Munculnya sosok Joko Widodo (Jokowi) sebagai Calon Presiden, yang diusung oleh PDI Perjuangan, disikapi secara beragam oleh kaum pergerakan dan gerakan rakyat.
Bagi sebagian kaum pergerakan, Jokowi dianggap tokoh populis dan punya kehendak untuk membuat perubahan. Karena itu, dalam konteks pemilu 2014, sebagian kaum pergerakan memberikan dukungan politik kepada Jokowi.
Di sini, kami mencoba mendiskusikan kemunculan politik populisme dari dua faktor: situasi objektif dan situasi subjektif (situasi gerakan rakyat sebagai motor utama perubahan).
Jika menilik ke situasi objektif, ada dua faktor dominan yang memicu munculnya populisme. Pertama, ketidakpuasan popular terhadap situasi ekonomi yang jauh dari harapan massa-rakyat. Ketidakmampuan rezim berkuasa memenuhi ekspektasi ekonomi massa-rakyat, dalam hal ini soal kesejahteraan, menjadi pemicu utama ketidakpuasan. Kedua, kebangkrutan ideologi dan politik partai atau kekuatan-kekuatan politik tradisional. Kebangkrutan itu ditandai dengan ketidakmampuan partai politik merespon tuntutan massa rakyat, merebaknya praktek korupsi, dan gaya berpolitik yang makin berjarak dengan massa (elitis).
Sementara itu, dalam aspek situasi subjektif, kemunculan populisme biasanya dipicu oleh: pertama, ide-ide progressif yang menawarkan analisa dan solusi paling komprehensif terhadap keadaan [situasi ekonomi, politik, dan sosial-budaya] belum menjadi ide dominan; kedua, belum adanya kekuatan politik alternatif yang terorganisir dan sanggup mewadahi serta mengartikulasikan ketidakpuasan popular.
Karena itu, bagi kami, populisme bisa disimpulkan sebagai sebuah ‘antisipasi politik’ terhadap meluasnya ketidak-puasan massa rakyat terhadap realitas ekonomi dan politik. Nah, sebagai sebuah ‘antisipasi politik’, populisme bisa punya dua kecenderungan: pertama, sebagai ‘obat sementara’ dari klas borjuis dalam rangka menangkal potensi radikalisme dari ketidakpuasan massa agar tidak mengancam kekuasaan kapital; kedua, sebagai sebuah gerakan politik, dengan mengandalkan daya pikat personal atau karisma, untuk merespon ketidakpuasan dan tuntutan massa-rakyat. Pertanyaannya kemudian, Jokowi masuk dalam kecenderungan yang mana?
Dalam prakteknya, sebagai sebuah ‘antisipasi politik”, populisme punya beberapa karakter. Pertama, populisme tidak pernah mendefenisikan ideologinya secara jelas. Kendati sering mengadopsi identitas “kerakyatan”, tetapi ini pun tidak lebih sebagai bingkai untuk menjangkau sektor-sektor rakyat yang luas dan beragam.
Kedua, populisme selalu menghindari analisa sistemik, yakni sebuah upaya untuk membongkar akar persoalan dengan menginterogasi sistem ekonomi-politiknya. Bagi politik populis, misalnya, persoalan bangsa sekarang ini adalah maraknya korupsi dan kurangnya politisi yang berdedikasi terhadap rakyat. Padahal, untuk konteks sekarang, akar persoalannya adalah imperialisme atau neokolonialisme. Sementara korupsi dan politisi bermental komprador hanyalah konsekuensi dari neo-kolonialisme itu.
Ketiga, kendati pemimpin populis naik dan berkuasa dengan memanfaatkan dukungan dan mobilisasi massa-rakyat, seperti kaum buruh, miskin kota, dan petani, tetapi mereka tidak berkepentingan dengan pengorganisasian rakyat dan kemandirian organisasi rakyat. Selain itu, mobilisasi politiknya juga sporadis dan tidak permanen. Biasanya, bagi politik populis, mobilisasi politik hanya diperlukan untuk menjamin kemenangan mereka melalui pemilu.
Di sisi lain, kita gerakan rakyat punya kehendak politik berbeda. Pertama, kita berkeinginan mengubah ketidakpuasan massa rakyat ini menjadi basis politik untuk sebuah transformasi sosial, ekonomi, dan politik secara radikal. Kedua, kita percaya bahwa perubahan atau transformasi radikal itu tidak bisa dititipkan kepada seorang tokoh, melainkan oleh sebuah gerakan rakyat yang sadar dan terorganisir.
Di sinilah muncul tantangan bagi kaum pergerakan atau gerakan rakyat yang memberikan dukungan terhadap politisi populis. Pertama, bagaimana cara mereka menunggangi politik populis untuk memenangkan ide-ide progressif guna menerangi jalan keluar dari batasan-batasan reformisme. Kedua, bagaimana mereka mengubah kecintaan dan loyalitas massa terhadap figur populis menjadi organisasi-organisasi rakyat yang mandiri. Ketiga, bagaimana mereka menjalankan kerjasama dan sekaligus pertarungan [pertempuran] dengan kelompok politik lain yang juga mencoba mengambil keuntungan dari figur populis, termasuk partai pengusung si figur tersebut.
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid