Pemerintahan Melayani Kepentingan Asing?

Ahli-ahli sejarah, baik yang progressif maupun reaksioner, pasti mengetahui betapa jahatnya politik VOC di masa lalu. Tidak terhitung jumlah rakyat Indonesia yang dibinasakannya. Tidak terhitung pula jumlah kekayaan alam rakyat yang dirampasnya melalui sistem monopoli, contingent (pajak yang dibayarkan dalam bentuk hasil bumi), dan leverantien (setor barang hasil bumi dengan harga yang ditentukan VOC).

Tetapi, ada hal yang tidak boleh dilupakan: berhasilnya kebrutalan VOC itu tidak lepas dari jasa para raja dan bangsawan pribumi yang menyokongnya. Soekarno pernah menggambarkannya dengan sangat sederhana: “Kompeni itu menguasai raja-raja dan bangsawan dan membebaninya dengan kewajiban-kewajiban, yang oleh mereka (raja dan bangsawan) itu dijatuhkan lagi di atas pundak rakyat. Kompeni itu lebih serakah daripada kejam, tetapi akibatnya adalah sama: penindasan.”

Nah, masalahnya: perilaku raja-raja dan bangsawan penyokong VOC itu nampaknya masih lestari di kalangan penguasa di Indonesia saat ini. Pemerintahan Indonesia, sekalipun menyandang nama Indonesia, tetapi lebih banyak bekerja untuk melayani kepentingan asing. Lalu, sebaliknya, begitu banyak membuat kebijakan yang membebani dan menghisap ekonomi rakyat.

Ambil contoh, kebijakan menaikkan harga BBM. Seperti sudah dibahas di editorial sebelumnya, kebijakan ini hanyalah bagian dari sebuah skenario untuk meliberalkan sektor migas Indonesia. Ujung-ujungnya, jika harga BBM sudah diserahkan pada mekanisme pasar, maka korporasi asing bisa berpartisipasi dalam bisnis BBM di Indonesia.

Kalau sudah begitu, maka lengkaplah monopoli asing terhadap sektor migas Indonesia. Di sektor hulu, pihak asing sudah menguasai 80-90% ladang-ladang migas. Nantinya, jika harga jual BBM sudah diserahkan pada mekanisme pasar, maka korporasi asing pun bisa menguasai pasar penjualan BBM di Indonesia.

Dan, untuk anda ketahui, semua skenario di atas sudah diatur dalam UU nomor 22 tahun 2001 tentang migas. Muncul pertanyaan: Kok bisa pemerintah Indonesia, termasuk DPR-nya, mengesahkan UU yang merugikan kepentingan nasionalnya? Bahkan UU migas itu berlawanan dengan UUD 1945 dan Pancasila?

Regulasi itu menciptakan situasi yang “menggampangkan modal asing jengkelitan di atas padang perusahaannya, membesarkan diri dan beranak di mana-mana, sehingga rezeki rakyat kocar-kacir karenanya.

Kenapa pemerintah memihak kepentingan asing seperti itu? Itu adalah konsekuensi negara Indonesia telah mengalami proses penjajahan ulang (rekolonialisme) atau—meminjam istilah BJ Habibie—VOC berbaju baru.

Negara yang terjajah atau semi-jajahan punya beberapa ciri-ciri. Pertama, kemerdekaan politiknya hilang sama sekali atau dikekang. Meskipun masih punya pemerintahan sendiri yang sifatnya resmi, tetapi pemerintahan itu tidak bisa bertindak melayani kepentingan nasional negaranya. Dalam banyak kasus, pemerintahan itu justru menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan kolonialis.

Kedua, negara tersebut tidak bisa menjalankan ekonominya secara bebas dan berdaulat. Negara tersebut akan dipaksa menjalankan kebijakan ekonomi yang didikte dan dipaksakan dari luar. Padahal, sebagian besar kebijakan ekonomi itu sangat merugikan kepentingan nasional negara bersangkutan.

Ketiga, taraf atau tingkat penghidupan rakyatnya akan terus merosot. Sebab, sebagian besar sumber daya ekonomi dan sumber-sumber kemakmuran dikuasai asing dan keuntungannya diangkut keluar negeri.

Hampir semua ciri yang disebutkan di atas hadir atau nampak dalam situasi Indonesia saat ini. Apa yang diperankan oleh pemerintah Indonesia saat ini juga tidak berbeda dengan apa yang dituliskan di atas: Pemerintahan Indonesia, khususnya sejak SBY menjadi Presiden, adalah perpanjangan tangan kepentingan asing.

Mantan Wapres RI, BJ Habibie, saat menyampaikan pidato memperingati lahirnya Pancasila, juga pernah mencium adanya VOC dengan baju baru. Itu dicirikan, kata Habibie, dalam bentuk pengalihan kekayaan alam suatu negara ke negara lain. Setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian produk-produknya dijual ke negara asal, sehingga rakyat harus membeli jam kerja bangsa lain.

Tapi, harus disadari kolonialisme ekonomi yang menjajah negeri ini bisa bertahan karena dikawal oleh kolonialisme di bidang politik dan budaya. Karena itu, perlu untuk membangkitkan “keinsyafan rakyat”, membangunkan organisasi-organisasinya, dan menggerakkannya secara politik. Dan, sebagai tahap awal merebut kembali kemerdekaan nasional kita, gerakan politik rakyat itu harus mengakhiri kekuasaan politik rejim atau pemerintahan yang bertindak layaknya “raja-raja dan bangsawan penyokong VOC” di masa lalu.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid