Men-dombreng Koruptor

Korupsi terus menjadi masalah besar di Indonesia. Banyak peneliti dan lembaga riset, baik di dalam negeri maupun dari luar, yang menobatkan Indonesia sebagai negara terkorup.

Predikat itu memang sangat menyakitkan. Kita pun sangat gerah dengan korupsi yang terus menggurita. Survei BPS terbaru menunjukkan, Indeks Perilaku Antikorupsi Indonesia 2012 tercatat sebesar 3,55 dari skala 5. Artinya, rakyat Indonesia cenderung tidak permisif dengan korupsi.

Tetapi, apa mau dikata, perilaku koruptif seolah tak terbendung. Angka korupsi terus saja menaik. Bahkan, para koruptor seakan tak mengenal kata “jera”. Ketika muncul di depan gedung KPK, mereka bergaya bak selebritis terkenal. Mereka pun tersenyum indah ketika kamera wartawan menjempretnya berulang-kali.

Bagaimana membuat koruptor jerah? Itulah pertanyaan yang sering mengemuka di berbagai diskusi. Ada kelompok yang mengusulkan agar para koruptor dihukum mati. Tapi, kata sebagian aktivis, tindakan itu melanggar Hak Azasi Manusia (HAM).

Ada lagi yang mengusulkan agar dibuatkan kostum/baju khusus koruptor. Maksudnya, supaya sang koruptor merasa malu atas perbuatannya dan calon koruptor tak berani melakukannya. Tetapi ide itu menemui kegagalan total. Bukannya merasa malu, para koruptor justru memodifikasi pakaian itu agar tampak modis. Akibatnya, begitu hadir di ruang persidangan, si koruptor tampak sedang “fashion show”.

Ada pula yang mengusulkan pemiskinan koruptor. Tetapi ada yang tak setuju dengan ide itu. Salah satunya adalah pakar hukum Adnan Buyung Nasution. Dia berpegang pada adegium: “hukuman harus setimpal dengan kesalahan.” Artinya, yang bisa disita hanyalah harta hasil kejahatan. Katanya, kalau menyita harta diluar kejahatan, itu melanggar HAM.

Saya sendiri pernah berfikir, bagaimana kalau koruptor itu disuruh kerja paksa saja. Dan masa kerja paksanya disesuaikan dengan nilai uang negara yang dicurinya. Ide ini memang sangat ekstrem. Bayangkan, kalau ide ini sampai dijalankan, Indonesia akan memiliki banyak sekali kamp kerja-paksa.

Namun, kalau dilihat dari sejarah, rakyat Indonesia pernah punya metode pemberantasan korupsi yang sangat efektif. Itulah aksi dombreng. Metode ini ditempuh oleh rakyat di tiga daerah, yakni Tegal, Brebes, dan Pemalang, ketika meletus revolusi sosial.

Sebelum proklamasi kemerdekaan, dombreng merupakan ritual untuk mempermalukan pencuri atau maling. Maling yang tertangkap diarak beramai-ramai keliling desa. Biasanya dalam kondisi hampir bugil dan dipermalukan.

Begitu proklamasi kemerdekaan—biasa disebut Revolusi Agustus—aksi dombreng berganti sasaran. Kali ini, yang dijadikan sasaran adalah pejabat dan atau penguasa lokal yang pernah berkolaborasi dengan penjajah, baik Belanda maupun Jepang.

Tak hanya itu, penguasa lokal yang korup dan punya reputasi menindas rakyat juga akan dijadikan sasaran. Mereka akan diarak keliling kampung. Pakaianya dilucuti dan diganti karung goni dan dikalungi padi—simbol dari penderitaan rakyat. Dombreng sendiri berasal dari kata “tong” dan “breng”, yang mengambarkan pukulan pada kayu atau bunyi kaleng kosong yang dipukul oleh pengaraknya.

Dombreng merupakan bentuk pengadilan rakyat terhadap penguasa korup dan pro-kolonial. Memang, aksi ini sangat jauh dari norma hukum positif. Tetapi itulah hukum Revolusi. Tatanan norma-norma positif, yang selama ini justru dipergunakan menindas rakyat, dijungkir-balikkan.

Kita memang tak bisa berharap pada pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi). Maklum, sistem hukum itu terlalu membuka banyak celah untuk “penyelamatan koruptor”. Bayangkan, seperti temuan ICW, ada 70-an terdakwa kasus korupsi yang divonis bebas oleh pengadilan Tipikor dalam dua tahun terakhir.

Kita tidak bisa berharap pada sistem pengadilan yang tumpul. Sudah saatnya pengadilan rakyat bertindak!

Andi Nursal, pencinta buku dan peminat sejarah

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid