Ketika Sukarno Terinspirasi Lirik Lagu WR Supratman

Di penghujung 1930, sejumlah organisasi pemuda—Jong Java, Pemoeda Soematra, Pemoeda Indonesia, Jong Celebes, dll— menggelar Kongres Persatuan di Solo, Jawa Tengah.

Tepat tanggal 31 Desember malam, sekitar pukul 00.00, seluruh delegasi menyepakati penyatuan ke dalam organisasi baru: Indonesia Moeda. Di malam penuh khidmat dan suka cita itu, lagu Indonesia Raya dikumandangkan.

Wage Rudolf Supratman hadir di Kongres itu. Semangatnya turut terbakar tatkala Piagam pendirian Indonesia Moeda dibacakan, disusul pengibaran panji-panji dan tabuhan gamelan. Dadanya makin terbakar tatkala lagu ciptannya, Indonesia Raya, berkumandang.

Kejadian itu benar-benar menggerakkan Wage. Tak lama setelah kelahiran Indonesia Moeda, dia menciptakan lagu berjudul Di Timoer Matahari. Lagu ini dipersembahkan khusus untuk menyambut kelahiran Indonesia Moeda.

Lagu ini sangat sederhana, hanya satu kuplet. Iramanya dibuat dalam tempo andante; tidak terlalu pelan, tidak terlalu cepat. Tetapi syairnya sangat bergelora.

Di Timoer Matahari

Di timoer matahari, moelai bertjahja.

Bangoen dan berdiri, kawan semoea.

Marilah mengatoer, barisan kita.

Pemoeda-pemoedi Indonesia.

Lagu-lagu Wage punya daya-gugah yang luar biasa. Banyak pejuang muda yang makin tersulut api semangat juangnya oleh lagu-lagu karya komponis kelahiran 19 Maret 1903 ini. Sebaliknya, bagi kolonialis Belanda, lagu-lagu Wage adalah hasutan yang berbahaya.

Sukarno adalah salah satu tokoh pergerakan kemerdekaan yang terinspirasi oleh lagu-lagu Wage. Saking terinspirasinya, pada tahun 1933, ketika menulis risalah Mencapai Indonesia Merdeka, Sukarno menyelipkan beberapa bait lagu karya Wage.

Pada sub-judul yang ketiga artikel itu, Sukarno mengambil sebait lirik lagu Indonesia Raya:

Indonesia, tanah jang moelya,

Tanah kita jang kaja;

Di sanalah kita berada,

Untoek selama-lamanya

Pada bagian ini, Sukarno menjelaskan perihal nasib rakyat yang semakin melarat dan nelangsa akibat kolonialisme. Untuk menggambarkan kesengsaraan rakyat kala itu, Sukarno menggunakan istilah “hidup dengan sebenggol sehari”.

Kemudian, pada sub-judul yang keempat, Sukarno mengambil sebait lirik lagu Di Timoer Matahari.

Di timoer matahari, moelai bertjahaja.

Bangoen dan berdiri, kawan semoea,

Pada bagian ini, Sukarno menebalkan optimisme akan bangkitnya pergerakan kemerdekaan. Ia yakin, seiring dengan menguatnya kesengsaraan dan ketertindasan, akan muncul kesadaran tentang betapa jahatnya kolonialisme.

“Tiap-tiap makhluk, tiap-tiap umat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnya berbangkit, pasti akhirnya bangun, pasti akhirnya menggerakkan tenaganya, jikalau ia sudah terlalu-lalu sekali merasakan celakanya diri yang teraniaya oleh sesuatu daya yang angkara-murka,” tulisnya.

Kalau rakyat sudah bangkit, kata Sukarno, lalu diberi pengetahuan kesadaran politik akan tujuan perjuangan, maka di situlah “fajar akan menyingsing”.

“Sambutlah fajar itu dengan kesadaran, dan kamu akan segera melihat matahari terbit,” kata Sukarno, yang terinspirasi oleh lirik Di Timoer Matahari.

Boleh dikatakan, Mencapai Indonesia Merdeka, merupakan salah satu masterpiece Sukarno. Ini adalah kitab politik yang kaya analisa, data, dan tawaran strategi-taktik perjuangan.

Begitulah Sukarno, seorang pejuang politik, terinspirasi oleh seorang Seniman bernama Wage Rudolf Supratman.

Mahesa Danu

Keterangan foto ilustrasi: foto ilustrasi diambil dari film Wage (2017) yang berkisah tentang kepahlawanan Wage Rudolf Supratman

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid