Pak Jokowi, Pemekaran bukan Solusi untuk Papua!

Inilah persoalan dasarnya: kapitalisme brutal yang dikawal oleh pendekatan yang militeristik. Tanpa mengubah ini, niscaya ada perubahan bagi nasib orang asli Papua. Niscaya memoria passionis itu menghilang.

Setelah kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Papua, terbitlah rencana pemekaran. Setidaknya, ada dua bakal provinsi baru di Papua, yaitu Papua Selatan dan Papua Pegunungan Tengah.

Isu pemekaran ini bukan barang baru. Waktu Presiden Jokowi menjamu 61 tokoh Papua di Istana Negara (10/9/2019), isu ini sudah menggelinding. Lalu, setelah Presiden Jokowi mengunjungi Papua untuk yang ke-13 kali, isu ini makin terang-benderang.

Namun, sekalipun isu pemekaran dibungkus dengan dalih aspirasi masyarakat Papua, plus dibumbuhi janji pemerataan pembangunan dan kesejahteraan, tetapi pertanyaan besarnya tetap: bisakah pemekaran menjawab persoalan di Papua?

Saya mengakui, di Papua itu ada banyak persoalan, bertumpuk-tumpuk, dan saling berkelindan. Rakyat di Papua seperti terjebak dalam benang kusut.

Namun, Presiden sudah silih berganti, tapi benang kusut itu tak kunjung terurai. Yang terjadi, pemerintah terus mengulang cara lama dalam menyelesaikan berbagai persoalan di Papua: pendekatan militeristik dan mendengar elit lokal.

Kalau ada gejolak keamanan di bumi Cendrawasih, solusinya selalu: kirim aparat keamanan. Kalau aspirasi merdeka menggaung keras, panggil elit-elit Papua. Ini cara lama yang terus berulang, yang hanya menambah tumpukan masalah.

Rencana pemekaran ini juga lahir dari cara lama. Dia hanya merespon suara elit Papua, bukan rakyat Papua. Maka jangan heran, pertimbangan pemekaran lebih ke aspek politik-keamanan. Seperti yang diungkapkan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, pemekaran Papua berdasarkan alasan situasional dan analisis intelijen.

Karena itu, dalam hitungan awal saya, pemekaran tidak akan menjawab, bahkan menyentuh sedikit pun, persoalan mendasar yang mencekik perasaan dan kehidupan orang Papua.

Lantas, apa persoalan mendasar masyarakat di Papua? Bagi saya, belum tentu bagi orang lain, ada dua persoalan mendasar yang membelit orang Papua.

Pertama, ada rentetan kekerasan dan pelanggaran Hak Azasi Manusia, yang mempertebal memoria passionis—ingatan akan penderitaan—orang-orang Papua. Ini tidak lepas dari pendekatan Negara yang selalu mendahulukan pendekatan militeristik dalam menangani gejolak keamanan di Papua.

Kedua, kapitalisme brutal yang difasilitasi penuh oleh Negara, yang berujung pada pemiskinan, peminggiran atau marginalisasi, dan diskriminasi terhadap orang asli Papua.  

Papua yang kaya-raya, yang digambarkan bak potongan surga yang jatuh ke bumi, hanya menjadi surga bagi segelintir korporasi, baik yang berbeda merah-putih maupun berbendera Amerika, Inggris, Cina, dan lain sebagainya.

Di Papua, teori efek menetes ke bawah itu nyaris tak terasakan oleh orang asli Papua. Kalau pun ada efek yang menetes, itu hanya dinikmati oleh birokrat dan elit lokal.

Saya kira, itulah persoalan dasarnya: kapitalisme brutal yang dikawal oleh pendekatan yang militeristik. Tanpa mengubah ini, niscaya ada perubahan bagi nasib orang asli Papua. Niscaya memoria passionis itu menghilang.

Pertama sekali, Presiden Jokowi perlu mengubah cara pandang terhadap Papua. Cara pandang lama, yang sudah berkarat, dari zaman Orde Baru hingga sekarang, harus ditinggalkan.

Selama Orde Baru, Papua hanya dipersatukan dengan Indonesia secara teritori, tetapi manusianya tidak. Tanahnya masuk ke NKRI, tetapi manusianya ditaruh di teras. Lihat saja, sejak 1963 hingga sekarang, seberapa serius pemerintah di Jakarta membangun manusia Papua?

Sepanjang menjadi RI, manusia Papua terus menyandang sebagai provinsi termiskin Indonesia, angka partisipasi pendidikan terendah, hingga Indeks Pembangunan Manusia terendah.

Masalahnya, dari dulu Orde Baru hingga sekarang, ketika orang-orang Papua yang ditaruh di teras rumah menuntut pisah rumah, maka mereka langsung dicap: separatis. Padahal, keinginan pisah rumah itu bukan karena tak sudi tinggal serumah, tapi karena merasa diperlakukan sebagai saudara tiri.

Kemudian, dari Orba hingga sekarang, setiap berhadapan dengan protes, ketidakpuasan, kemarahan, apalagi ancaman pisah rumah, pemerintah di Jakarta hanya punya satu solusi: pendekatan militeristik.

Cara pandang itu, beserta pendekatan militeristiknya, harus dibuang ke tong sampah peradaban.

Kembalilah pada roh nasionalisme Indonesia yang aseli, yang dikobarkan dari era Kartini hingga Sukarno dan Hatta, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial. Sukarno menyebutnya: Sosio-nasionalisme.

Lihatlah Papua dengan kacamata sosio-nasionalisme. Dekati Papua dengan gagasan nasionalisme progressif itu, bukan dengan desing peluru, dentuman meriam, dan meledakkan bom.

Masukkan roh sosio-nasionalisme itu dalam setiap kebijakan pemerintah untuk Papua, agar kehidupan di tanah Papua lebih manusiawi, demokratis dan berkeadilan sosial.

Bangunlah Papua bukan berdasarkan cara pandang orang Jakarta, apalagi investor. Bangunlah Papua sesuai dengan keinginan dan kebutuhan orang Papua.

Setelah mengubah cara pandang, selanjutnya adalah bagaimana menyelesaikan persoalan mendasar di Papua, terutama soal pelanggaran HAM dan marginalisasi orang asli Papua secara ekonomi, sosial-budaya, dan politik.

Dan kunci untuk menyelesaikan persoalan pelit itu adalah mendengar suara orang asli Papua. Dalam hal ini, dialog menjadi penting, bahkan sangat mendesak.

Tetapi bukan model dialog cara lama: panggil elit atau segelintir tokoh Papua ke Jakarta. Dialog harus pakai cara baru, yaitu dialog yang seluas-luasnya dan partisipatif.

Seluas-luasnya berarti melibatkan multi-pihak, dari berbagai kelompok, organisasi, aspirasi politik, agamawan, hingga suku-marga yang ada di Papua. Sedangkan partisipatif bermakna melibatkan sebanyak-banyaknya orang Papua dalam dialog ini.

Dialog memang tak gampang. Ada ego hingga agenda politik masing-masing yang harus ditanggalkan. Akan tetapi, sepanjang semua pihak menempatkan kemanusiaan di atas segalanya, maka titik temu akan selalu ada.

Pak Jokowi, 90-an persen suara pemilih Papua diserahkan ke bapak dan pak Ma’ruf Amin. Jangan biarkan darah atau air mata pemilih bapak, tertumpah.

RUDI HARTONO

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid