Penguasa “Kepala Batu”

Anda tentu sering mendengar istilah “kepala batu”. Istilah ini paling sering dialamatkan kepada orang-orang yang tak mendengar, keras kepala, dan kaku. Istilah ini cukup populer di tahun 1960, sebagai istilah bagi kelompok atau politisi yang menentang revolusi dan kehendak rakyat.

Kita akan berbicara tentang “penguasa yang  berkepala batu”. Maklum, begitu banyak persoalan bangsa yang mengundang protes dan kemarahan, tapi kelihatannya pendirian penguasa tetap bergeming. Penguasa kepala batu ini tetap berjalan dengan pendirian dan logika berfikirnya. Mereka mengabaikan protes dan tuntutan rakyat.

Sejumlah kejadian akhir-akhir ini menunjukkan itu. Tragedi di Mesuji, Lampung, yang menyebabkan rakyat yang memperjuangkankan haknya kehilangan nyawa, justru ditanggapi “lain” oleh penguasa. Denny Indrayana, Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Mesuji, malah sibuk menyelidiki keaslian video Mesuji, tetapi mengabaikan laporan masyarakat terkait kejadian itu.

Lihat pula persoalan rakyat di Pulau Padang. Di sana, sejak bertahun-tahun, rakyat sudah melakukan perlawanan terhadap rencana beroperasinya PT. RAPP. Bagi masyarakat, kehadiran PT. RAPP berpotensi menyebabkan perampasan tanah masyarakat dan kerusakan lingkungan. Demo pun digelar beratus-ratus kali: di kantor Bupati, di kantor DPRD, di kantor Gubernur, ke Kantor Menhut, DPR, bahkan Istana Negara.

Kejadian itu pun terjadi pula di Bima, Nusa Tenggara Barat. Di sana, Bupati yang benar-benar “berkepala batu” menolak tuntutan rakyatnya sendiri untuk mencabut ijin eksplorasi sebuah perusahaan asing. Bahkan, ketika korban jiwa sudah berjatuhan pun, Bupati “kepala batu” ini tetap saja bergeming. Ia ngotot tidak akan mengubah keputusannya.

Tetapi, sebetulnya, ada penguasa yang lebih kepala batu lagi: rejim SBY-Budiono. Sudah lama rejim ini diperingatkan, “tinggalkan jalan neoliberal, kembalilah kepada perekonomian yang membela kepentingan nasional”. Tetapi, entah mengapa, SBY-Budiono tetap saja berkepala batu untuk menjalankan agenda neoliberal.

Yang menjadi pertanyaan kita: kenapa penguasa-penguasa itu begitu tidak peka dengan suara protes dari rakyatnya sendiri? Bukankah kekuasaan mereka memerlukan dukungan rakyat banyak? Kenapa mereka lebih memilih memihak kepentingan segelintir orang ketimbang kepentingan mayoritas rakyat?

Orang sudah sering mengatakan, pemerintah kita mengadopsi jalan yang salah: neoliberalisme. Sistim inilah yang ditengarai membawa kehancuran ekonomi, kekacauan politik, dan kerusakan budaya. Indonesia pun dibuat begitu terpuruk sekarang ini: kemiskinan, pengangguran, korupsi, diskriminasi, kekerasan, dan lain sebagainya.

Kebanyakan para penguasa ini berkuasa dengan uang; mereka membeli suara rakyat, memanipulasi pemilu, membeli lembaga survei, dan lain sebagainya. Di belakang mereka ada kepentingan pemilik modal besar, baik pemilik kapital nasional maupun kapital asing. Pemain dibelakang layar inilah yang mengarahkan penguasa ini dalam pengambilan kebijakan ekonomi dan politik.

Di samping itu, para penguasa ini memang punya cara pandang berbeda soal kekuasaan. Bagi mereka, kekuasaan didefenisikan sebagai kewenangan luar biasa untuk mengumpulkan kekayaaan pribadi. Sehingga, ketika mereka sudah menduduki kekuasaan, maka cara pandang itulah yang bekerja saat mereka merumuskan kebijakan ekonomi dan politik.

Ini pula yang membuat penguasa itu “berkepala batu”.  Mereka tidak mungkin mendengar penderitaan rakyat. Di dalam kepala mereka tidak ada ideologi atau cita-cita tentang kemakmuran bersama. Karena itu, tidak ada kata yang pantas dialamatkan kepada penguasa semacam ini, kecuali “singkirkan si kepala batu”.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid