Laporan KLB: SRMI Dan Perjuangan Rakyat Miskin Kedepan

Bertempat di Bandungan, sekitar 25 kilometer dari kota Semarang, Jawa Tengah, puluhan aktivis rakyat miskin sedang berkumpul. Selama dua hari, 17-18 Desember 2011, para aktivis itu menggelar pertemuan. Itu adalah Kongres Luar Biasa (KLB) Serikat Rakyat Miskin Indonesia.

KLB SRMI berjalan cukup sederhana. Sebanyak 70-an orang, umumnya delegasi pengurus wilayah dan kota, menjadi peserta kongres itu. Hadir pula peserta peninjau dari organisasi politik kiri, baik dari dalam maupun luar negeri.

Menyusul problem internal yang melilit SRMI, sejumlah daerah menggagas Komite Penyelamat Organisasi (KPO). KPO beranggapan, kepemimpinan nasional SRMI sudah melenceng dari garis ideologi, politik, dan organisasi. Akhirnya, setelah mengorganisir dukungan, KPO mendapat legitimasi kuat untuk menyelenggarakan KLB.

Semangat KLB

Acara KLB ini dihadiri oleh delegasi dari 10 wilayah dan 31 kota. Hadir pula peserta peninjau dari Kalimantan Timur. Sebetulnya, menurut laporan panitia, jumlah peserta bisa lebih banyak lagi. Namun, karena problem klasik, soal ongkos, beberapa wilayah dan kota gagal mengirim delegasi.

Acara pembukaan kongres juga sangat sederhana. Tidak ada seminar, pementasan, ataupun prosesi khusus. Acara hanya dibuka dengan orasi politik dari organisasi-organisasi massa dan organisasi politik sekawan.

Namun, begitu sesi-sesi sidang kongres dimulai, semangat peserta untuk membangun organisasi terlihat nyata.  Menurut Wahida, salah seorang panitia kongres, ada tiga hal yang berusaha dijawab SRMI dalam kongres: bagaimana membangun kesadaran anggota, bagaimana membangun organisasi, dan bagaimana berpolitik.

Acara kongres sendiri dibagi menjadi tiga sidang komisi: Sidang Komisi Ideologi, Sidang Komisi Politik, dan Sidang Komisi Organisasi. Masing-masing sidang komisi akan menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi. Selain itu, ada pula sidang pembahasan kesimpulan dan rekomendasi komisi.

Saya tidak membahas keputusan-keputusan kongres secara keseluruhan, tapi akan menekankan pada program paling pokok SRMI kedepan: pembangunan mental (kesadaran), pembangunan ekonomi (unit produksi), dan pembangunan kekuatan (macthvorming).

Penyadaran Anggota: Sekolah Rakyat Dan Guru-Guru Kampung

Salah satu problem besar yang diakui oleh SRMI adalah kesenjangan pemahaman antara pengurus dan anggota. Upaya untuk membangun kesadaran anggota, baik melalui pendidikan maupun terbitan, sangat minim.

Akibat kesenjangan itu, keterlibatan anggota dalam membangun organisasi pun sangat minim. Keterlibatan anggota hanya sebatas dimobilisasi atau mengikuti kegiatan-kegiatan besar organisasi.

Kesenjangan itu juga berdampak lebih fatal lagi: banyak manuver politik pengurus, khususnya pimpinan nasional, tidak bisa diketahui dan dikontrol oleh anggota. Anggota hanya tahu mengenal instruksi atau arahan. Kalaupun ada forum sosialisasi, tapi karena minimnya pemahaman dan kesadaran anggota, maka proses diskusi pun dimonopoli oleh pengurus dan petugas sosialisasi.

Dalam sesi sidang ideologi direkomendasikan: pembangunan kesadaran anggota harus ditempatkan sebagai prioritas. Di sini, ada penekanan untuk menjadikan anggota sebagai “protagonis” dalam organisasi. “SRMI kedepan harus dijalankan oleh anggota, oleh rakyat miskin itu sendiri, bukan segelintir elit pengurus. Pengurus hanya memfasilitasi anggota,” ujar Wahida.

Untuk menjawab soal itu, sidang komisi ideologi merekomendasikan adanya “guru-guru kampung”. Guru-guru kampung adalah tenaga pengajar yang tugasnya keluar-masuk kampung untuk memastikan pendidikan anggota. Dalam waktu dekat, SRMI akan menggelar kursus kader se-nasional. Targetnya: menghasilkan tenaga pengajar untuk dikirim ke kampung-kampung.

Menurut Wahida, ketua umum SRMI yang terpilih dalam kongres itu, terjadi perombakan total dalam konsep pendidikan anggota. Katanya, pendidikan anggota akan dilembagakan dalam bentuk sekolah-sekolah rakyat. Jadi, setiap anggota yang punya waktu senggang, bisa hadir dalam pendidikan yang digelar oleh sekolah rakyat.

Di situlah tugas guru-guru kampung, yaitu menjadi pengajar di sekolah-sekolah rakyat ini. Sekolah rakyat ini sendiri adalah sekolah tanpa tembok. Artinya, sekolah ini bisa diselenggarakan di mana saja: rumah warga, di balai pertemuan, mushollah, sekolah-sekolah, ataupun di lapangan terbuka.

Materinya pun ada dua kategori: materi penyadaran dan materi keahlian (skill). Materi penyadaran meliputi materi-materi tentang ideologi Pancasila, politik, demokrasi, hak-hak dasar rakyat, mengenal imperialisme atau neo-kolonialisme, dan lain-lain. Sementara materi keahlian berupa kursus membaca, menulis, menjahit, memasak, komputer, bahasa inggris, dan lain-lain.

Model pendidikan akan dirombak. Dalam pendidikan dasar, peserta lebih banyak diajak menyampaikan testimoni. Dari situ, peserta atau anggota berbicara berdasarkan pengalaman masing-masing. Dengan testimoni banyak orang, para peserta akan memahami kesamaan dan keterkaitan persoalan mererka dan mencari tahu hubungannya dengan kebijakan ekonomi-politik negara.

Materi pun disusun dengan dua cara: audio-visual dan tulisan. Dengan menggunakan media audio-visual, setiap anggota diharapkan lebih mudah memahami isian dari materi-materi yang hendak disampaikan. Propaganda SRMI juga banyak yang akan dibuat dalam bentuk audio-visual.

Pembangunan Unit Produksi

Salah satu perdebatan sengit di kongres adalah soal mendorong aktifan anggota dan menjaga basis. Dalam banyak kasus, seperti diuraikan peserta kongres, banyak anggota SRMI tidak bisa aktif karena persoalan ekonomi. Di satu sisi, mereka dituntut aktif dalam aktivitas organisasi, tetapi, disisi lain, mereka juga dituntut menopang ekonomi keluarganya.

Karena itu, dalam kongres SRMI, diputuskan untuk mendorong pembangunan unit produksi anggota. Sebagian besar pembangunan unit-produksi ini akan diorganisikan melalui koperasi-koperasi.

Wahida, aktivis SRMI yang paling getol mengusulkan ide ini, berusaha menarik pengalaman KPML—organisasi rakyat miskin kota di Philipina—dalam pembangunan unit-unit produksi di basis-basis massanya.

Dalam bayangan Wahida, setiap anggota dan simpatisan akan diorganisasikan dalam kolektif-kolektif beranggotakan 20 sampai 50 orang. Mereka akan didorong menjalankan produksi sesuai keahlian dan jenis produksi  yang disetujui anggotanya.

Selain unit produksi, SRMI juga berencana menjalankan koperasi sembako. Konsep yang diadopsi di Venezuela ini bertujuan untuk menyediakan akses sembako murah melalui toko-toko sembako di pusat-pusat perkampungan kaum miskin.

Sementara itu, SRMI akan mengintensifkan advokasi terkait perlindungan hak dasar rakyat melalui posko-posko perjuangan.

Dengan pembangunan koperasi-koperasi ini, SRMI berharap bisa memperkuat solidaritas dan kegotong-royongan diantara anggota. “Jika neoliberalisme mengajarkan kompetisi bebas dan mencari keuntungan masing-masing, maka kami akan mengajarkan bahwa senjata kaum miskin adalah solidaritas dan gotong-royong,” kata Wahida.

Pembangunan Kekuatan (Machtvorming)

Hal lain yang dibahas dalam kongres adalah soal pembangunan gerakan politik. SRMI menyadari, bahwa SRMI tidak boleh bertindak sekedar sebagai pekerja sosial, tetapi harus aktif mempromosikan politik yang membela rakyat.

Karena itu, dalam kongres itu, SRMI juga memandang penting mengajari rakyat untuk berpolitik. “SRMI menyadari bahwa perubahan nyata hanya mungkin terjadi jikalau rakyat miskin bisa memegang kekuasaan politik,” ujar Wahida.

SRMI akan mempelari banyak hal tentang konsep-konsep Bung Karno tentang “macthvorming”. SRMI juga akan belajar dari gerakan rakyat miskin di belahan dunia lain, yang sudah berhasil merebut kekuasaan politik: Venezuela, Bolivia, Ekuador, Argentina, Paraguay, Uruguay, Nikaragua, Brazil, dan lain-lain.

Akan tetapi, yang sudah pasti, SRMI akan menganjurkan anggotanya terlibat dalam pertarungan-pertarungan politik di tingkat lokal: mulai dari pemilihan RT/RW hingga pemilihan Bupati/Walikota. SRMI juga mendorong anggotanya berkiprah dalam forum-forum warga dan karang taruna.

Dalam kerangka politik nasional, SRMI akan membangun kerjasama strategis dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dan, bersama dengan PRD dan gerakan progessif yang lain, SRMI akan membangun sebuah gerakan politik alternatif.

Kongres SRMI memutuskan: platform politik SRMI adalah anti-imperialisme. Dalam kerangka itu, SRMI akan bekerjasama dengan organisasi-organisasi rakyat lainnya dalam memajukan perjuangan anti-imperialisme. Salah satunya dengan terlibat langsung dalam “Gerakan Nasional Pasal 33 UUD 1945”.

*****

KLB SRMI juga menghasilkan perubahan-perubahan penting. Diantara perubahan penting itu adalah pergantian azas: dari Demokrasi Kerakyatan (Demkra) menjadi Pancasila.

Perubahan lainnya adalah slogan. Slogan baru SRMI adalah: Bangun dan Perluas Organisasi untuk Indonesia yang berdaulat dan berkepribadian.

KLB juga menghasilkan susunan kepengurusan baru untuk periode 2011-2014 sebagai berikut:

Ketua Umum             : Wahida Baharuddin Upa

Sekretaris Jenderal  : Iskohar

Bendahara Umum     : Andi Nursal

Dept Bacaan              : Agus Casyono

Dept Organisasi        : Henri Anggoro

Dept Pendidikan       : –

 

Berikut nama-nama wilayah dan kota yang memberikan surat dukungan untuk KLB:

Wilayah: Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

Wilayah yang setuju KLB tapi tidak mengirim surat dukungan: Riau.

Kota: Temanggung, Magelang, Kendal, Semarang, Kota Semarang, Banyumas, Blitar, Kota Blitar, Tuban, Surabaya, Lamongan, Palembang, Muara Enim, Makassar, Palopo, Jeneponto, Selayar, Bulukumba, Gowa, Kepulauan Seribu (Jakarta), Pematang Siantar, Ternate, Kefa, Kupang, Bandung, Bogor, Indramayu, Palu, Buol, Kendari, Bau-Bau.

Ada juga peserta organisasional yang melebur dalam SRMI: Persatuan Rakyat Jakarta.

Peserta peninjau (cikal bakal perluasan): Kalimantan Timur.

AGUS PRANATA

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid