Keluaran Universitas Kita

Apa ukuran berhasil seorang lulusan Universitas? Banyak orang, khususnya orang tua, akan menjadikan “pekerjaan” sebagai ukuran paling sahih. Seorang sarjana, sebagus apapun jurusan anda, jika tidak punya pekerjaan yang bagus pula, maka anda masih akan dianggap gagal. Itulah cara pandang umum di masyarakat kita.

Sarjana menganggur memang cukup memprihatinkan. Menurut data yang tidak resmi, sekitar 60 persen keluaran perguruan tinggi berstatus pengangguran. Sementara data lain mencatat bahwa 2,6 juta sarjana menganggur.

Dalam pasar tenaga kerja, pengusaha akan melihat kemampuan apa yang bisa ditawarkan oleh seorang lulusan Universitas: apa keahlian mereka, bagaimana pengalaman kerjanya, dan apa kemampuannya yang lain. Artinya, seorang lulusan perguruan tinggi harus tahu apa yang hendak dijual.

Sekarang ini, para pencari kerja (manusia) dan keterampilannya dihitung sebagai “produk dan jasa”. Artinya, lulusan Universitas hanya dipandang sebagai input dari dunia industri yang nilainya berkurang atau meningkat tergantung dari produk (keahlian) apa yang bisa dijual.

Lantas, bagaimana dengan sarjana yang tidak terserap? Mereka harus menerima takdir untuk menerima bidang pekerjaan yang tidak sesuai dengan studi mereka dan harus menerima standar gaji lebih rendah (tenaga kerja murah). Situasi ini makin diakselerasi dengan krisis ekonomi dan menipisnya lapangan pekerjaan. Keluaran universitas, yang selama studi mengeluarkan banyak biaya dan mungkin berutang, terpaksa menerima bidang pekerjaan apapun di hadapan mereka. Asalkan bisa mendapatkan upah dalam waktu singkat dan membayar utang studi mereka (orang tua atau pihak lain).

Krisis keluaran Universitas juga tampak menonjol pada krisis kepemimpinan sosial politik dan ketiadaan intelektual kritis. Dahulu, Universitas dikenal sebagai pabrik untuk melahirkan intelektual kritis dan figure-figur pemimpin politik. Sekarang, mayoritas pemimpin politik atau tokoh-tokoh politik tidak memiliki basis pengetahuan politik yang terkoneksi langsung dengan sejarah pemikiran mereka di Universitas. Kebanyakan pemimpin politik saat ini adalah “figur politik dadakan”.

Penyebabnya, dunia universitas bukan lagi tempat sirkulasi pemikiran-pemikiran dan perbenturan gagasan-gagasan ilmiah. Yang terjadi adalah “proses pendisiplinan”, dimana orang dibimbing untuk masuk ruang-ruang kuliah: mendengar, mengerjakan tugas-tugas kecil, dan mengikuti ujian. Orang kuliah agar sekedar punya skill yang bisa ditawarkan dalam pasar tenaga kerja kapitalisme.

Kurikulum pendidikan juga diformat sekedar untuk melayani ‘permintaan’ pasar tenaga kerja. Ilmu-ilmu yang berguna untuk pembangunan sebuah bangsa, seperti teori-teori politik, sosial, dan budaya, secara perlahan dihapus atau dikurangi. Yang paling diperbanyak adalah ilmu-ilmu terapan: akutansi, manajemen, informatika, komunikasi, teknik, dan lain-lain.

Dinamika di pasar tenaga kerja, khususnya soal penilaian soal skill, juga menciptakan polarisasi, atau lebih cocok disebut “ketimpangan”, di Universitas kita. Ada yang disebut universitas bergengsi dan favorit, sedangkan lainnya dianggap sekedar agar ada “ijazah” untuk melamar pekerjaan. Universitas bergengsi, yang biasanya punya koneksi khusus dengan kelompok bisnis, menawarkan biaya kuliah yang lebih mahal tetapi dengan jaminan bahwa “lulusannya akan langsung mendapat pekerjaan”.

Inilah situasi pendidikan di Universitas kita yang makin terjangkiti oleh neoliberalisme. Keadaan itu sangat bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional kita: mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai prasyarat menuju masyarakat adil dan makmur.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid