Ketika AS Dijajah Korea Utara

Red Dawn (2012)

Sutradara: Dan Bradley
Penulis: Carl Ellsworth dan Jeremy Passmore
Tahun produksi: 2012
Durasi: 1 jam 33 menit
Pemain: Chris Hemsworth (Jed Eckert), Josh Peck (Matt Eckert), Adrianne Palicki (Toni), Josh Hutcherson (Robert), Connor Cruise (Daryl Jenkins), Isabel Lucas (Erica Martin), Edwin Hodge (Danny), Alyssa Diaz (Julie), Julian Alcaraz (Greg), dan Will Yun Lee (Kapten Cho).

Film ini memang terlalu mengada-ada. Amerika Serikat, negeri superpower itu, tiba-tiba dicaplok oleh Korea Utara di siang bolong. Dan, dalam sekejap, kota-kota AS dipenuhi propaganda komunisme.

Sayang, itu tidak terjadi di dunia nyata. Namun, sutradara AS Dan Bradley berusaha membuat itu seakan nyata melalui film terbarunya: Red Dawn. Ini merupakan film daur ulang dari film dengan judul sama, Red Dawn, yang diproduksi di tahun 1984.

Jalan ceritanya pun hampir sama. Di film Red Dawn (1984) diceritakan tentang aksi kepahlawanan anak-anak SMU, yang menyebut dirinya “Wolverines”, melawan invasi Uni Soviet, Kuba, dan Sandinista. Saat itu, Red Dawn menjadi alat propaganda sayap kanan untuk mengobarkan semangat anti-komunisme di AS.

Di film Red Dawn (2012), musuhnya adalah Korea Utara—tetap komunisme. Pada saat Korut menyerang, Jed Eckert (Chris Hemsworth), seorang marinir yang sedang cuti, masih tertidur pulas. Begitu ia keluar rumah, pasukan penerjung payung Korut sudah memenuhi angkasa.

Jed Eckert bersama adiknya, Matty (Josh Peck), berhasil kabur. Bersama mereka ikut sejumlah pelajar SMU. Menyadari negerinya sedang dijajah bangsa asing, juga keluarganya yang terbunuh, Jed Eckert mengorganisir anak-anak SMU itu menjadi pasukan gerilya. Mereka memakai nama julukan sekolah mereka: Wolverines.

Perang gerilya pun dimulai. Tak disangka, serangan kecil-kecilan itu membuat pusing perwira Korut, Kapten Cho (Michael Beach). Untuk membangkitkan perlawanan, Wolverines membuat radio bawah tanah bernama Radio Pembebasan Amerika.

Konon, ketika film ini baru mau digarap, musuhnya adalah China. Namun, karena tiba-tiba diprotes oleh pemuda China, yang segera membentuk Liga Anti Red Dawn, sang sutradara Dan Bradley langsung beralih ke musuh yang dianggap lemah: Korut. Lagipula, kalau mereka tetap ngotot, mereka berpotensi kehilangan pangsa pasar besar di China.

Namun, bagaimanapun, film ini memang terlalu mengada-ada. Pertama, menggambarkan AS sebagai negara terjajah. Dan, penjajahnya adalah sebuah negara kecil, Korea Utara, yang luasnya tak melebihi negara bagian Montana. Padahal, di dunia nyata, AS justru merupakan imperialis nomor satu yang bernafsu menjadikan seluruh negara Asia, Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah, Balkan, dan lain-lain, sebagai jajahannya.

Kedua, film ini dibuka dengan sejumlah gambar dan narasi dari dunia nyata: krisis kapitalisme yang menghajar AS dan Eropa, keterlibatan pasukan AS di timur tengah, Asia Selatan, dan Semenanjung Korea, dan kekhawatiran AS atas meningkatnya ancaman militer Korut.

Dengan mengambil pembuka seperti itu, Red Dawn seakan ingin menegskan bahwa ancaman itu juga sangat nyata. Saya berkesimpulan, film ini punya motif politik yang sangat jelas: membangkitkan patriotisme dan dukungan rakyat AS terhadap kebijakan imperialistis AS saat ini. Ironisnya, AS masih menggunakan propaganda anti-komunisme sebagai menu utama proyek imperialistisnya.

Ketiga, film ini sangat manipulatif dan seakan ingin mengubur fakta historis terkait kejahatan AS di Semenanjung Korea. Kalau mau jujur, AS lah yang bertanggung-jawab atas pemisahan dua Korea saat ini (Korea Utara dan Korea Selatan). Militer AS juga terlibat langsung dalam memerangi rakyat Korea, yang menyebabkan jutaan orang tewas.

Keempat, film ini sangat berbau rasialis. Misalnya, digambarkan sang Walikota, Jenkin (Michael Beach), yang keturunan Afrika, sebagai kolaborator dari tentara pendudukan Korut. Sebaliknya, digambarkan seorang polisi kulit putih, Tom Eckert (Cullen), memilih ditembak di kepala ketimbang menjadi kolaborator.

Kelima, di dalam film ini diperlihatkan, ketika Korut sudah menguasai kota-kota AS, poster berbau propaganda komunisme tersebar di seantero kota. Uniknya, dari sekian banyak propaganda itu, sebagian besar justru mirip dengan tuntutan dari gerakan sosial di AS. Misalnya, propaganda via microphone oleh Korut: “Kami memperjuangkan dunia yang lebih baik”; “Kalian korban dari budaya Amerika yang penuh keserakahan”; “Kalian korban pemerintaha korup”; “Kalian terlena dalam Tirani Wall Street”; dan “Kita harus membangkitkan kesadaran politik rakyat”. Selain itu, di poster-poster propaganda Korut yang tersebar di seluruh kota tertulis, antara lain, “Perbaiki ekonomimu” dan “Lawan pemerintahan korup”.

Menurut saya, pencaplokan isu atau tuntutan politik dari gerakan sosial ke propaganda korut itu punya misi politik yang jelas: membungkam gerakan sosial di dalam negeri AS dengan menyamakannya dengan gerakan komunis.

Keenam, banyak yang tidak masuk akal dalam film ini, yang membuat film ini menjadi “film propaganda” murahan. Misalnya, sekelompok anak muda yang tiba-tiba menjadi bertransformasi menjadi pejuang gerilya dalam sekejap. Juga pasukan gerilya yang bisa menyelinap ke kota dengan bebas dan melancarkan serangan. Yang tak kalah tak masuk akalnya: pasukan Korea begitu gampangnya menaklukkan AS, tetapi juga sangat gampang diporak-porandakan oleh sekelompok anak muda.

Namun, mau apa, itulah Amerika. Banyak yang beranggapan, ide film ini sangatlah absurd. Namun, kita harus mengingat, bukankah imperialisme AS justru hidup dari segala yang absurd.

Timur Subangun

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid