Kebohongan Subsidi BBM

Tunjukkan Subsidi BBM Sama Dengan Uang Keluar!” 

(Bisnis, 6/12)

Selama bertahun-tahun pertanyaan mantan Menteri Ekonomi Kwik Kian Gie diatas belum pernah diklarifikasi pemerintah.

Kebohongan subsidi BBM ini wajib dijawab. Sebab dari perbaikan harga ini kita dapat menutup praktek mafia migas dan juga memperbaiki tata-kelola migas nasional yang sudah salah arah.

Biang Keladi Harga Pasar

Kebohongan Subsidi BBM ini berakar dari pemberlakukan mekanisme “harga pasar” atau lebih dikenal dengan istilah harga ke-ekonomian yang artinya penetapan harga migas dalam negeri harus disesuaikan dengan harga pasar global (international crude price/ICP).

Kebijakan harga pasar inilah yang diadopsi pemerintah. Dipasal 28 UU No 22/2001 tentang Migas disebutkan bahwa pengelolaan dan niaga migas diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar. Ini diperkuat dengan Perpu No. 36 Thn 2004 tentang ‘Harga Eceran Migas’.

Harga subsidi seperti Premium misalnya kemudian ditetapkan dengan rumus mekanisme harga pasar: S=(MOPS*Er/158.9+Alpha-Pb/(1+tn+tb))*Qb/1000.000-(1) (DEPKUE). Standar perhitungan harga solar dan minyak tanah berlaku juga dengan rumus yang hampir sama kecuali harga gas dengan standar pasar Cp Aramko.

Berikut adalah keterangan rumusnya: MOPS adalah harga patokan (US$/barel), Er/Kurs Rupiah (Rp 9000/$US), Alpha/biaya distribusi dan margin usaha (Rp 641 perliter), Pb/harga BBM Bersubsidi (Rp 4.500 perliter), tn/pajak pertambahan nilai (10%), tb/pajak bahan bakar (5%), Qb/kuota konsumsi BBM Bersubsidi (24,411 kiloliter).

Seluruh komponen biaya BBM bersubsidi yang telah dirumuskan tersebut bersifat baku, kecuali harga pasar MOPS (Mean of Platts Singapore). MOPS ini menjadi patokan harga jual. Dengan standar inilah kebohongan diilmiahkan dan diselipkan kedalam logika publik.

Jadi harga jual migas yang ditetapkan pemerintah bukan dibawah harga produksi melainkan sesuai harga pasar. Ini artinya pemerintah tidak pernah menjual BBM bersubsidi tetapi BBM Komersil.

Sialnya, dengan penggunaan rumus perbandingan harga pasar maka publik dipaksa untuk menelan banyak kebohongan, publik jadi percaya BBM Bersubsidi itu ada, percaya kenaikan BBM itu wajar, dan percaya jika anggaran fiskal terbebani oleh subsidi  BBM.

Disini pengertian subsidi juga turut berubah. Subsidi bukan lagi selisih harga pokok (real) dengan harga jual yang harus ditanggung pemerintah, melainkan selisih harga pasar global dengan harga jual dalam negeri atau bisa disebut sebagai tanggungan “harga fiktif”.

Standar Harga Produksi

Dengan rumus harga pasar maka perhitungan Subsidi BBM jadi membengkak karena diasumsikan keseluruhan minyak impor (+600.000 barel per hari) yang dikonsumsi rakyat Indonesia disubsidi (Atas Nama Rakyat, Perlukah BBM Dinaikkan—Indonesia Lawers Club, 21/3/2012).

Tahun 2014 subsidi BBM dipatok dengan harga US$ 105 per barel. Kurs US$ 1 = Rp 9.000. 1 barel = 159 liter. Bila disamakan perhitungannya (105 x 9000/159) = Rp 6.000 per liter. Maka selama satu tahun pemerintah menganggarkan (600.000 x 365 x 159 ) = 34.8 miliar liter x 6000=  Rp 208.9 Trilyun + (Alpa per liter) Rp 25 Trilyun + pajak 15% maka dibulatkan=Rp.240 Trilyun.

Salah satu pengamat ekonomi-politik dari Universitas Gajah Mada (UGM), Ichsanudin Noorsy, mempertanyakan keanehan perhitungan harga impor misalnya Preimum RON 88 yang dihitung sama dengan harga pasar Pertamax RON 92? Padahal harga produksi Premium RON 88 jauh lebih murah.

Dengan menggunakan rumus harga produksi maka tersingkap fakta kebohongan yang disembunyikan pemerintah: (1) Pertamina memproduksi sendiri. Bila biaya produksi untuk menghasilkan minyak jadi siap jual di SPBU (lifting, refining dan transportasi) sebesar US$ 10 per barel dengan kurs Rp. 12.000, maka biaya produksi perliternya Rp.754 per liter.

Dengan asumsi ini, ketika Pertamina menjual harga minyak eceran Premium misalnya dengan harga Rp. 6000 per liter maka ada keuntungan sebesar (6.000-754) = Rp. 5.246 per liter. Bisnis minyak inilah yang tak pernah disingkap.

Di APBN 2012, tercatat pos pemasukan PPh Migas sebesar Rp.67,92 Trilyun dan Pendapatan Migas Rp.198,48 Trilyun (Total Rp.310 Trilyun). Bila dibandingkan dengan Subsidi BBM saat ini yang mencapai Rp. 240 Trilyun maka pemerintah masih mendapat kelebihan Rp.70 Trilyun.

Keuntungan ini diperoleh karena Pertamina memproduksi minyak sendiri 890 ribu barel per hari dan setelah dipotong cost recovery (bagi hasil) diperoleh +600 ribu barel per hari.

(2) Impor minyak. Berapa besarnya keuntungan dari minyak impor yang dipat-gulipat mafia migas—plus SKK/BP Migas—hampir tidak ada yang tahu.

Bahkan jika pun digunakan perhitungan paling pahit ala Pemerintah dengan asumsi harga tertinggi minyak dunia US$ 120 per barel, kurs nilai tukar tertinggi US$ 1 = Rp 12.000 maka harga per liternya (120×12.000/159)—minus pajak 15%–hanya Rp 9.056 per liter.

Sekilas asumsi kenaikan harga tampak benar. Tapi jika kita merata-ratakan pengadaan BBM Bersubsidi sebanyak 46 juta barel per tahun (asumsi impor) atau setara 7,3 miliar liter, maka dana yang dikeluarkan buat subsidi hanya (9.056+754×7,3 miliar) + Rp.71,6 Trilyun per tahun.

Sayangnya Pemerintahan Jokowi-JK bukannya membongkar kebohongan ini tapi berdiri membela kebohongan harga pasar dengan alasan yang itu-itu lagi untuk menaikkkan harga BBM: Beban fiskal.

Mencari Harga Ideal

Salah satu group ekonom yang membisikkan doktrin harga pasar adalah CSIS (Centre for Strategic and International Studies). Dalam paper ‘Penyesuaian Subsidi BBM: Pilihan Rasional Penyelamatan Ekonomi, Mei 2011’, mereka mengarahkan pemerintah mengkomoditikan BBM.

Promotor liberalisasi migas lainnya adalah lembaga kaki-tangan Amerika Serikat: USAID  (Strategic Objective Grant Agreement/SOGA). Selain itu ada Lembaga Keuangan Dunia/IMF (Memorandum of Economic and Financial Policies-MEFP).

Penggunaan ‘harga pasar’ merupakan pintu masuk negara maju untuk memonopoli cadangan migas nasional yang mencapai 50 miliar barel atau terbesar ke-29 dunia, gas (160 TSCF (triliun standard cubic feet) terbesar ke-11 dunia, dan batubara (126 miliar ton) terbesar ke-15 dunia.

Singapura, negara mini yang tidak memiliki kekayaan migas jadi penentu harga? Singapura berkepentingan menguasai 15 juta barel minyak perhari yang melewati Selat Malaka. Bersama Australia, New Zeland, Malaysia dan tentunya Amerika Serikat membuat Pakta ANZUS untuk menguasai jalur perdagangan minyak sampai ke Laut Cina Selatan.

Negara itulah yang menikmati kenaikan harga minyak, khususnya Petrodollar Amerika Serikat. Sejak tahun 1975 anggota OPEC dipaksa untuk menjual minyak mereka dalam bentuk dolar AS, dan kemudian mengikuti standar minyak AS/NYEMX (The End of Dollar Hegemony, Ron Paul).

Lihat misalnya Pasal 7 (ayat 6 a) UU No. 4 Thn 2012 tentang APBN-2012, harga subsidi BBM berkiblat pada harga pasar NYMEX? Padahal, harga pasar hanya menguntungkan perusahaan migas asing dalam negeri yang telah menguasai 92% hulu migas nasional (BP Migas 2012).

Resep IMF sudah waktunya dibuang ke keranjang sampah. Selain Venezuela, Negeria dan Iran, China adalah contoh menarik dalam penentuan harga migas yang murah, menguntungkan dan berdaulat.

Sejak 2011, China mempromosikan 12 Rencana Lima Tahun (2011-2012). China memangkas subsidi minyaknya dan menjualnya diatas harga produksi. Harga minyak di China 245 yuan per ton setara dengan Rp 484.120 per ton, atau sebesar + Rp.484 per liter, (Xinhua, 10/14).

Harga minyak di China berubah setiap 10 hari kerja jika harga minyak dunia naik menembus 50 yuan per ton dengan besaran kenaikan 4%. Meskipun harga minyak China mengikuti fluktuasi harga minyak dunia namun mereka tidak tunduk pada mekanisme harga pasar NYMEX.

Pendeknya, China mencari untung dari penjualan minyak dengan cara menjual diatas harga produksi. Pemerintah Indonesia boleh saja mencari untung tetapi dibatasi, tidak boleh lebih dari 10% diatas harga produksi. Dengan membuang harga MOPS dan menggantikannya dengan Harga Produksi (HP) maka diperoleh harga ideal seperti Premium hanya: Rp 1.700 per liter.

Dengan harga tersebut pemerintah sudah untung besar dari pajak 15% dan 10% keuntungan. Harga subsidi Rp 0 (nol). Fiskal tidak terbebani. Harganya bisa lebih murah tapi keuntungannya untuk pemenuhan jaminan sosial rakyat baik pendidikan, kesehatan dan perumahan.

Untuk mengatasi impor maka pemerintah harus menaikkan Domestik Market Obligation  (DMO) dari 25% menjadi 50%. Perusahaan asing harus dipaksa menyetorkan pasar migasnya kepada Pertamina. Dalam jangka pendek bisa juga dengan menurunkan kadar oktan minyak bersubsidi menjadi RON 80. Dengan begitu biaya produksi minyak impor akan murah.

Karena itulah pekerjaan pertama Kepala Negara Jokowi bukan lawatan keluar negeri melainkan ‘mikir’  merumuskan pengganti UU No.22 Thn 2001 tentang Migas.

UU No.22 Thn 2001 tentang Migas ini senafas dengan UU Kolonial Belanda, Indische Mijnwet 1918, yang membuat penguasaan migas berpindah ke tampuk asing. UU ini bertentangan dengan konstitusi: Pasal 33 UUD 1945, yang menghendaki monopoli negara.

Jokowi-JK harus bercermin pada ‘Tokyo Agreement’, bagaimana Soekarno menekuk perusahaan minyak raksasa seperti Stanvac, Caltex, dan Shell, dan membikin mereka tunduk pada UU No. 44 Thn 1960.

Dalam UU No. 44 Thn 1960, pembagian keuntungan 60% untuk Indonesia dan 40% untuk asing; mewajibkan pemenuhan kebutuhan migas domestic sebanyak 53%. Dengan Undang-undang ini maka masalah dihulu dan hilir migas dapat diselesaikan baik cost recovery, infrastruktur kilang, riset dan eksplorasi, distribusi, dan sebagainya.

Selain itu, perlu diterapkan centralisasi devisa migas’ agar dana-dana hasil produksi dan transaksi migas seluruh perusahaan asing/swasta yang beroperasi di dalam negeri diwajibkan untuk memarkir dananya ke bank nasional.

Dengan centralisasi devisa migas maka ada ribuan trilyun uang segar yang bisa digunakan pemerintah Indonesia untuk mendanai kredit pertanian, pembangunan infrastruktur, kelautan, dan sebagainya. Jokowi tidak perlu mengemis-ngemis kepada negara asing, bikin malu bangsa Indonesia saja. Terimakasih.

Fatmawati, Mahasiswi yang tinggal di Bengkulu.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid