“Oleh karena tanah faktor produksi yang utama, maka hendaknya peraturan soal tanah memperkuat kedudukan tanah sebagai sumber kemakmuran bagi rakyat umumnya.” (Bung Hatta)
Penggalan pidato founding father Bung Hatta di atas, yang diucapkan pada tahun 1948, perlu dikaji kembali realisasinya saat ini. Sebab, sejarah Indonesia sebagai negeri agraris telah mencatat bahwa era Pemerintahan Orde Baru adalah sumber malapetaka sengketa pertanahan yang terus meletus di seantero jagat Nusantara, terutama sejak diterbitkannya berbagai regulasi kontraversial seperti UU Penanaman Modal Asing Th.1967—menegasikan UUPA No.5 Th.1960 yang sangat kerakyatan—dan semakin diperburuk oleh tumpang tindihnya berbagai regulasi di era Reformasi saat ini seperti UU Pengadaan Tanah, dan lain sebagainya.
Hampir semua konflik agraria yang muncul ke permukaan sejak menjelang reformasi hingga kini memiliki akar historis yang nyaris seragam, yakni terjadi di kisaran tahun 1970 sampai 1990-an dengan persoalan perampasan dan penguasaan tanah rakyat oleh perusahaan perkebunan yang dibekingi oleh kekuatan aparatur pemerintahan beserta militer. Rangkaian konflik ini terkesan menjelma sebagai kisah duka tak berujung, yang seperti sengaja diciptakan namun tak pernah mau diselesaikan, dalam istilah Noer Fauzi (2003) disebut konflik tenurial.
Seperti pada kasus yang dialami 475 KK masyarakat dari 3 Kampung di Lampung Tengah, yakni Padang Ratu, Sendang Ayu dan Surabaya. Mereka sudah berminggu-minggu melakukan aksi ‘pendudukan’ dengan membangun tenda seadanya di pinggir jalan raya sekitaran Kantor BPN RI Wilayah Lampung. Ratusan petani ini bertekad tak akan pulang ke kampung halaman sebelum ada kejelasan sikap dari BPN RI pusat terkait status kepemilikan tanah mereka (eks HGU PT SBL) dan menuntut dikembalikan sebagai objek land reform oleh Negara.
Konfliknya bermula tahun 1970 saat seorang berkebangsaan Jepang bernama Gotto dan Okio, di bawah bendera PT Sahang Bandar Lampung, dengan dibantu aparat pemerintahan, telah menyewa paksa lahan masyarakat 3 kampung itu selama 25 tahun. Tanah itu mereka sewa dengan harga Rp. 2.500,-/Ha2 dan diperuntukkan untuk menanam rempah. Namun, pada tahun 1976, masyarakat mulai terusir dari tanahnya sendiri setelah PT SBL beralih kepemilikan kepada Winarta Halim, yang kemudian, pada 29 November 1984, telah menguasai tanah tersebut tanpa persetujuan masyarakat pemilik lahan.
Benang kusutnya pun berlanjut setelah PT SBL kembali menjual lahan tersebut ke PT Lambang Sawit Perkasa pada 12 Juni 2008 untuk menanam sawit meski tanpa HGU dan IUP. Tanah seluas 195,8228 Ha2 dipakai oleh mereka, lalu 66,5279 Ha2 di jual ke perorangan dan terbagi kepada 6 orang berbeda, dan PT SBL sendiri menguasai sekitar 23,6430 Ha2.
Saat ini perjuangan panjang kaum tani untuk merebut kembali hak atas tanah yang sudah puluhan tahun dirampas itu masih perlu beberapa langkah maju lagi untuk mencapai kemenangan penuh agar sanak keluarga yang sudah menunggu selama beberapa generasi itu mampu kembali menghidupi dirinya dari corak produksi agraris sebagaimana yang diimpikan.
Melalui metode perjuangan yang cukup terorganisir, petani sudah mengantongi beberapa kemenangan kecil, diantaranya: Surat BPN RI No.4031/25.2.600/X/2011 tentang berakhirnya HGU PT. SBL sejak 31 Desember 2008 dan tidak akan diperpanjang hingga status tanah langsung dikuasai Negara. Lalu, ada Surat Keputusan Pemkab Lamteng No. 44/KPTS/D.5/2012 tentang pencabutan Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B) No. 522/01/D.4/BU/2009 milik PT SBL dan melarang berlangsungnya aktifitas perkebunan—keputusan ini dikuatkan oleh putusan pengadilan PTUN. Kemudian Surat Bupati Lampung Tengah kepada Kepala BPN RI pusat No. 590/0173.B/03/2012 tentang keberadaan tanah eks HGU PT SBL sebagai tanah terlantar dengan runtutan historis terlampir dan agar konfliknya dapat diselesaikan melalui reforma agraria.
Saat ini, petani hanya menunggu keputusan akhir di tangan BPN RI. Petani berharap agar BPN punya komitmen sebagai lembaga Negara yang bervisi mulia yakni mewujudkan tanah dan pertanahan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanat pasal 33 UUD 1945. Meskipun, sampai saat ini BPN Wilayah Lampung sendiri masih harus menanggung tumpukan kasus konflik agraria, termasuk kasus mesuji (Lampost, 5/4).
Maka teranglah aksi demonstrasi ‘pendudukan’ oleh ratusan petani tak bertanah ini merupakan bentuk ujian atas komitmen keberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya. Tinggal, bagaimana BPN RI dan berbagai instansi pemerintahan yang terkait dalam menjawabnya tuntutan rakyat. Apalagi, ini merupakan amanat UUPA no.5 Th 1960 tentang Land Reform; ataukah. mereka lebih memilih mengikuti sikap pendahulunya di Era Orde Baru yang lebih nyaman terbujuk tunduk pada kuasa modal. Semuanya masih harus di uji.
SADDAM CAHYO, Sekretaris Eksekutif Wilayah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Lampung dan Mahasiswa Jurusan Sosiologi ISI Universitas Lampung (Unila)
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid