Malapetaka Utang Luar Negeri

Utang luar negeri Indonesia terus menumpuk. Hingga saat ini, utang luar negeri Indonesia sudah nyaris menyentuh Rp 2000 triliun. Kalau diakumulasikan dengan jumlah utang swasta, maka jumlahnya sudah mencapai Rp 2.870 triliun atau 45 persen PDB.

Namun, kelihatannya pemerintah tak mau berhenti menambah utang. Bahkan, seperti diungkapkan peneliti Institute For Global Justice (IGJ), Salamuddin Daeng, pemerintah sekarang ini menggunakan utang sebagai salah satu motor untuk mengejar pertumbuhan ekonomi.

Satu hal yang tak bisa terbantahkan: pemerintah Indonesia semakin bergantung pada utang luar negeri. Ini membawa banyak konsekuensi. Pertama, ada tekanan dari kreditur untuk memprioritaskan utang ketimbang kebutuhan domestik.

Biasanya mereka punya argumentasi kurang lebih begini, “untuk menjamin kelancaran arus modal ke negeri anda, maka anda harus mendapatkan kepercayan para investor atas keamanan modal mereka. Untuk itu, pastikan utang anda dan cicilannya terbayar tiap tahun.”

Di sinilah letak masalahnya: biasanya pemerintah melihat “keamanan” utang dari rasio utang terhadap PDB. Akibatnya, sekalipun utang terus meningkat, tetapi jika rasionya menurun, maka kita tetap dianggap aman. Bagi kami, beban utang luar negeri itu justru ada di APBN. Artinya, kalau APBN dari tahun ke tahun makin dibebani oleh pengeluaran pembayaran utang dan cicilannya, maka kemampuan APBN untuk membiayai pembangunan dan belanja sosial (kesehatan, pendidikan, dll) makin berkurang.

Kedua, ketergantungan terhadap utang menjadi ruang bagi negeri-negeri imperialis, melalui IMF dan Bank Dunia, untuk menciptakan perangkap (debt trap). Pengeritik kapitalisme paling pedas, Naomi Klein, mengatakan utang hanyalah alat bagi kreditur, yakni negeri-negeri imperialis, untuk memaksa negara dunia ketiga mengikuti arahan mereka menjalankan “kebijakan penyesuaian struktural” alias neoliberalisme.

Ini pula yang terjadi pada Indonesia. Begitu terperangkap utang-IMF, pemerintah Indonesia mulai menjalankan kebijakan neoliberal, seperti penghapusan subsidi, deregulasi, privatisasi BUMN, liberalisasi perdagangan, liberalisasi sektor keuangan, dan lain-lain.

Di bawa todongan IMF, misalnya, Indonesia dipaksa menjual BUMN-nya kepada pihak swasta (kapital asing). Padahal, BUMN itu dibangun selama puluhan tahun melalui pajak yang dibayarkan oleh rakyat Indonesia. Dengan demikian, betul apa yang dikatakan oleh Wakil Presiden Bolivia, Alvaro Garcia Linera, bahwa privatisasi hanyalah mekanisme perampokan kekayaan publik oleh swasta.

Ketiga, ketergantungan terhadap utang juga telah membahayakan demokrasi. Menurut ahli linguistik AS Noam Chomsky, ketergantungan negara-negara nasional terhadap utang telah menyebabkan transfer kekuasaan politik ke tangan kapital finansial. Akibatnya, para bankir, spekulan, investor, dan lembaga keuangan semakin punya kekusaan yang tak terbatas. Ujung-ujungnya, kata Chomksy, ini membentuk apa yang disebut “senat virtual: bila suatu negeri memutuskan untuk lebih menekankan program-program pengembangan sosial, “senat virtual” ini dapat dengan sekejap mengambil keputusan menentang kebijakan-kebijakan itu, dengan menarik sejumlah besar kapital dari suatu negeri, dengan konsekuensi-konsekuensi yang mengerikan.

Di Indonesia, kehadiran lembaga para kreditur (CGI- consultative Group on Indonesia) sangat berperan dalam mendikte berbagai kebijakan ekonomi-politik di Indonesia. Pada kenyataannya, kekuasaan lembaga semacam CGI, IMF, Bank Dunia, dan WTO lebih menentukan dalam proses penyusunan kebijakan di Indonesia ketimbang DPR (parlemen). Inilah yang disebut sebagai semi-kudeta terhadap parlemen.

Pada kenyataannya, sejarah utang di Indonesia sangat berkait erat dengan kolonialisme. Kolonialisme-lah yang pertama sekali menumpuk utang di negeri ini (Hindia Belanda). Lalu, ketika Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan pada tahun 1949, utang-utang kolonial itu ditimpakan kepada rakyat Indonesia.

Kemudian, begitu rezim diktator orde baru berkuasa, jumlah utang Indonesia makin menumpuk. Sebagian besar utang orde baru itu diperuntukkan untuk memperkuat militernya dan membiayai bisnis keluarga. Bank Dunia sendiri mengakui bahwa 30% utang luar negeri di era orde baru masuk ke kantong pribadi Soeharto.

Artinya, sebagian besar utang Indonesia adalah utang tidak legitimate (illegitimate  debt). Karena itu, Chomsky bilang, “utang bukanlah masalah ekonomi, melainkan soal politik.” Utang-utang tersebut dipinjam secara sepihak oleh diktator orde baru dan dipergunakan untuk kepentingannya. Artinya, rakyat tidak punya kewajiban untuk membayar utang tersebut.

Dalam konsep utang najis, disebutkan tiga alasan kondisi kenapa utang tersebut utang najis: pertama, pemerintahan dari negeri penerima pinjaman menerima bantuan tanpa diketahui dan persetujuan dari rakyatnya; kedua, pinjaman yang diberikan tidak memberi keuntungan kepada rakyat; dan ketiga, peminjam mengetahui kondisi di atas tetapi mengabaikannya. Artinya, mayoritas utang Indonesia sebetulnya masuk kategori “utang najis”.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid