Neoliberalisme Itu Melanggar HAM!

Pada bulan Oktober 2009, Amnesti Internasional mendeklarasikan bahwa “kemiskinan adalah krisis Hak Azasi Manusia (HAM) terburuk di dunia.” Namun, pada saat yang bersamaan, sistem ekonomi neoliberalisme—atas desakan lembaga-lembaga kapitalis global dan negeri-negeri imperialis—membawa malapetaka bagi sebagian besar rakyat di dunia. Neoliberalisme menumpuk kekayaan di tangan segelintir orang, namun menyengsarakan mayoritas rakyat.

Sebuah data menyebutkan, total kekayaan tiga orang terkaya di dunia itu lebih besar dari Produk Domestik Bruto (PDB) 48 negara miskin di dunia. Data lain menyebutkan, 10% populasi dunia mengontrol 84% aset. Sebaliknya, 50% populasi termiskin di dunia hanya mengontrol 1%. Hampir 3 miliar orang—hampir separuh dari populasi dunia—hidup dengan pendapatan di bawah 2 dollar AS. Lalu, dari 4 milyar orang yang hidup di negera berkembang, hampir sepertiga tidak bisa mengakses air bersih, seperlima tidak cukup asupan kalori. Dan 2 milyar orang—sepertiga dari penduduk dunia—menderita anemia.

Di Indonesia, kesenjangan dan ketidakadilan akibat penerapan neoliberalisme tidak kurang menyedihkan. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tingkat kesenjangan ekonomi pada 2011 menjadi 0,41. Padahal, pada tahun 2005, gini rasio Indonesia masih 0,33.

Data lain memperlihatkan, total pendapatan 20 persen masyarakat terkaya meningkat dari 42,07 persen (2004) menjadi 48,42 persen (2011). Sebaliknya, total pendapatan 40 persen masyarakat termiskin menurun dari 20,8 persen (2004) menjadi 16,85 persen (2011).

Data yang dilansir Perkumpulan Prakarsa juga mengungkapkan, kekayaan 40 orang terkaya Indonesia sebesar Rp680 Triliun (71,3 miliar USD) atau setara dengan 10,33% PDB. Katanya, nilai kekayaan dari 40 ribu orang itu setara dengan kekayaan 60% penduduk atau 140 juta orang. Data lain menyebutkan, 50 persen kekayaan ekonomi Indonesia hanya dikuasai oleh 50 orang.

Pertama, neoliberalisme menyingkirkan rakyat dari faktor-faktor produksi.  Ini ditandai dengan dominasi korporasi dalam hal penguasaan dan pemanfaatan tanah, yang menyebabkan mayoritas rakyat kehilangan akses terhadap tanah. Neoliberalisme juga menghancurkan usaha kecil dan produsen kecil lainnya. Ini mengarah pada proses pemiskinan secara massif.

Kedua, neoliberalisme menurunkan standar hidup rakyat melalui kebijakan politik upah murah, pasar tenaga kerja yang fleksibel, penghapusan subsidi sosial, dan lain-lain. Akibatnya, mayoritas rakyat tidak bisa mengakses kebutuhan dasarnya, seperti perumahan, air bersih, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.

Ketiga, neoliberalisme menyerahkan layanan dasar rakyat, seperti air bersih, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain, kepada mekanisme pasar. Layanan dasar rakyat itu telah diubah menjadi komoditi yang diperjual-belikan.

Tak jarang terjadi, proses ekspansi kapital itu disertai tindakan kekerasan. Kita mencatat banyaknya kasus pelanggaran HAM terkait proses pengamanan kapital ini, seperti kekerasan dan penembakan petani, pembubaran dan penyerangan aksi mogok pekerja, dan penggusuran paksa rakyat miskin kota.

Human Right Watch (HRW) dan KONTRAS mencatat adanya peningkatan kasus pelanggaran HAM dalam kurun waktu 2011-2012 ini, yakni mencapai 600 kasus. Padahal, periode sebelumnya (2010-2011) terdapat 250 kasus. Artinya, ada peningkatan 100% lebih hanya dalam setahunan lebih.

Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) juga mengakui adanya penambahan signifikan pelaporan masyarakat terkait pelanggaran HAM dalam beberapa tahun terakhir. Catatan Komnas HAM menyebutkan, pada 2008, jumlah pengaduan yang diterima sebanyak 4.843 kasus, pada 2009 (5.853), pada 2010 (6.437), pada 2011 (6.358), dan pada 2012 (kurun waktu Januari-Juni) terdapat 2.847 kasus.

Seiring dengan proses itu, untuk mengamankan ekspansi dan proses penumpukan kekayaan di segelintir korporasi, ruang-ruang demokrasi dan kebebasan berpendapat telah dipersempit. Kita mencatat kehadiran UU maupun RUU yang berpotensi mengancam hak politik rakyat, seperti UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, UU nomor 7 tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial, RUU Keamanan Nasional, dan RUU Ormas.

Di samping itu, berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu, seperti kasus 1965/1966, Penembakan Misterius (Petrus), penculikan aktivis tahun 1998, tragedi Trisakti dan Semanggi I/II, kasus 27 Juli 1996, dan masih banyak lagi, masih menumpuk di meja Presiden SBY. Rezim neoliberal sekarang ini, yang dikomandoi oleh SBY dan Boediono, tidak punya itikad baik sama sekali untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM berat tersebut.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid