Politik Diplomasi Kita

Masalah di perbatasan antara Indonesia dan Malaysia baru-baru ini, kembali menyulut ketegangan di kedua negeri. Pemerintah Indonesia dituntut bersikap tegas terhadap penguasa di Malaysia atas provokasi-provokasi yang mereka lakukan. Namun politik diplomasi pemerintahan SBY-Boediono mencerminkan ketidakberdayaan negeri ini. Dalam konteks yang serupa, kita dihadapkan pula pada kasus pencemaran di laut Timor oleh perusahaan join asal Australia dan Thailand di blok Montara. Kembali kita disuguhi kegagalan diplomasi dengan dimentahkannya tuntutan ganti rugi pihak Indonesia—yang semestinya juga mewakili kepentingan para nelayan di laut selatan Timor serta pulau-pulau sekitar yang dirugikan pencemaran tersebut.

Dua contoh teranyar ini merupakan wujud kongkrit dari wajah politik diplomasi Indonesia yang telah menyejarah dan harus diubah. Wajah diplomasi yang ditunjukkan presiden SBY adalah wajah yang memelas dan menyerah pada angka-angka utang dan investasi. Bahkan rela menjilat korporasi-korporasi (termasuk korporasi dari Malaysia) sambil tega menginjak rakyat sendiri. Wajah negeri ini adalah diplomasi yang banyak mengutang dari bank maupun negara lain, dan selalu bergantung pada utang, sehingga tak kunjung mandiri. Wajah diplomasi kita adalah wajah negeri yang lemah tak berdaya, di atas ketidakberadaban yang terciptakan dan terstempelkan pada kening bangsa ini selama sekian generasi. Wajah bangsa ini adalah wajah indlander yang berada dalam proses pemiskinan dan pembodohan.

Republik Indonesia yang lahir 65 tahun lalu menjanjikan sebuah politik luar negeri yang bebas dan aktif. Namun pemaknaan terhadap politik bebas dan aktif ini mengalami distorsi dan pengaburan yang luar biasa pada masa kekuasaan rezim orba. Pada masa sebelumnya Indonesia pernah memainkan peran diplomasi yang berbobot bersama bangsa-bangsa besar lainnya yang baru lepas dari kolonialisme. Satu di antara yang terpenting adalah peran gemilang di Konferensi Asia Afrika (KAA). Samir Amin, seorang intelektual Mesir, menulis dalam salah satu karyanya tentang sederet keberhasilan Konferensi tersebut. Antara lain disebut terciptanya suatu lompatan yang sangat besar bagi rakyat-rakyat di Selatan pada bidang pendidikan dan kesehatan, pembentukan negara yang lebih modern, berkurangnya kesetimpangan sosial, sampai perubahan ke arah industrialisasi.

Tentu terdapat kekurangan dari masa lalu yang dapat dibedah lebih lanjut oleh generasi sekarang, baik dalam hal-hal yang spesifik, maupun keutuhan masalahnya sebagai sebuah bangsa. Tapi di periode itu negeri ini masih menampakkan semangat yang diwujudkan dengan tindakan-tindakan nyata. Bukan saja bagi kedaulatan tanah air dan rakyatnya, tapi juga bagi rakyat di negeri lain.

Rakyat Indonesia merindukan sebuah pemerintahan yang mampu menjalankan politik diplomasi secara berdaulat, membebaskan bangsa dari penjajahan yang berkepanjangan. Kedaulatan yang perlu dikembalikan bukan semata teritorial (yang kerap berpotensi menggiring orang pada pemahaman chauvinis), melainkan juga kedaulatan rakyatnya. Di atas kedaulatan rakyat inilah kedaulatan sebagai bangsa dapat dijalankan, dan sebaliknya, di atas kedaulatan bangsa syarat bagi kedaulatan rakyat dapat diwujudkan. Sampai di sini, pemerintahan SBY-Boediono hanya mempunyai satu pilihan, kembalikan kedaulatan (bangsa atau rakyat) yang selama ini terus terampas, atau segera turun dari jabatan.

[post-views]