka seorang prajurit berhak untuk berbeda dengan komandan.
Hak memilih adalah hak setiap warga negara, yang menurut UUD 1945, dikatakan sebagai hak azasi. Dari situ, terlepas apapun profesi dan lapangan pekerjannya, semua memiliki hak yang sama di kotak suara, tidak ada diskriminasi. Sangat aneh jika kaum demokrat menolak hal ini, padahal ini termaktub dalam prinsip hak pilih universal (universal suffrage).
Sebetulnya, jika diperiksa secara cermat, penggunaan hak politik TNI justru akan sejalan dengan proses demokrasi di tubuh militer. Dengan terlibat memilih dalam kotak suara, setiap prajurit akan memiliki kebebasan untuk mengartikulasikan pandangan politiknya, tidak lagi seragam seperti saat ini.
Sebagai missal, karena prinsip bebas dan rahasia di jamin di bilik suara, seorang prajurit TNI dapat memilih partai apapun yang dapat mewakili aspirasi politiknya dan memperjuangkan perbaikan kesejahteraan prajurit. Ini justru akan sedikit mendemokratiskan kepala setiap prajurit.
Ini akan memberikan ruang bagi setiap prajurit TNI untuk belajar politik; diskusi-diskusi politik, belajar teori politik, dan lain sebagainya. Ada yang mengatakan, untuk merubah sesuatu institusi, maka yang terpenting adalah merubah mindset dulu.
Hal positif lainnya adalah, ketika setiap prajurit punya kemerdekaan untuk mengartikulasikan pilihan politiknya, maka TNI tidak akan mudah dikendalikan oleh satu kekuatan politik tertentu seperti sekarang ini. Saat ini, karena sulitnya membedakan antara alat negara atau pemerintah, maka TNI sering sekali dipergunakan partai pemerintah berkuasa.
Sekarang ini di seluruh dunia, ada 23 negara yang mengijinkan prajurit angkatan perangnya menggunakan hak pilih, termasuk Bolivia dan Venezuela. Jumlah prajurit TNI, jika mengikuti sumber Tempo 14 Februari 2006, adalah 432.129 personil, yang kalau dikonversi dalam hitungan kursi DPR-RI, hanya 3-4 kursi.
Point kesimpulannya; Setiap anggota TNI harus diberi hak pilih layaknya warga negara yang lain, namun TNI, baik secara individu maupun institusi, tidak diboleh ikut berpolitik. Soekarno pernah berkata; “Politik tentara adalah politik negara. Karena itu sebagai tentara rakyat, sebagai tentara nasional, tentara tidak boleh berpolitik sebagaimana partai politik.”
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid