Pemikiran Bung Hatta Mengenai Koperasi

Apa bentuk perekonomian yang paling cocok bagi bangsa Indonesia? Para pendiri bangsa menyebut “usaha bersama” berdasarkan azas kekeluargaan. Lalu, Bung Hatta menegaskan, bentuk usaha bersama itu adalah koperasi.

Saat ini jumlah koperasi di Indonesia mencapai 186.000. Tapi, kabarnya, sebanyak 70% diantaranya tinggal papan nama. Banyak yang menjadi korban liberalisasi ekonomi. Tidak sedikit pula karena salah urus.

Kenapa Koperasi

Koperasi punya historis panjang di Indonesia. Menurut Bung Hatta, gerakan kebangsaan Indonesia sudah mengadopsi koperasi ini. Maklum, filosofi koperasi sama dengan semangat self-help.

Saat itu, gerakan nasional percaya, kapitalisme tak cocok dengan alam Indonesia. Gerakan moderat semacam Boedi Oetomo (BO) saja menyebut kapitalisme sebagai “suatu tanaman dari negeri asing”.

Para pemimpin pergerakan kemudian melirik koperasi. Maklum, koperasi punya persamaan dengan sistem sosial asli bangsa Indonesia, yakni kolektivisme. Masyarakat gotong-royong Indonesia gemar tolong-menolong. Sementara koperasi juga menganut prinsip tolong-menolong itu.

Koperasi juga bisa mendidik toleransi dan rasa tanggung-jawab bersama. Dengan demikian, kata Bung Hatta, koperasi bisa mendidik dan memperkuat demokrasi sebagai cita-cita bangsa.

Lebih lanjut, Bung Hatta mengatakan, koperasi juga akan mendidik semangat percaya pada kekuatan sendiri (self help). Setidaknya, semangat self help ini dibutuhkan untuk memberantas penyakit “inferiority complex” warisan kolonialisme.

Lebih penting lagi, kata Bung Hatta, koperasi bisa menempa ekonomi rakyat yang lemah agar menjadi kuat. Koperasi bisa merasionalkan perekonomian, yakni dengan mempersingkat jalan produksi ke konsumsi. Bagi Bung Hatta, koperasi merupakan senjata persekutuan si lemah untuk mempertahankan hidupnya.

Penyebab kejatuhan koperasi

Bung Hatta, yang digelari Bapak Koperasi Indonesia, sudah mewanti-wanti berbagai bentuk penyelewengan terhadap koperasi. Di masa lalu, katanya, hal ini membuat gerakan koperasi ambruk.

Di masa lalu itu, ujar Bung Hatta, keadaan koperasi tak bedah jauh dengan kongsi biasa. Ironisnya, koperasi menjadi lahan mencari keuntungan. Inilah yang membawa malapetaka: gerakan koperasi mencekek lehernya sendiri.

Ada dua bentuk kesalahan penyelenggaraan koperasi di masa lalu:

Pertama, koperasi mendorong anggotanya sangat giat untuk mendapatkan dividen yang besar di akhir tahun. Caranya: koperasi menjual mahal kepada anggotanya. Nah, supaya anggota tak membeli di “tempat lain”, maka para anggota diharuskan membeli di koperasi sendiri. Kalau tidak mau dicap “penghianat”.

Ini membawa konsekuensi: anggota yang membeli paling sering tentu memberi keuntungan paling besar bagi koperasi. Sedangkan anggota yang paling jarang membeli akan mendapat untung besar dari kawannya yang membeli banyak. Bagi Bung Hatta, jenis koperasi ini hanya akan memupuk egoisme anggotanya.

Kedua, ‘kepicikan faham’ dalam menjalankan taktik penjualan. Di sini, koperasi hanya menjalankan penjualan pada anggotanya sendiri. Sedangkan orang luar dilarang membeli. Tindakan ini, kata Bung Hatta, justru mengecilkan penjualan.

Kalau penjualan kecil, maka ongkos—sewa toko, gaji personil, biaya listrik, dll—akan mahal. Biasanya, supaya tak rugi, koperasi terpaksa menjual mahal barang-barangnya. Sedangkan kalau penjualan besar, maka ongkos pun menjadi ringan.

Jadi, penjualan memang harus dibuka ke masyarakat umum. Apalagi, kata Bung Hatta, koperasi bukanlah persekutuan egoisme segolongan manusia. Koperasi diciptakan untuk menjadi persekutuan ekonomi si lemah (anggota dan non-anggota).

Ketiga, koperasi dibangun untuk mengejar keuntungan. Akibatnya, koperasi tak ada bedanya dengan perseroan atau perusahaan. Bung Hatta, koperasi memang memerlukan keuntungan, namun itu bukan tujuan utama. Yang utama, kata Bung Hatta, adalah usaha bersama untuk memurahkan pembelian anggotanya.

Nah, kalaupun ada keuntungan dari kegiatan koperasi, Bung Hatta mengusulkan agar keuntungan itu dipakai sebagai tambahan modal atau dana cadangan. Dengan begitu, koperasi tak perlu terganggu kalau ada anggota yang mundur. Maklum, kalau ada anggota yang mundur, berarti uang iurannya harus dikembalikan. Artinya, modal koperasi akan berkurang. Itu akan ditalangi oleh keuntungan tadi.

Lantas, dimana untungnya anggota koperasi? Bagi Hatta, keuntungan menjadi anggota koperasi adalah mencapai keperluan hidup, yakni barang kebutuhan, dengan harga semurah-murahnya.

Dua Tiang Koperasi

Seperti disebutkan di atas, tujuan koperasi bukanlah menggali keuntungan, melainkan memenuhi kebutuhan bersama. Supaya itu bisa berhasil, kata Bung Hatta, maka koperasi mesti berdiri di dua tiang: solidaritas (semangat setia bersekutu) dan individualitas (kesadaran akan harga diri sendiri alias sadar diri).

Di sini, Bung Hatta membedakan individualitas dan individualisme. Bagi Bung Hatta, individualisme menuntut orang-seorang (perorangan) bertindak mencapai keperluan hidupnya. Faham ini, kata dia, tak mengendaki orang-orang diikat oleh masyarakat. Sedangkan individualitas yang dimaksud Bung Hatta adalah sifat pada setiap orang yang menandakan kehalusan budi dan keteguhan watak. Salah satu contohnya adalah kejujuran.

Dua sifat ini harus melandasi gerakan koperasi. Kalau koperasi tak dilandai semangat solidaritas, maka anggota tak akan menemukan kepentingan bersama. Jadinya, koperasi dijadikan alat untuk mencapai keperluan pribadi.

Ini akan menjadi persoalan, misalnya, ketika harga jual di tempat lain lebih rendah dibanding koperasinya. Maka, anggota yang tak punya semangat solidaritas akan beralih ke tempat lain itu. Akibatnya, koperasinya pun mati.

Begitu juga dengan semangat individualitas. Bagi Bung Hatta, jika seseorang tak punya semangat individualitas, maka tak ada semangat untuk membela keperluan hidupnya. Semangat berkoperasi pun nihil. Manusia yang tak punya semangat untuk memperjuangkan hidupnya akan cenderung pasrah pada nasib.

Individualitas juga menuntut tanggung-jawab dan kejujuran. Semua itu diletakkan dalam kerangka kepentingan bersama. Meskipun demikian, Bung Hatta menganjurkan agar koperasi tetap diikat dengan peraturan-peraturan. Ini penting sebagai aturan main dalam menjalankan koperasi itu.

Rudi Hartono Pimred Berdikari Online

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid