Manai Sophiaan, Seorang Soekarnois Yang Gigih

Catatan sejarah perjuangan bangsa banyak berisikan nama-nama tokoh nasionalis yang gigih mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dari cengkeraman imperialisme. Namun ada beberapa tokoh yang tidak terlalu dikenal dalam buku sejarah yang umumnya diajarkan di institusi pendidikan negara. Salah satu tokoh tersebut adalah Manai Sophiaan.

Manai Sophiaan merupakan seorang pejuang bergaris ideologi nasionalis-soekarnois yang lahir di Takalar, Makassar pada tanggal 5 September 1915. Manai kecil tumbuh  pada masa ketika   kolonialisme Belanda masih kuat merantai hak hidup rakyat diseluruh belahan bumi nusantara. Pada masa itu pula, era baru perjuangan merebut kemerdekaan dimulai, yakni era pergerakan nasional.

Perjuangan Politik

Masa kecil Manai dilewatkan dengan menempuh pendidikan sekolah dasar Twede Inlandse School (1926) dan Schakel School (1931). Lalu dilanjutkan dengan menjalani pendidikan tingkat menengah MULO Makassar (1934). Menginjak usia 21 tahun, Manai beranjak ke Jogya demi menimba ilmu di Taman Guru Taman Siswa. Putra Makasar itupun memutuskan untuk bekerja menjadi guru di Taman Siswa.

Metamorfosa kehidupan Manai dimulai ketika masa pendudukan Jepang tahun 1942. Manai bertekad untuk meniti karir sebagai seorang wartawan hingga akhirnya dapat menjadi pemimpin redaksi Koran Sulawesi,  Pewarta Selebes. Naluri jurnalistik inilah yang berpengaruh pada perjalanan hidup Manai di masa depan, ketika ia menjadi pemimpin redaksi koran Suluh Indonesia (1954-1959) serta pemimpin redaksi Suluh Marhaen (1968-1972).

Perjuangan politik Manai diawali ketika ia berkiprah dalam Dewan Gemeente (1939-1945) dan dilanjutkan dengan menjadi anggota  Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat/BP-KNIP (1946-1950) pasca kemerdekaan. Pada masa pergerakan nasional, Manai bergabung dengan Partai Indonesia Raya (Parindra). Di partai tersebut, Manai pernah menduduki jabatan Wakil Ketua Parindra di Makassar. Pasca proklamasi kemerdekaan, anak Polisi ini memilih Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berideologikan Marhaenisme ajaran Bung Karno. Beliau juga pernah menjadi Sekjen PNI. Di masa perang kemerdekaan, Manai memimpin sebuah organisasi yang beranggotakan para pemuda nasionalis radikal, yaitu Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI). PPNI terlibat penuh dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari gempuran NICA dan sekutu di kota Makasar.

Ketika menjadi kader PNI, orientasi ideologi Manai menjadi sangat nasionalis dan sehaluan dengan garis ideologi Bung Karno. Kedekatan ideologis berdampak juga pada kedekatan pribadi. Hal inilah yang membuat Manai tidak menolak jabatan Duta Besar untuk Uni Sovyet  yang ditawarkan Bung Karno pada tahun 1963. Apalagi pada saat itu, hubungan diplomatik Indonesia dengan Uni Sovyet sedang mesra, sebagai dampak keberhasilan Indonesia merebut Irian Barat dengan bantuan Uni Sovyet.

Sang Pembela Bung Karno

Loyalitas Manai Sophiaan kepada Bung Karno memang tidak dapat diragukan lagi. Hal tersebut terlihat setelah kejatuhan Bung Karno dan pembasmian kelompok politik kiri dan Soekarnois pasca tragedi 1965. Setelah berhasil menjatuhkan Bung Karno melalui berbagai proses manipulasi yang dramatik, Presiden Soeharto segera mencopot Manai Sophiaan dari posisinya sebagai Duta Besar RI untuk Uni Soviet. Pencopotan Manai berakibat pada memburuknya hubungan diplomatik Indonesia dan Uni Sovyet selama beberapa tahun.

Sepulangnya dari Moskwa, Manai terlibat dalam aksi perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Penandatanganan Petisi 50 adalah salah satu bentuk penentangan Manai terhadap ketidak adilan pemerintahan Soeharto.

Demikian juga pembelaannya terhadap Bung Karno yang tiada pernah usai. Melalui berbagai karyanya, seperti Apa yang Masih Teringat (1991) dan Kehormatan bagi yang Berhak. (1994), Manai tampil sebagai pembela Bung Karno yang gigih. Dalam buku Apa yang Masih Teringat,contohnya Manai membela sikap politik Bung Karno yang dekat dengan komunis (PKI) sebagai kawan seiring menghadapi imperialisme (Nekolim). Buku itu juga membuat hubungan Manai dengan Jenderal A.H.Nasution memanas, karena ulasan Manai mengenai peran Jenderal A.H. Nasution selaku ketua MPRS ditahun 1967 dalam menjatuhkan Bung Karno.

Sementara dalam buku Kehormatan bagi yang Berhak, ayah dari politikus sekaligus artis  Sophan Sophiaan ini menegaskan ketidak terlibatan Bung Karno dalam peristiwa G30S 1965. Menurut Manai, mustahil Bung Karno mendalangi sebuah “kudeta terhadap dirinya sendiri”. Buku itu juga menimbulkan kecaman dari para eksponen angkatan 66 karena tudingan Manai bahwa aksi-aksi mahasiswa anti PKI dan anti Bung Karno pada tahun 1966 telah ditunggangi Badan Intelijen Amerika (CIA). Keterlibatan CIA dalam penggulingan Bung Karno juga kembali ditegaskan Manai Sophiaan ketika diwawancarai tabloid Detak pada tahun 1998. Hasil wawancara itu dimuat dalam Edisi Khusus G30S/PKI  Tabloid Detak (29 September-5 Oktober 1998).

Memasuki usia senja, Manai Sophiaan terkena penyakit Parkinson, yang akhirnya merenggut nyawanya ditahun 2003. Sang Soekarnois dan pembela Bung Karno yang gigih itupun telah meninggalkan kancah perjuangan untuk selama-lamanya. Riwayat hidup beliau sangatlah layak dijadikan tauladan bagi kita yang juga tengah bergulat dalam perjuangan melawan imperialisme modern di masa kini.

MERDEKA !!!

*) Penulis adalah kader GMNI Cabang Sumedang

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid