Pancasila (Belum) Final!

Aksi politik yang begitu kental dengan sentimen etnis dan keagamaan akhir-akhir ini tampak jelas membuat gelisah sebagian rakyat Indonesia. Aksi politik yang dianggap bernuansa SARA ini serasa mengancam eksistensi NKRI dan berpotensi memecah-belah persatuan nasional. Konsolidasi politik pro Bhineka Tunggal Ika pun digalang, yang seakan hendak menegaskan bahwa asas persatuan bangsa terancam. Benarkah demikian?

Kita mengerti bahwa Politik Persatuan Indonesia yang sudah  kita jalani hingga hari ini belum juga sanggup menyelesaikan cita-cita Proklamasi 1945: memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial. Ketimpangan ekonomi di antara rakyat semakin terlihat nyata. Kehidupan ekonomi pun semakin sulit. Pemerintah bekerja serasa hanya melayani kepentingan ekonomi asing. Ekonomi nasional jatuh: pasar nasional dipenuhi dengan produk-produk impor.  Kebudayaan nasional terpinggirkan. Dari situasi kebangkrutan inilah,  ekspresi politik pun mau tak mau dengan berbagai cara berusaha mendesak Pemerintah untuk segera mengakhiri situasi ini. Apa artinya Persatuan Indonesia bila diskriminasi ekonomi, politik dan budaya masih bertakhta? Atau barangkali kita membutuhkan Persatuan dengan cara yang lain..?

Tampak: sentimen politik berbasis SARA pun diusahakan menjadi trigger perubahan di tengah kebuntuan. Rasanya politik yang menggunakan sentimen SARA ini akan sah dituduh:  mengkhianati Pancasila yang menjadi asas berbangsa dan bernegara. Benarkah demikian?

Secara formal, bagi Republik Indonesia, Pancasila sudah final sebagai asas berbangsa dan bernegara. Karena itu aksi yang bernuansa sektarian, menggunakan sentimen etnis dan agama pasti dianggap mencari jalan hendak mengganti ideologi bangsa dan negara, yaitu Pancasila. Tetapi tak hanya itu, dari sejarah, aksi politik yang bernuansa kelas pun dianggap hendak mengganti Pancasila. Lalu Pancasila dianggap final, tetapi berdasarkan tafsiran tunggal Pemerintah yang berkuasa.

Sekarang tentu rakyat bisa berbicara banyak tentang Pancasila. Demokrasi yang akhir-akhir ini kita nikmati bisa menjadi ajang uji kebenaran Pancasila secara ilmiah.  Pancasila yang seperti apa yang  bisa menyatukan rakyat Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial? Dalam hal seperti ini tentu Pancasila belumlah final. Bung Karno yang menggali nilai-nilai Pancasila pun memberikan alternatif dengan mengusulkan: Trisila dan Ekasila.

Tetapi jelas, dari sejarah juga kita melihat bahwa esensi Pancasila yaitu mencari asas dan landasan persatuan bagi bangsa-bangsa di Nusantara ini sudah final dan tidak bisa lain bila ingin menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Visi persatuan filsafat ketuhanan (baca juga: ideologi) ini sudah dirintis oleh Kertanagara, Raja Singhasari dalam menyatukan Nusantara untuk menghadang ancaman kekuasaan asing. Agama-agama besar Nusantara: Siwa dan Buddha serta agama leluhur pribumi dengan bijaksana disatukan dalam satu visi kerohanian demi persatuan Nusantara walau tentu saja mempunyai jalan yang berbeda. Itulah Bhineka Tunggal Ika. Visi ini diteruskan Majapahit yang menjadi inspirasi dan semangat Perjuangan Nasional hingga menemukan Pancasila sebagai dasar dari Republik yang hendak didirikan.

Tentu hari-hari ini selain Pancasila, kita memang membutuhkan jiwa-jiwa besar yang bisa menjahit berbagai bahan yang berbeda untuk kebahagiaan rakyat. Jiwa-jiwa besar ini bila berhasil akan melebihi  Kertanagara dan juga: Bung Karno. Karena kata Bung Karno sendiri:  “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah tapi perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

AJ Susmana, Wakil Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP PRD)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid