Koran Revolusioner ala Bung Hatta

Apa jadinya jika sebuah pergerakan tak punya koran. Mengutip sedikit perkataan begawan revolusi kita, Bung Karno, “massa aksi tanpa brosur dan surat-kabar adalah massa aksi yang tak hidup dan tak bernyawa.”

Pada jaman itu, koran memang sering menjadi corong propaganda. Pada awalnya, seperti diceritakan Pramoedya Ananta Toer di “Anak Semua Bangsa”, koran di Hindia-Belanda lahir untuk melayani kepentingan kaum gula—sindikat gula.  Meskipun kadang-kadang koran itu melabeli diri “koran netral”.

Tetapi dengan koran pula kesadaran nasionalisme dibangkitkan. Di tangan kaum pergerakan yang telaten, koran telah menjadi “penyuluh” bagi kebangkitan rakyat di Hindia-Belanda. Tak henti-hentinya koran pergerakan berseru-seru tentang “kemerdekaan” dan “anti-kolonialisme”.

Bung Hatta sangat menyadari fungsi koran itu. Di negeri Belanda—semasa kuliah dan terlibat pergerakan di sana—Bung Hatta sering menorehkan fikiran-fikirannya di koran Indonesia Merdeka, De Vlam, dan De Socialist.

Daulat Ra’jat

Pasca penangkapan Soekarno, muncul perpecahan di tubuh PNI: satu kelompok mendirikan Partai Indonesia (Partindo), sedangkan lainnya menyebut diri sebagai “Golongan Merdeka”. Kelompok terakhir inilah cikal bakal berdirinya Pendidikan Nasional Indonesia (PNI)-baru.

Namun, sebagai penyuluh pendirian partai baru, Bung Hatta merintis sebuah majalah kader. Majalah itu diberi nama “Daulat Ra’jat”. Bung Hatta menyebut fungsi majalah ini sebagai alat pendidikan kader baru. Awalnya, majalah ini terbit sekali dalam 10 hari. Markas redaksi majalah ini terletak di Gang Lontar Jakarta.

Daulat Ra’jat lebih banyak berfungsi sebagai koran teori. PNI baru, partainya Bung Hatta, memang kurang mementingkan agitasi. Baginya, agitasi memang membangkitkan kegembiraan hati orang banyak, tetapi tidak membentuk pikirannya. Dengan begitu, kesan agitasi pun akan hilang sekejap.

Karena itu, banyak artikel dalam Daulat Ra’jat dijadikan materi kursus politik. Selain itu, Daulat Ra’jat juga banyak memuat polemik. Maklum, pada saat itu, berbagai perdebatan di kalangan gerakan banyak dituliskan di koran. Bung Hatta pun menggunakan Daulat Ra’jat untuk menangkis berbagai serangan terhadap pergerakannya.

Selain di Daulat Ra’jat, Bung Hatta juga sempat menjadi redaktur “Utusan Indonesia”. Koran ini berbasis di Jogjakarta. Koran ini muncul atas inisatif Soekiman, seorang tokoh PSII Jogjakarta. Kelak, Soekiman ini menjadi Perdana Menteri dan melakukan “Razia Agustus” terhadap kaum kiri.

Mendidik Massa

Bagi Hatta, koran haruslah bisa “mendidik massa”. Tidak sekedar beragitasi dan membangkitkan kemarahan. Tak heran, banyak orang yang mengeluhkan bahasa Daulat Ra’jat yang sukar dipahami oleh massa.

Hatta menganggap hal itu bukan persoalan. Menurutnya, koran tidak hanya berfungsi informatif. Sebab, kalau begitu, maka tugasnya sangat singkat: dibaca dan diketahui informasinya. Setelah itu, korannya itu sudah tak berguna lagi.

Bagi Hatta, koran harus bisa menelurkan pengetahuan baru bagi pembacanya. Bukan sekedar informasi aktual. Karena itu, ketika orang membaca Daulat Ra’jat, maka ia harus melakukannya berulang-ulang. “Tidak mengerti satu kali saja,” kata Bung Hatta. “baca satu kali lagi dan jalankan apa yang dibaca.”

Koran teori memang sulit bagi pembaca. Selain soal bahasa, tema yang dibahas pun terkadang belum bisa dijangkau massa. Akibatnya, banyak massa yang kesulitan mengkonsumsi koran teori.

Dalam benak Hatta, koran mesti menghasilkan kelompok diskusi. Dengan teori yang berat, maka  terbuka kemungkinan untuk mendiskusikannya. Simpul-simpul diskusi inilah yang disebut “sekolah” bagi massa untuk memahami teori pergerakan.

Sehubungan dengan beratnya isian koran teori, Hatta mengatakan, bukan koran kita yang harus ditarik ke bawah, melainkan massa rakyat yang harus dihela ke atas. Payah membaca itu sama artinya sport otak, katanya. Inilah koran yang bisa menghasilkan kader-kader pergerakan.

Tugas koran partai, kata Hatta, adalah menambah pengetahuan, menambah pengertian, dan menambah keinsafan (kesadaran). Dengan pengertian dan keinsafan itu, setiap kader pergerakan akan lebih tangguh. Mereka akan memahami seluk-beluk pergerakan dari pangkal hingga ujungnya.

Bung Hatta juga menempatkan majalah sebagai pemimpin, yakni pemimpin teori. Supaya majalah bisa dibaca oleh semua anggota, maka salah satu kewajiban dasar setiap anggota partai adalah berlangganan majalah partai. Tidak ada anggota yang tidak punya majalah partai.

Rudi Hartono, Pemimpin Redaksi berdikarionline.com

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid