NKRI Bukan Harga Mati

Dalam diskusi film berjudul “SIKO” di Kinosaurus Kemang, Rabu malam 28 November lalu, mencuat hal menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut. Satu di antaranya soal nasionalisme generasi paska konflik. Acara yang diadakan Yayasan Kelola itu, didahului dengan pemutaran film SIKO yang berdurasi 20 menit. SIKO adalah salah satu film pendek nominator FFI 2018.

Merupakan karya ketiga Abe, panggilan akrab Manuel Alberto Maia, pemuda kelahiran Timor-Timur yang kini berganti nama Timor Leste, SIKO dibuat dengan latar konflik kekerasan di Timor-timur sepanjang okupasi ORBA.

Saya menanyakan soal nasionalisme itu pada Abe, sang sutradara. Saat jajak pendapat (referendum) tahun 1999 yang jadi titik balik sejarah bumi Lorosae, Abe mengaku baru duduk di bangku kelas 1 SMP. Ia menyaksikan dan menjadi bagian dari generasi yang mengalami langsung kekerasan militer selama kurun waktu 1975-1999.

Sejak tahun 2000, Abe dan ratusan ribu warga eks Timor-Timor menempati kamp pengungsian di Atambua, Kupang, NTT. Di daerah ini pula, film SIKO dibuat dengan setting lokasi menyerupai Dili. SIKO adalah film ketiga Abe dengan dukungan dana Hibah Cipta Perdamaian.

“Saat rezim hari ini terus menerus mengkampanyekan cinta tanah air pada anak-anak muda, menyorong slogan NKRI harga mati, bagaimana rasa itu tumbuh dalam diri Abe?” Tanya saya.

Indonesia, bagaimanapun adalah negeri yang dipilih secara sadar oleh Abe dan ratusan ribu lainnya yang lahir di bumi Lorosae, namun hari ini memilih tetap menjadi bagian dari Indonesia.[1] Negeri yang pemerintahnya pernah mencabik luka dalam sejarah hidup mereka.

Abe memang menjawab, namun kehilangan spontanitasnya. Ia butuh beberapa jenak dan bicara cukup hati-hati. “Nasionalisme yang galau.” Ujarnya sambil sedikit tertawa. Ada yang terasa miris dalam suaranya.

Abe lalu memberi alas bagi argumentasinya. Nasionalisme baginya kini, tidak penting lagi untuk menujuk pada Indonesia atau Dili. Cinta ditumbuhkannya bagi terma-terma universal seperti perdamaian, persamaan, cinta kasih dan nilai kemanusiaan lain. Singkatnya, Abe menolak menjawab tegas bahwa ia mencintai Republik Indonesia.

Abe bahkan menutup jawabannya dengan perumpamaan. Jikalau terjadi tanding antara Kesebelasan Sepak Bola Nasional Indonesia dengan Kesebelasan Nasional Timor Leste bertempat di Stadiun Gelora Bung Karno, maka ia tak akan ragu akan berpihak pada siapa. “Berat untuk dikatakan sebenarnya, karena di timnas ada kawan-kawan masa kecil saya, di kesebelasan Timor ada saudara sedarah, tapi jelas saya akan pilih Timor Leste.” Ujarnya lagi-lagi sambil tertawa.

Selaras dengan jawabannya, Abe mengungkap tujuan pembuatan film “SIKO”. Ia dan kawanannya di Komunitas Film Kupang hendak mencipta semacam media “trauma healing” paska kekerasan yang dialami. Namun sayang, hingga diskusi berakhir, tidak ada petunjuk tegas “trauma healing” ini ditujukan bagi siapa. Apakah bagi Abe sendiri dan warga eks Timor-Timur lainnya di Indonesia? Ataukah bagi pemerintah RI dan militernya sebagai otak dan pelaku kekerasan?Atau lebih luas lagi bagi seluruh rakyat Indonesia yang menjadi saksi langsung maupun tak langsung atas pendudukan militer berdarah itu?

Manuel Alberto Mia, Produser sekaigus Sutradara film SIKO (2018)

Jika iya, apakah trauma itu memang benar-benar ada selain bagi mereka yang mengalaminya?. Apakah negara juga mengidap itu atau tidak sama sekali. Bukankah fakta mempertontonkan hal lain? Kekerasan atas nama negara tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya berubah bentuk. Banyak pula yang tetap kembali pada fasisme lama.

Seno Gumira Ajidarma, sastrawan-wartawan yang jadi pembedah dalam diskusi itu punya cara pandang lain. Nasionalisme, menurutnya, adalah semacam proyek yang dijual terus menerus oleh negara untuk tujuan melanggengkan stabilitas. Seno bahkan menyebut nasionalisme  tidak lagi dan tidak pernah relevan. Ia berpendapat anak-anak muda kini adalah generasi postnasionalism.

Seno juga balik bertanya, yang mana sebenarnya nasionalisme itu? Bukankah perdebatan merumuskan kemerdekaan dan bentuk republik, dilangsungkan para founding fathers dalam bahasa asing? dengan konsep dan teori impor, yang hampir keseluruhan mereka juga hasil didikan sekolah-sekolah kolonial?.

Perdebatan tentang nasionalisme sungguh bukan hal baru. Dalam percakapan para aktivis di panggung-panggung diskusi, nasionalisme konon adalah buah kemenangan selapis intelektual sejak awal abad 20. Ia merupakan satu dari sekian banyak mitos bersama yang dibutuhkan Indonesia untuk tetap rekat.

Dalam istilah yang dipakai Ben Anderson, nasionalisme bisa menggantikan kedudukan agama bagi manusia modern. Ia menyediakan kesediaan untuk mengorbankan diri sendiri bagi sesuatu yang dianggap lebih besar, sebuah imagined community bernama bangsa.

Merujuk Ben, nasionalisme ternyata sangat penting. Merujuk Seno, sejak awalnya ia tidak dan tak pernah relevan.

Kini mari sejenak kita menengok KBBI, sekedar agar ada titik pijak bagi terma menarik ini. KBBI menunjuk dua makna nasionalisme: 1. paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; 2 kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu.

Dari dua makna diatas, definisi nasionalisme yang ditawarkan rupanya berbasis individu. Letaknya dalam kesadaran para warga dan bukan institusi negara. Karena berbasis individu, nasionalisme idealnya terbit sebagai kebanggaan. Bukan berasal dari seruan atau paksaan, apalagi hasil dari proyek.

Lalu mari kita periksa diri masing-masing. Adakah sejenis rasa ini dalam kesadaran kita?.

Saya mendapati dalam diri sendiri, ada semacam relasi yang hadir, meski kadang senyap, kadang bergelora, menautkan kesadaran pribadi saya dengan kesatuan kolektif bernama Indonesia. Dan naifnya, saya kok yakin, saya bukan satu-satunya. Saya hanya noktah di tengah gelombang manusia Indonesia yang memiliki kesadaran relasional serupa. Disadari atau tidak. Disangkal atau diterima.

Nasionalisme adalah narasi yang tepat untuk menjelaskan kesediaan ratusan ribu prajurit dan warga biasa yang dulu sedia menjemput maut, meledakkan tank dan barak-barak penjajah. Bergegap gempita menghunus bambu menghadang bedil berpeluru. Ia ada dibalik pedih seorang Maemunah ketika merelakan kepergian pengantinnya, Margonda, yang tewas saat melempar granat ke tentara sekutu dalam pertempuran Depok.

Nasionalisme juga hadir di antara tangis pebulutangkis Haryanto Arbi dan Susi Susanti ketika berlaga di final tanding UBER Cup tahun 1998, sementara jauh dari tanah air, datang berita bahwa etnis dan keluarganya tengah mengalami kekerasan rasial oleh bangsanya sendiri. Juga alasan seorang Sondang Hutagalung, mahasiswa UBK membakar dirinya hingga didepan istana di akhir tahun 2011 sebagai bentuk protes atas ketidakadilan dan kesewang-wenangan rezim.

Seperti halnya cinta dan benci, nasionalisme adalah fakta mental yang hadir nyata. Dengan demikian, percakapan tentang nasionalisme existing harusnya selesai. Berlanjut pada bentuknya, bukan lagi pada keberadaannya. Itulah inti pertanyaan saya pada Abe. Bagaimana nasionalisme tumbuh dalam dirinya, bukan ada atau tidak, karena ia pastilah ada, ia sesuatu yang hadir secara niscaya.

Dan dengarlah bagaimana Abe menjawab. Nasionalismenya tumbuh membesar ke arah yang membelakangi apa yang dianggap kesepakatan umum. Orang seperti Abe bukan satu. Ia ada diantara kita. Mereka yang pernah dilukai, sama halnya dengan mereka yang dikalahkan. Dalam lintasan sejarah kita, jumlahnya banyak. Mari periksa beberapa diantaranya.

Dulu, akhir abad ke-19 hingga awal abad 20, ada selapis orang mewacanakan cita lain untuk negara bangsa yang akan dibentuk di Hindia. Noto Suroto, sastrawan kelahiran Jawa yang menetap dan berkarya selama 25 tahun di Belanda, adalah salah satunya.

Joss Wibisono dalam buku “Saling Silang Indonesia-Eropa” terbitan Marjin Kiri tahun 2012, menjelaskan ide Noto tentang “kesatuan Indonesia-Nederland. Semacam Uni, di mana Belanda dan Indonesia lebur. Indonesia tidak berdiri sebagai negara bangsa tersendiri, tapi mewujud persemakmuran atau rijkseenheid.

Noto bukan orang sembarang. Pemikirannya bukan bertolak dari penyangkalan terhadap tanah kelahirannya, Hindia. Mengutip biografi Noto yang ditulis Rene Karels dalam bahasa Belanda, Joss Wibisono menyebut Noto sangat mendahulukan kepentingan rakyat daripada status Hindia, “de opheffing van het Javaanse volk.”

Menurut Noto, yang pernah menjadi ketua Perhimpunan Hindia, pribumi tidak boleh hanya jadi sapi perahan Belanda. Keduanya harus sederajat. Itu berarti rakyat Hindia harus dididik supaya bisa setara dengan orang Belanda. Dan itu adalah tugas besar kolonial. Kemerdekaan akan datang  kelak ketika rakyat sudah siap.

Gagasan ini tidak bersambut. Noto Suroto, sepupu Ki Hajar Dewantara itu kalah oleh proyek yang kata orang bernama Nasionalisme.

Setelah itu dalam jarak yang cukup dekat, ratusan ribu orang dikalahkan jiwa raganya oleh stigmatisasi PKI. Ribuan ditumpas di Sulses, Sumbar dan Jabar karena kehendak kaffah bersyariah. Ratusan pemuda Papua dibungkam karena meneriakkan kemerdekaan.

Kita juga membaca para Inang di Aceh yang turun mengangkat senjata karena suami dan putranya gugur ditangan tentara republik. Para ibu di Kendeng yang membelenggu kaki-kaki mereka dalam semen untuk mempertahankan tanah adatnya. Belum lagi jumlah yang satu dua, atau puluhan yang hilang dan mati karena memilih haluan yang bersebrang dengan kekuasaan.

Mereka adalah orang-orang yang dikalahkan. Seperti Abe, mereka juga memiliki nasionalisme, tapi barangkali dalam bentuk dan timbangan yang lain.

Membaca Indonesia hari ini adalah memandangnya dari kacamata pemenang. Seluruh narasi yang sampai pada orang banyak adalah versi yang telah mengeksklusi mereka yang kalah. Karenanya bagi kebanyakan kita, jawaban Abe bisa jadi mengundang cibir. Ia yang tak bisa mencintai Indonesia dari sudut pandang mainstream.

Lalu apakah nasionalisme serupa itu keliru?. Bagaimanapun, Ia hadir sebagai realita sejarah. Dan sejarah penting sebagai ukuran objektifikasi, bukan justifikasi. Menimbang versi yang kalah, seharusnya sama dengan cara kita menghitung versi yang menang.

Sejarah harusnya dibaca lengkap. Dinamika dan babakan disajikan.  Setiap orang dan pandang ditimbang. Kita tak seharusnya terjebak lensa kuasa dan menganggap yang kalah tak pernah ada atau bahkan “jahat”.

Indonesia, menurut saya, harus membuka diri atas gagasam nasionalisme dalam bentuk dan arah yang lain.

Jujur saja, Indonesia adalah konsep negara bangsa yang belum sempurna. Ibarat manusia, ia belum melewati fase perkembangan yang lengkap dari bayi hingga mewujud manusia dewasa. Kemungkinan untuk menjadi negeri kiri, negera kanan, persemakmuran atau bahkan agensi liberal, ditolak sebelum eksperimentasi. Kita baru pernah mengalami fase federasi yang kini siklusnya kembali dalam bentuk desentralisasi dan daerah yang di otonomi.

Pengalaman bernegara kita belum lengkap karena konsep tunggal yang diberi label atas nama rakyat. Yang bersuara lain, dibenci. Jika perlu, dibumihanguskan. Kita berdalih sedang mempertahankan cita-cita para pendiri bangsa. Tapi yang mana? Mereka yang menang, bukan?.

Kita katanya hendak membela NKRI. Sedang berupaya memenangkan Pancasila. Seakan kritik atas keduanya adalah laku haram jadah. Tapi jika benar Pancasila adalah pandangan dunia bangsa Indonesia, tidakkah kita juga tahu bahwa dunia bukan bangunan yang mandeg? bukan entitas yang stagnan?. Dunia adalah gerak dinamis, berubah terus menerus menyongsong zaman, melengkapi dirinya.

Pun negara, tak ubahnya manusia, adalah wujud yang dalam geraknya menuju pada kesempurnaaan. Dalam perjalanan itu, ia harus fleksibel, membuka diri pada berbagai kemungkinan baru. Ia harus mau terus bergerak, mengalir dan tak berhenti pada satu konsep tunggal. Enyahkan kepongahan, karena hanya kerendahhatian yang menyediakan kemampuan untuk menerima yang datang dari yang lain, dari yang minor, dari yang kalah, dari mereka yang tak kunjung beruntung.

Nun di tahun 1961 lalu, Kartosuwiryo mengirimkan surat berbahasa Inggris kepada berbagai kedutaan di Jakarta tentang berdirinya NII (Negara Islam Indonesia). Dia menulis dirinya tidak sedang memberontak pada Soekarno, hanya menyampaikan bahwa NII yang didirikannya adalah negara pengganti (succestor state) dari RIS.

Gagasan Kartosuwiryo bukan tanpa preseden. Jerman hari ini berdiri sebagai ganti negeri Prusia. Prusia sendiri dibentuk dari puing-puing Roma. Lalu Mesir modern, adalah hasil evolusi politik sejak masa Nabi Ibrahim hingga Isa lalu berlanjut ke imperium Fir’aun dan mewujud Mesir hari ini.

Apakah saya sedang membela NII? Tidak. Saya mencintai Indonesia. Teramat sangat. Dan saya percaya demikian pula Abe, putra kelahiran Dili itu. Kita menyaksikan ia tak pernah protes karena memanggul nama Indonesia dan bukan Timor Leste ketika film keduanya “NOKAS mengikuti screening di Festival Film Internasional Eurasian dan Festival Film Internasional Singapura pada tahun 2017.

Abe adalah pemuda yang tak bisa menerima slogan basi. Di balik kaca yang basah oleh rinai gerimis, saya merasa diskusi kian haru, persis saat Abe berseru “NKRI Bukan Harga Mati”.

Ratna Dewi, Penggiat di Seloko Institute Jambi

Gambar ilustrasi: Film Siko, karya Manuel Alberto Maia: sumber: lingkar-desa.com

[1] Bulan Juli Tahun 2015, tim komunikasi Presiden Teten Masduki melansir data validasi warga eks Timor Timur di Indonesia sebanyak 20.266 Kepala Keluarga. Jumlah terbesarnya mendiami Nusa Tenggara Timur

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid