Musim ‘Paceklik’ Pemimpin Republik

Nama Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta saat ini, masih menempati posisi teratas di hampir semua survei Calon Presiden (Capres) yang diselenggarakan sejumlah lembaga survei.

Survei terbaru diumumkan oleh Litbang Kompas akhir Agustus lalu. Survei tersebut menempatkan Jokowi sebagai figur paling dominan dalam wacana Pemilu 2014. Dengan tingkat keterpilihan mencapai 32,5 persen, Jokowi jauh meninggalkan calon-calon lainnya.

Fenomena ini sebetulnya memperlihatkan dua hal. Pertama, rakyat menghendaki wajah politik yang baru. Mereka sudah bosan dengan wajah politik yang lama, yang terbukti sangat korup, elitis, dan anti-rakyat. Lagipula, selain Jokowi, hampir semua wajah yang menghiasai bursa Capres pada Pilpres 2014 adalah figur lama.

Kedua, dominasi figur Jokowi, yang saat ini masih menjalankan mandat sebagai Gubernur DKI Jakarta, menunjukkan bahwa negeri ini sedang mengalami paceklik pemimpin. Hampir tidak ada figur lain yang bisa mengimbangi popularitas Jokowi. Bahkan, seperti ditunjukkan oleh survei Kompas, popularitas Jokowi diperkirakan sanggup magnet politik yang menguntunkan dengan siapapun yang berpasangan dengannya dan sekaligus menambah perolehan suara partai yang mengusungnya.

Itulah fenomena yang terjadi. Di satu sisi, rakyat sudah bosan dengan wajah politik yang lama. Tetapi di sisi lain, figur alternatif yang bisa memikul harapan rakyat itu sangat terbatas. Sejauh ini baru figur Jokowi yang muncul dan dipercaya oleh rakyat. Sementara figur-figur yang lain sudah terlanjur punya cacat politik.

Di sini ada sedikit tantangan. Sebagai mantan Walikota dan sekarang ini menjabat Gubernur, gebrakan Jokowi sebetulnya masih ‘biasa-biasa saja’. Yang ia kerjakan masihlah sebatas ‘apa yang seharusnya dikerjakan oleh seorang pemimpin’, seperti membuat birokrasi lebih berfungsi efektif dalam melayani rakyat, mendengar aspirasi dan keluhan rakyat, berani mengambil resiko atas setiap keputusan politik, berpenampilan dan bergaya hidup sederhana seperti rakyat kebanyakan, dan lain-lain.

Di sisi lain, dengan melihat persoalan bangsa saat ini, kita membutuhkan pemimpin yang sanggup melakukan transformasi radikal secara ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Kita butuh seorang pemimpin yang sanggup membuat bangsa ini bisa berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya. Kita butuh pemimpin yang punya sikap dan keberpihakan politik yang jelas.

Karena itu, bagi kami, calon pemimpin bangsa masa depan harus punya kriteria: Satu, memahami persoalan pokok bangsa ini secara ekonomi, politik, dan sosial-budaya; Dua, punya konsep dan proposal alternatif untuk mengatasi persoalan itu; dan Tiga, sanggup menyatukan berbagai sektor sosial dan kekuatan politik nasional di bawah payung sebuah proposal politik alternatif untuk memperjuangkan Indonesia yang berdaulat, bermartabat dan berdikari.

Sayang sekali, dunia politik kita saat ini tidak bisa diharapkan sanggup menghasilkan politisi sesuai dengan kriteria di atas. Di sini ada beberapa faktor yang menyebabkan: pertama, panggung politik kita makin kering dari pertarungan konsep dan gagasan politik; kedua, kehidupan politik kita makin menyerupai dunia hiburan (Ini seakan membenarkan pernyataan musisi kenamaan, Frak Zappa, yang bertutur: politik adalah cabang hiburan dari industri); ketiga, kehidupan politik kita makin berbiaya mahal dan transaksional. keempat, menjadi seorang politisi mulai dianggap sebuah pilihan profesi.

Sebetulnya, politik kita saat sudah mengalami anomali, dan semakin menjauh dari cita-cita awalnya. Sejak awal, para pendiri bangsa merumuskan politik sebagai seni menggunakan kekuasaan untuk kepentingan rakyat. Itulah mengapa, seperti dijelaskan Bung Karno, negara kita mengambil bentuk Republik. Republik berasal dari kata ‘Res Publica’, yang bermakna kepentingan umum.

Karena itu, upaya kita menemukan pemimpin bangsa harus pararel dengan usaha membangun kembali politik. Partai politik mesti dikembalikan ke khittahnya: pemikul aspirasi politik massa rakyat. Partai politik tidak bisa hanya dimaknai sebagai mesin elektoral, yang hanya berhubungan dengan massa lima tahun sekali. Lebih dari itu, rakyat menghendaki interaksi sehari-sehari dengan partai politik, dengan wakil-wakil rakyat (DPR), dengan pemerintah lokal maupun nasional, serta ambil bagian dalam merumuskan kebijakan ekonomi-politik bangsa dan memberi masukan terhadap setiap keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari.

Dengan demikian, dalam pemilu 2014 mendatang, agenda politik rakyat sebetulnya bukan hanya ganti Presiden, bukan sekedar memunculkan figur yang baru, tetapi menghendaki pembaharuan ekonomi, politik, dan sosial-budaya secara mendalam.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid