Kontra-Kudeta Yang Dirancang Gagal

TIDAK seperti biasanya ketika Bung Karno menyampaikan pidato. Ketika berpidato di hadapan Musyawarah Nasional Teknik (Munastek), di Istora Senayan, pada malam 30 September 1965, Bung Karno tiba-tiba berhenti dan meninggalkan podium, dan selang beberapa menit kemudian, Bung Karno muncul kembali dan menceritakan “Mahabharata”, yaitu soal perang saudara Kurawa dan Pandawa.

Ada yang mengatakan, Bung Karno saat itu sedang sakit dan pergi ke belakang untuk mendapat suntikan dari tim dokternya. Sementara versi lain menyebutkan, Bung Karno diminta untuk menerima sebuah informasi yang sangat penting. Apa itu? Semua masih tidak diketahui.

Pada malam itu, yang telah memutar-balikkan haluan ekonomi, politik, dan kebudayaan Indonesia sampai sekarang ini, telah terjadi gerakan yang disebut “Gerakan 30 September”, demikian pemimpin gerakan ini menamai gerakannya melalui siaran RRI pada pagi hari 1 Oktober.

Sekarang ini, segala hal mengenai “gerakan 30 September” masih merupakan sesuatu yang gelap dan menyimpan misteris, meskipun ada banyak sejarahwan dan akademisi yang berusaha membuat “terang” kejadian ini.

Saya hanya hendak menjelaskan satu hal, bahwa gerakan kudeta sebetulnya bukanlah pada malam 30 september itu, tetapi sudah dirancang dan dijalankan berulang kali dan kejadian pada 30 September hanya merupakan satu bagian dari rangkaian rencana kudeta tersebut.

Konteks Yang Lebih Luas

Dalam rapat pimpinan AD di Jakarta pada 28 Mei 1965, Soekarno telah mengatakan: “Mereka akan melakukan serangan terbatas terhadap Indonesia. Dan mereka punya teman-teman di sini”. Maksud Soekarno adalah kekuatan imperialisme, khususnya AS dan Inggris yang sudah lama mengincar untuk melikuidasi kekuasannya.

Ya, sejak gejolak revolusi agustus 1945 mulai menggugurkan banyak kepentingan kolonialis, kaum imperialis mulai menyadari, bahwa mereka bisa kehilangan apa yang disebutnya “permata asia” kapan saja. Karena itu, mereka mulai melibatkan diri dalam usaha-usaha merebut kembali Indonesia dari pengaruh kebangkitan gerakan revolusioner, yang sejak awal memang sangat anti-kolonial.

Untuk itu, pada tahun 1947, Bank Dunia telah memberi pinjaman  sebesar 195 juta dolar ke Belanda, yang sebagian besar dipergunakan untuk menggempur Republik Indonesia. Setahun berikutnya, pada September 1948, tangan imperialis AS dinyatakan terlibat dalam menyokong sebuah proposal untuk membasmi “kaum merah” di Indonesia.

Di akhir tahun 1950-an, terutama setelah Soekarno sukses membawa revolusi Indonesia semakin ke kiri, intervensi AS semakin memuncak. H. W. Brands menulis dalam “Journal of American History”, bahwa AS telah mengambil bagian dalam upaya “coup” yang gagal terhadap Soekarno tahun 1958.

“Sukarno berhasil menggagalkan pemberontakan di Sumatera (PRRI) yang dibantu oleh CIA dengan 300 orang tentara Amerika, Filipina dan Tiongkok Nasionalis, lengkap dengan pesawat udara transport dan Bomber B-26,” kata Brands.

Prof. George McT. Kahin dari Cornell University (AS) mengakui betapa jelas campur tangan pemerintah Amerika Serikat dalam soal-soal politik Indonesia, karena kekhawatiran Washington tentang kemungkinan Indonesia jatuh ke tangan komunis.

Pendek kata, pihak imperialis dan kekuatan sayap kanan di dalam negeri tidak pernah berhenti untuk mencari segala usaha melikuidasi pemerintahan Soekarno.

Kontra Kudeta

Menjelang tahun 1965, di Indonesia telah tersebar desas-desus akan terjadinya perebutan kekuasaan negara, yang konon dipersiapkan oleh apa yang disebut “dewan jenderal”, sebuah group dari sekelompok pimpinan tentara yang tidak segaris dengan politik Bung Karno. Ada yang mengatakan, isu ini berasal dari Waperdam/Menlu/Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Subandrio, dan kemudian tersebar hingga Soekarno dan PKI.

Berhembusnya isu seperti ini adalah sah dalam konteks saat itu, terlepas apakah itu benar atau tidak, mengingat bahwa situasi politik benar-benar sudah pada “titik didihnya” dan segala kemungkinan bisa terjadi.

Soekarno, berdasarkan kesaksian ajudannya, Bambang Widjanarko, terus mendapatkan pasokan informasi mengenai kebenaran “dewan jenderal” itu, dan memerintahkan pasukan pengawalnya untuk langkah-langkah antisipasi untuk mengamankan keselamatan Presiden kalau muncul situasi berbahaya.

Mungkin saja, itulah yang ditangkap oleh salah seorang komandan pasukan pengamanan presiden, Kolonel Untung, dan diterjemahkan dalam sebuah upaya untuk menjalankan operasi “kontra-kudeta” terhadap dewan Jenderal.

Karena penjelasan ini pula, maka menjadi masuk akal bagi saya, seorang perwira berkarier cemerlang seperti Brigjend Supardjo harus mendukung gerakan ini, meskipun dia hanya berpartisipasi Cuma tiga hari dalam gerakan ini.

Setelah melakukan penculikan terhadap para Jenderal, pimpinan Gerakan 30 September telah berusaha meminta kepada Bung Karno, untuk mendukung aksinya menyingkirkan jenderal-jenderal yang berusaha menjatuhkan beliau. Namun, pada saat disodori surat pernyataan dukungan oleh Brigjend Soepardjo, maka Bung Karno telah menolaknya.

Bung Karno telah mengambil tindakan sendiri, yaitu memberhentikan gerakan kedua belah pihak (dengan keterangan kalau perang saudara berkobar, maka yang untung adalah nekolim). Dengan “absennya” dukungan Bung Karno, maka boleh jadi ini yang menjadi penyebab kenapa Gerakan 30 September tidak memperlihatkan “semangat menyerang” lanjutan, atau setidaknya mengantisipasi serangan balik Soeharto-Nasution.

Kalaupun ada upaya disinformasi mengenai “dewan jenderal”, maka ini bisa dianggap sebagai rangkaian usaha untuk menciptakan “jebakan”, yang nantinya dapat dipergunakan untuk menjalankan tindakan tertentu.

“Kudeta Yang Dirancang Gagal”

Setelah membaca dokumen Brigjend Supardjo tentang “Beberapa Pendapat Yang Mempengaruhi Gagalnya G-30-S Dipandang Dari Sudut Militer”, saya mendapatkan kesan bahwa memang ada pihak dalam gerakan ini yang merancang supaya gerakan ini mengalami kegagalan. Namun, untuk menjelaskan siapa orang itu, saya belum bisa untuk memastikannya.

Dalam dokumen Brigjend Supardjo disebutkan, menjelang pelaksanaan operasi ini, ternyata masih banyak yang hal yang belum terselesaikan, misalnya, persiapan pasukan belum jelas, beberapa perwira mengundurkan diri, penentuan sasaran dan gambaran pelaksanaan aksi belum jelas, dan masih banyak lagi.

Sejak awal, menurut Brigjend Supardjo, didalam gerakan ini sudah timbul “keragu-raguan”, namun segera ditimpa dengan semboyan “apa boleh buat, kita tidak bisa mundur lagi.”  Demikian pula dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi paska pelaksanaan gerakan, yang kacau balau dan tidak sesuai dengan rencana.

Supardjo menulis, “strategi yang dianut gerakan secara keseluruhan adalah semacam strategi “bakar petasan”; maksudnya, jika sumbunya dibakar di Jakarta, maka mercon-merconnya dengan sendirinya mengikuti di daerah.

Pada kenyataannya, tahap persiapan dan penggambaran umum gerakan tidak mencerminkan “obsesi” tersebut, bahkan kacau-balau saat dipraktekkan di lapangan. Sumbu yang terbakar bukan memicu mercon di daerah, melainkan membakar “tangan dan badan sendiri”.

Menurut saya, ada pihak-pihak dalam gerakan ini yang memang merancang “gerakan untuk mengalami kegagalan”, dan selanjutnya menjadi dalih untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok politik tertentu.

Ada benarnya juga, setelah melihat rangkaian upaya kudeta terhadap Bung Karno sejak akhir 1950-an, bahwa “kontra-kudeta yang dirancang gagal ini” dimaksudkan untuk menciptakan dalih guna melumpuhkan Soekarno. Sebab, dengan menghancurkan PKI yang menjadi sekutu paling loyal Bung Karno dalam melawan imperialisme, maka pemerintahan Soekarno kehilangan kaki “penyangganya”.

Bukankah “Gerakan 30 September” telah menjadi alasan yang cukup kuat, dan sangat ditunggu-tunggu oleh kekuatan kanan saat itu, untuk mengobarkan kampanye anti-komunis dan mencari segala macam cara untuk melibatkan Soekarno dalam kasus tersebut, sebagai jalan untuk mengakhiri “pemerintahan anti-imperialis” ini.

Bukankah fakta menunjukkan, bahwa, meskipun Soekarno tidak cukup bukti untuk dilibatkan dalam “G.30.S”, tetapi sayap kanan yang dikomandoi Soeharto terus mencari usaha untuk menjerat “proklamator bangsa ini”, hingga mengasingkannya pada suatu tempat dan membiarkannya mati perlahan di sana.

Pertanyaan-pertanyaan itu perlu dijawab!

Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid