Perang Melawan Teroris Gas Elpiji (LPG)

Saat saya sedang menuliskan artikel ini, sebuah ledakan kompor gas terjadi di Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya, yang menyebabkan seorang penjual nasi goreng terkena semburan api dan sekujur tubuhnya terbakar. Hampir setiap hari terjadi ledakan kompor gas dan itu selalu menimbulkan korban. Tidak mengherankan, penggunaan kompor gas telah menciptakan terror baru yang menakutkan bagi warga masyarakat.

Jika mau dibanding-bandingkan, ledakan kompor gas setiap hari di Indonesia tidak kalah menakutkan dibanding aksi bom para teroris, atau bahkan bila dibandingkan dengan serangan bom bunuh diri di Irak dan Afghanistan. Jika yang disebut terakhir memang terencana dan ditetapkan pada sasaran tertentu, maka ledakan kompor gas tidak terencana dan dapat mengarah kepada siapapun.

Jika menyimak data serangan teroris di Indonesia versi Wikipedia, dari tahun 2000 hingga 2010, terdapat sedikitnya 24 kali serangan teroris. Bandingkan dengan jumlah ledakan kompor gas, yang menurut Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) sejak 2008-Juli 2010, telah terjadi terjadi 189 kasus ledakan gas, dengan perincian 61 kasus pada 2008, 50 kasus pada 2009 dan 79 kasus pada 2010.

Ya, ledakan kompor gas memang tidak digerakkan oleh kelompok fanatik tertentu, namun sangat terkait dengan sebuah desain kebijakan ekonomi dan politik. Korbannya pun sebagian besar bukan orang asing ataupun pejabat negara, melainkan rakyat miskin yang terbiasa dengan kehidupan ekonomi pas-pasan; rumah tangga miskin, tukang gorengan, tukang bakso, tukang mie ayam, warung makan sederhana, dan lain sebagainya.

Dan, karena korbannya rakyat miskin yang lemah, maka pemerintah pun sepertinya tidak terlalu ambil pusing, karena toh tidak ada ancaman travel warning, investasi memburuk, pembatalan event berskala internasional, hingga sepinya pengunjung hotel, café, dan restoran mewah. Namun, apapun yang menjadi argumentasinya, nyawa seorang manusia tidak boleh dikorbankan sia-sia hanya karena gas elpiji.

Jusuf Kalla, pencetus ide konversi minyak tanah ke gas, menyatakan bahwa ledakan gas terjadi karena adanya faktor kelalaian dari pihak pengguna. Penjelasan itu tidak bisa ditelan oleh rakyat miskin. Sebab, jika dikaitkan dengan persoalan perilaku, bukankah pemerintah juga punya kewajiban untuk melakukan sosialisasi secara maksimal kepada masyarakat.
Untuk menanggapi hal ini, berbagai pihak pun mengajukan berbagai argumentasi yang beragam.

Pihak Badan Standarisasi Nasional (BSN) mengatakan, bahwa penelitian menunjukkan ledakan gas yang kerap terjadi belakangan ini bukan disebabkan oleh tabungnya yang bermasalah, namun dikarenakan aksesoris dan kompor gas, misalnya elang, rubber seal di dalam katup, katup, regulator dan kompor.

Untuk memperkuat argumentasinya, pihak BSN pun mengajukan data, bahwa 20 persen regulator, 50 persen kompor gas, 66 persen katup tabung, dan 100 persen selang yang diuji tidak memenuhi syarat mutu SNI.

Pendapat BSN diperkuat pula oleh penyelidikan Asosiasi Industri Tabung Baja (Asitab), yang menyatakan bahwa sekitar 21 persen dari sedikitnya 48 kasus kebakaran akibat kebocoran pada selang karet di tabung gas.

Baiklah, kita bisa saja menerima semua penjelasan itu, meskipun pada tataran yang sangat teknis, namun ada persoalan ekonomi dan politik yang tak dapat dilupakan. Pertama, ada logika “profit” yang mengantarai bisnis gas di Indonesia, termasuk dalam distribusi tabung gas dan isinya di Indonesia. Kedua, sikap lepas tangan negara dalam persoalan distribusi tabung gas dari produsesn ke konsumen.

Ketika manusia diperantarai oleh uang, dan keuntungan menjadi tujuan utamanya, maka persoalan kolektif atau “bersama” akan terkesampingkan, termasuk dalam persoalan keselamatan rakyat banyak. Dalam kasus ini, meskipun pasar bisa menjadikan selera konsumen sebagai selektor terhadap setiap jenis barang dan jasa yang diperdagangkan, namun itu akan bermasalah saat konsumen kurang pengetahuan atau kemampuannya sangat terbatas dalam memilih jenis barang.

Orang miskin tentu akan lebih sulit untuk memilih jenis tabung berkualitas dan aksesoris pengamannya bila harganya mahal. Dan, pernyataan dari pihak pertamina, dalam hal ini Deputi Direktur Pemasaran PT Pertamina, Hanung Budya, sangat membenarkan kesimpulan di atas. Hanung Budya mengatakan, dalam waktu dua tahun setelah konversi, maka “kompor, tabung gas, dan regulator sudah mulai aus atau rusak sehingga kemungkinan meledak semakin besar. Dalam kondisi demikian, sebagian pengguna tabung gas tidak mampu membeli peralatan baru karena mereka tergolong warga miskin yang penghasilannya terbatas.

Dengan potensi pangsa pasar sekitar 65 juta rumah tangga, maka Indonesia tentu menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi produsen tabung gas, termasuk pihak-pihak tertentu yang ingin merebut “keuntungan seketika” dengan memproduksi tabung palsu.

Selain itu, pasar selalu gagal untuk memerangi pemalsuan, penyelundupan dan sabotase ekonomi, sementara rakyat atau konsumen sangat dirugikan oleh praktik tersebut. Dalam beberapa hal, alat efektif untuk memerangi penyelundupan dan sabotase ekonomi adalah negara dan aparatusnya beserta rakyat banyak.

Sekali lagi, karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak, negara seharusnya mengambil peran yang lebih luas. Negara tidak saja harus bertindak sebagai penjaga pasar seperti peran-peran sebelumnya, namun harus bertindak lebih jauh sebagai institusi yang melayani segala kebutuhan dasar rakyatnya, termasuk memproduksi dan mendistribusikan tabung gas dan kompor murah dan aman kepada rakyat.

Kita akan segera bertanya, kenapa pemerintah bertindak sangat lamban dalam mengantisipasi persoalan ini, sebuah perlakuan yang berbeda ketika pemerintah mengejar gembong teroris Dr. Ashari, dkk. Apakah karena yang menjadi korban adalah orang miskin?

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid