Selama ini kita mengenal istilah parlemen (DPR) dan parlemen jalanan. Sekarang ada istilah baru lagi: parlemen digital atau demokrasi digital.
Menurut Managing Director Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM, Dedy Permadi, demokrasi digital atau parlemen digital menjadi pilihan banyak pihak dalam memengaruhi kebijakan politik pemerintah.
“Dulu orang harus mengartikulasikan kepentingan melalui wakil rakyat (DPR). Jika jalan sudah buntu mereka demo, sekarang ada cara lain tidak perlu demo, tidak perlu berpanas-panasan, mereka bisa bikin petisi online,” kata Dedy di Yogyakarta, Kamis (23/3/2017)
Menurut dia, petisi online menggalang sebanyak-banyaknya dukungan sehingga suaranya mendapat peluang untuk didengar pemerintah.
Dia mengkategorisasi tiga bentuk artikulasi melalui petisi online, yaitu petisi online yang dilakukan kelompok anomik, kelompok asosiasonal dan kelompok institusional.
Untuk kelompok institusional bisa dilakukan oleh Polri, TNI, PGRI dan sebagainya. Kelompok asosiasonal seperti Satuan Serikat Dagang Indonesia, Persatuan Dokter Hewan Indonesia dan lain-lain.
“Yang menarik, kemunculan yang anomik yang secara tiba-tiba secara random, tidak direncanakan, tidak ada organisasinya, tidak ada institusinya, muncul begitu saja kemudian memengaruhi proses kebijakan,” katanya.
Oleh karena itu, dia berharap pemerintah mulai memikirkan satu sistem baru dalam menyambut kehadiran parlemen digital ini. Sebab, parlemen jalanan (demonstrasi) dan parlemen senayan (DPR) sudah memiliki mekanisme dan UU yang jelas.
“Sedangkan parlemen digital ini belum ada perangkatnya, lembaganya, yang ngurusi siapa. Karena itu, sebenarnya kita perlu belajar dari pemerintah provinsi DKI Jakarta yang telah melakukan semua itu,” paparnya.
Bagaimana petisi online mempengaruhi pengambil kebijakan?
Research Manager CfDS Fisipol UGM, Viyasa Rahyaputra, mengatakan bahwa tidak semua petisi online berpengaruh terhadap proses kebijakan.
Kata dia, dari 1.521 petisi online yang diteliti oleh CfDS Fisipol UGM selama Februari 2016-Februari 2017, hanya 4 petisi online yang menang atau di follow-up dalam kebijakan.
“Empat yang menang ini mungkin karena sasarannya jelas. Selain itu, ada aksi di luar petisi online, misalnya aksi demo yang semakin memperkuat petisi online ini difollow-up pemerintah,” jelasnya.
Adapun empat petisi online yang menang versi change.org, yaitu belenggu Gajah di KBS akhirnya dilepas dengan jumlah dukungan 4.818 dan Presiden Jokowi Tolak Remisi Koruptor dengan dukungan 11.221. Selain itu, judul petisi Gloria akhirnya ditugaskan turunkan bendera di Istana Presiden dengan dukungan 25. 129. Kemudian Penyu dan Hiu dilepaskan dengan dukungan 4.863.
Viyasa mengingatkan, tidak selamanya petisi online dengan dukungan paling besar memperoleh perhatian. Terbukti petisi online Cabut Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi yang mendapat dukungan sebanyak 207.097 tidak mendapat perhatian dari pemerintah sebagai sasaran petisi.
Meski lagi tren, kaya Viyasa, petisi online sebagai sarana mengartikulasikan kepentingan belum terlalu dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Dia membandingkan dengan Amerika Serikat yang mana pendukung petisi online bisa mencapai jutaan.
“Jadi, belum terlalu banyak dimanfaatkan semaksimal mungkin bila dibandingkan di beberapa negara yang telah menerapkan demokrasi digital yang lebih matang,” katanya.
Dari 1.521 petisi online yang diteliti oleh CfDS Fisipol UGM, maka muncul angka rata-rata Petisi Politik per bulan mencapai 52,3 petisi. Sebagian besar petisi itu ditujukan kepada pemerintah sebagai pemangku kebijakan, yakni 518 petisi (82%).
Dari segi isu, isu keadilan dan kesetaraan merupakan yang terbanyak, yakni 318 petisi. Sedangkan isu kebijakan berada diperingkat kedua dengan 126 petisi.
Risal Kurnia
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid