Kronik Nasionalisasi Perusahaan Asing Tahun 1957

Seharusnya, bagi bangsa Indonesia, nasionalisasi bukanlah hal yang tabu. Negara ini punya pengalaman menasionalisasi perusahaan milik asing, khususnya Belanda. Berikut ini kronik singkat gelombang nasionalisasi di akhir 1957.

Pada bulan November 1957, upaya pemerintah Indonesia menyelesaikan persoalan Irian Barat di Forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menemui jalan buntu. Sidang Umum PBB ke-XII gagal menyelesaikan persoalan Irian Barat.

Pemerintah Indonesia sangat kecewa dengan gagalnya upaya penyelesaian damai tersebut. Dalam Sidang Kabinet diputuskan rencana pemulangan orang-orang Belanda.

Sementara itu, di dalam negeri, pada 30 November 1957, terjadi upaya pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Ia digranat oleh gerombolan DI/TII sangat menghadiri perayaan HUT Perguruan Cikini. Bung Karno berhasil selamat. Namun, ledakan granat itu menewaskan 10 orang, termasuk sejumlah anak sekolah dan pengawal Bung Karno.

Tak lama setelah itu, Dubes keliling AS, Gordon Main, mengunjungi Indonesia. Ia meminta persetujuan pemerintah Indonesia terkait rencana pendirian pangkalan SEATO di Irian Barat. Namun, pemerintah dan rakyat Indonesia menafsirkan rencana itu sebagai upaya campur tangan imperialisme di wilayah NKRI.

Sementara itu, Central Comite (CC) Partai Komunis Indonesia menyebarluaskan telegram berisi seruan solidaritas kepada kaum komunis dan kaum buruh seluruh dunia untuk bersolidaritas dan mendukung perjuangan Rakyat Indonesia dalam membebaskan Irian Barat dari cengkeraman imperialisme Belanda.

Pada bulan Desember 1957, majalah New York Times melaporkan kerasahan orang-orang Belanda di Indonesia. Dilaporkan bahwa mayoritas orang Belanda yang bermukim di Indonesia tidak setuju dengan politik pemerintah Belanda mempertahankan cengkeramannya di Irian Barat. Dilaporkan pula, salah seorang pengusaha Belanda menganggap “tidak masuk akal” sikap nekat pemerintah Belanda mempertahankan ‘hutan rimba Irian Barat’, namun justru mempertaruhkan resiko semua modal Belanda di wilayah Indonesia lainnya.

Pada tanggal 1 Desember 1957, pemerintah Indonesia mengumumkan adanya aksi mogok selama dua puluh empat jam terhadap semua perusahaan Belanda (Bartlett, 1986:100).

Tanggal 2 Desember 1957, sebagai respon atas seruan pemerintah, kaum buruh mulai menggelar pemogokan umum di pabrik-pabrik milik Belanda maupun pabrik campuran milik Belanda-Indonesia. Akibatnya, pengusaha Belanda menderita kerugian lebih dari Rp 100 juta.

Tiga hari kemudian, pemerintah Indonesia mulai menutup konsulat Belanda di Indonesia. Pemerintah Indonesia juga membekukan semua transfer keuntungan perusahaan Belanda ke luar negeri.

Tanggal 6 Desember 1957, kantor KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij), perusahaan pelayaran Belanda, yang berkantor di Jalan Medan Merdeka Timur Jakarta, diambil-alih oleh kaum buruh. Pada hari yang sama, kaum buruh juga mengambilalih Hotel Des Indes. Motor utama aksi-aksi nasionalisasi ini adalah SOBSI (Sentral Serikat Buruh Seluruh Indonesia) dan KBKI (Kesatuan Buruh Kebangsaan Indonesia).

Pada hari yang sama, Kementeria Luar Negeri Indonesia menginstruksikan semua perusahaan Belanda di Indonesia untuk menghentikan aktivitasnya. Tiga kapal KPM, yang rencananya berlayar ke Indonesia, terpaksa berhenti di Singapura.

Sehari kemudian, Serikat Buruh Bank Seluruh Indonesia (SBBSI) di Jakarta berupaya untuk menduduki dan menguasai bank-bank Belanda di Jakarta.

Aksi-aksi perebutan perusahaan Belanda berlangsung di berbagai daerah di Indonesia. Sementara itu, Kementerian Kehakiman RI telah memerintahkan 5000 warga Belanda di negerinya untuk segera kembali ke negerinya. Namun, Menteri Kehakiman juga memerintahkan agar kaum buruh tidak menguasai pabrik yang sudah diambilalih dari tangan Belanda. Sebaliknya, Menteri Kehakiman menuntut agar perusahaan tersebut diserahkan ke militer (TNI).

Pada tanggal 7 Desember 1957, seiring dengan menghebatnya aksi-aksi nasionalisasi di Indonesa, Panglima Angkatan Laut (AL) AS di Pasifik, Felix Sump, menerima radiogram dari Kepala Operasi AL Laksamana Arleigh Burke tentang perintah pengerahan pasukan AL Amerika Serikat ke perairan Indonesia karena “situasi kritis di Indonesia”. Sejurus dengan itu, atas permintaan Belanda, NATO (Fakta Pertahanan Atlantik Utara) menggelar Sidang Darurat untuk mendengar dan membahas laporan dari Indonesia.

9 Desember 1957, pers-pers di Indonesia memuat keputusan Perdana Menteri Juanda, bahwa semua perusahaan pertanian Belanda, juga campuran Belanda-Indonesia, termasuk harta benda tak bergerak dan tanah-tanah perkebunan, sejak itu berada di bawah pengawasan pemerintah RI. Pemerintah juga mengambilalih pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan Belanda, termasuk KPM dan KLM, Bank-Bank Belanda, Perusahaan Niaga, kantor-kantor, perusahaan gula, stasiun listrik, perusahaan gas, dan lain-lain.

Pada tanggal 10 Desember 1957, Menteri Pertahanan secara resmi menginstruksikan menguasai perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda. Padahal, perusahaan-perusahaan ini diambilalih dan dikuasai oleh kaum buruh Indonesia. Inilah titik balik dari aksi nasionalisasi tahun 1957.

Pertengahan Desember 1957, Serikat Buruh Belanda menyatakan mendukung perjuangan rakyat Indonesia dan menuntut agar penjajah meninggalkan Irian Barat.

Kemudian, 15 Desember 1957, UU Keadaan Bahaya ditandatangani. UU ini merupakan upaya militer untuk menghentikan aksi-aksi kaum buruh dan sekaligus merebut kendali atas perusahan asing yang direbut dengan darah dan keringat oleh kaum buruh.

Puncaknya adalah berlakunya Keadaan Bahaya (SOB) pada tahun 1958. Namun, aksi-aksi nasionalisasi oleh kaum buruh masih terus berlanjut hingga tahun 1958. Tahun 1958, Indonesia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda.

Januari 1958, kubu negara-negara sosialis dan negara-negara Asia-Afrika menyatakan dukungan terhadap perjuangan rakyat Indonesia terkait pengembalian Irian Barat.

Pada Februari 1958, pihak imperialis berhasil menyulut pemberontakan separatis PRRI. Imperialisme AS menyuplai dana, senjata, dan amunisi kepada para pemberontak. Selain itu, AS juga mengirimkan barisan kapal perang dari Armada ke-7 untuk daerah pemberontakan. Alasannya: untuk membantu pengungsian pegawai perusahaan minyak AS, Caltex.

Tanggal 3 Desember 1958, Parlemen Indonesia menyetujui Undang-Undang Nasionalisasi terhadap semua perusahaan Belanda di wilayah Indonesia. Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan  Pemerintah (PP)  No.23/1958  yang menyatakan perusahaan-perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi menjadi milik pemerintah RI.

Tercatat, dari sejak 1957 hingga 1960, sebanyak 700-an perusahaan Belanda di Indonesia berhasil dinasionalisasi. Jumlah itu mencakup 70% perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia jaman itu.

Sementara itu Prof Dr R.Z Leirissa dalam Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia mencatat: sejak terjadinya gelombang nasionalisasi, kepemilikan dari 90% produksi perkebunan beralih ke tangan pemerintah. Demikian juga dengan 60% nilai perdagangan luar negeri dan sekitar 246 pabrik, perusahaan pertambangan, bank-bank, perkapalan dan sektor jasa (Robison, 1986:72).

Timur Subangun; disarikan dari berbagai sumber: Kronik Irian Barat (Koesalah Subagyo Toer), Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia (Frof Leirissa), dll).

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid