Kupu-Kupu Revolusi Sukarno

Banyak yang memandang remeh perempuan pekerja seks. Tetapi tidak di mata Sukarno. Pemimpin revolusi Indonesia itu justru menganggap perempuan pekerja seks sebagai salah satu tenaga penting dalam revolusi.

Dalam otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sukarno menceritakan bagaimana pergerakannya melibatkan perempuan pekerja seks dalam kerja-kerja revolusioner. Mulai dari aktivitas mata-mata (spionase) hingga menjadi kader partai yang sangat loyal.

Sebagai aktivis revolusioner, apalagi ketua partai berhaluan revolusioner, Partai Nasional Indonesia (PNI), Sukarno tentu tidak lepas dari incaran intelijen Belanda. Kemana-mana dia dibuntuti oleh intel-intel Belanda.

Rapat-rapat PNI juga tidak aman. Berkali-kali pertemuan mereka diganggu oleh intel. Akhirnya, Sukarno berusaha mencari tempat pertemuan alternatif yang tidak mungkin terendus oleh intel kolonial. Pilihannya jatuh ke tempat lokalisasi.

“Jadi berapatlah kami disana, di tempat pelacuran, sekitar jam delapan dan sembilan malam, yaitu waktu yang tepat untuk itu. Kami pergi sendiri‐sendiri atau dalam kelompok kecil,” kata Sukarno dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Pada saat Sukarno dan kawan-kawannya menggelar rapat, perempuan pekerja seks itu menjadi barisan pengamanannya. Setelah rapat usai, mereka keluar berpencar.

Selain tempat rapat, perempuan pekerja seks ini juga menjadi mata-mata Sukarno. Mereka menggoda para pelanggan mereka, terutama polisi-polisi Belanda, lalu memeras sebanyak-banyaknya informasi dari mereka.

“Pelacur adalah mata-mata yang paling baik di dunia,” ujar Sukarno.

Sukarno menceritakan, PNI punya 670 anggota dari latarbelakang perempuan pekerja seks. Mereka merupakan anggota yang setia dan patuh kepada partai. Mereka ini juga yang menjadi donatur bulanan partai. Tidak hanya itu, mereka juga aktif dalam rapat dan kursus-kursus politik partai.

Namun, tidak semua pengurus PNI setuju dengan langkah Sukarno merangkul pekerja seks. Salah satunya adalah Ali Sastroamidjojo, yang kelak menjadi Duta Besar dan Perdana Menteri Republik Indonesia di tahun 1950-an.

“Ini memalukan,” kata Ali kepada Sukarno. “Kita merendahkan nama dan tujuan kita dengan memakai perempuan sundal. Ini sangat memalukan.”

“Kenapa?” balas Sukarno mempertanyakan dasar penolakan Ali itu. “Mereka jadi orang revolusioner yang terbaik. Saya tidak mengerti dengan pendirian Bung Ali yang sempit.”

Ali pun menjawab singkat: “Ini melanggar susila.”

Sukarno berusaha menjawab dengan tenang. Menurut dia, setiap revolusi butuh kekuatan yang besar, termasuk dari kalangan perempuan. Dan tentu saja, pekerja seks merupakan bagian dari kekuatan itu.

Sukarno tidak mau terjebak dalam kategori moral. Dan memang persoalan pelacuran/prostitusi tidak bisa dilihat dengan kacamata moral semata. Sebab, banyak kasus menunjukkan bahwa pelacuran berkait erat dengan kemiskinan dan pengangguran.

Selain itu, Sukarno merujuk ke pengalaman revolusi di negara lain, dalam hal ini Perancis, yang melibatkan para pekerja seks dalam revolusinya. “Lihat barisan roti di Versailles. Siapakah yang memulainya? Perempuan‐perempuan lacur,” jelasnya.

Tentu Sukarno tidak berlebihan. Di banyak revolusi, pekerja seks memang sering ambil bagian dari revolusi. Di Indonesia, tidak hanya Sukarno yang merangkul perempuan pekerja seks ke dalam revolusi, tetapi tokoh lain juga.

Salah satunya adalah Dr Moestopo, dokter gigi yang mengorganisasikan para pencopet, bekas narapidana dan perempuan pekerja seks dalam laskar rakyat bernama Laskar Terate. Selain dikirim ke garis depan untuk bertempur, mereka para perempuan pekerja seks itu ditugaskan untuk menjadi mata-mata, memasang pamflet-pamflet propaganda di pohon-pohon, serta mengungsikan rakyat.

Jadi, singkat cerita, jangan anggap remeh perempuan pekerja seks. Mereka juga punya kontribusi bagi revolusi Indonesia.

Rudi Hartono

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid