Kartini Dan Kereta Api

Bagaimana sejarah kemunculan kereta api di Hindia Belanda?

Rudolf Mrazek, professor sejarah dari University of Michigan, mengulas hal itu dalam bukunya, Engineers of Happy Land. Ia juga mengulas respon Kartini, perempuan tercerahkan jaman itu, terhadap berbagai kemajuan jaman itu, termasuk kemunculan kereta api.

Tahun 1840, ketika orang belum mengenal kereta, orang-orang Belanda bermimpi bisa menggunakan unta sebagai sarana angkutan. Akhirnya, Chretien Baud, seorang menteri jajahan Belanda saat itu, memesan 40 unta untuk didatangkan ke Jawa.

Apa yang terjadi? Pramoeya Ananta Toer menceritakan nasib unta-unta itu dalam bukunya, Anak Semua Bangsa. Pram menceritakan, “Dua minggu mengangkuti beras semua hewan itu tak ada lagi yang mampu berdiri. Di kandang dan di pinggir jalan.”

Gagal dengan proyek pertamanya, Baud tak patah arang. Ia kembali memesan 200-an keledai ke tanah Jawa. Hanya dalam beberapa bulan, kata Pram, hewan-hewan itu tumpas semua. Setelah itu, muncul larangan menyembelih kerbau. Alasannya, kerbau juga dapat digunakan untuk membantu pengangkutan di pelabuhan.

Dua tahun kemudian, sebuah majalah bernama “Kopiist” mengumumkan hasil penelitian, bahwa Asia–terutama Jawa—sangat cocok untuk dilalui kereta uap dan gerbong-gerbongnya. Kondisi medan di Hindia Belanda, tulis Kopiist, tidak memberikan halangan serius apapun. Tanahnya datar dan cukup keras. Sungai-sungainya gambang dilintasi dengan jembatan kayu. Sedangkan jurang-jurangnya bisa ditimbun.

Alhasil, berkat laporan Koopist itu, penguasa kolonial pun tergugah. Raja Belanda saat itu, Willem I, mengeluarkan dekrit kereta api pertama untuk Hindia Belanda. “Guna memajukan produk dan benda lain dari Semarang ke Kedoe (Karasidenan Kedu), wilayah Voorstenlanden di Jawa, dan sebaliknya, akan dibangun sebuah jalur kereta api dari besi,” demikian bunyi dekrit tersebut.

Jelas sekali, motif dari proyek kereta api itu adalah menopang perkembangan kapitalisme di Hindia-Belanda, yang sedang membutuhkan alat pengangkut logistik, tenaga kerja, dan hasil produksi dari pedalaman ke pelabuhan-pelabuhan.

Menurut Rudolf Mrazek, butuh 25 tahun untuk merealisasikan perintah dekrit tersebut. Itupun baru jalur kereta sepanjang 25 kilometer. Lalu, sepuluh tahun kemudian baru dibangun lagi 300 kilometer. Kereta api pertama muncul di Semarang tahun 1867—versi Wikipedia. Sedangkan Pram di “Anak Semua Bangsa” menyebut tahun 1862, yang ditandai pergantian nama koran “Semarangsch Nieuws—en Advertentieblad” menjadi “De Locomotief”.

Menurut cerita Rudolf Mrazek, tempat tinggal Kartini, Jepara, sangat jauh dari semua jalan di Hindia Modern, termasuk jalur kereta. “Dari Jepara, orang harus naik kuda atau kereta kuda, melalui jalan tanah, dan sering berlumpur menuju Mojang. Di situ, orang dapat naik trem ke Juwana atau Semarang. Hanya di sana adanya kereta sesungguhnya,” tulis Mrazek.

Kartini sendiri jarang bepergian dengan kereta. Ketika ada tamunya yang berkunjung ke Jepara, ia dan ayahnya hanya bisa menyambut di stasiun. Tapi, menurut cerita Mrazek, Kartini hanya sekali bepergian dengan kereta. Itupun meninggalkan kesan mendalam bagi Kartini, yang memang mencintai segala yang berbau kebaruan dan kemajuan.

“Sekarang, kami terbang dengan sebuah badai di atas jalan besi itu,” tulis Kartini kepada temannya, Ny.R.M. Abendanon-Mandri. “Jangan terbang terlalu cepat di atas jalur-jalur besi yang rata, kamu monster beruap yang bersin-bersin, jangan membiarkan perjumpaan indah itu berakhir dengan begitu cepat..Saya berharap agar perjalanan itu tak akan pernah berakhir…Tetapi, Aduh! Juru apinya tak mendengar aku,” keluh Kartini dalam suratnya.

Namun, seperti diungkapkan Mrazek, ada hal lain yang membuat Kartini begitu jatuh cinta dengan kereta api, yakni dia bisa bertemu banyak orang, bersentuhan dengan mereka, mendengar banyak berita, dan mendengar desas-desus di kereta atau stasiun kereta.

Kartini, yang berasal dari keluarga Aristokrat Jawa, menyadari pentingnya kereta sebagai alat integrasi sosial. Ia menyadari, dengan banyaknya orang yang menggunakan kereta, dari berbagai suku bangsa dan ras, sebuah proses sosialisasi kebudayaan berlangsung.

Kartini juga selalu senang dengan jalan-jalan modern di Hindia-Belanda, yang baru, keras, dan bersih. Bagi Kartini, itulah simbol kemajuan. Dengan jalan yang keras dan bersih, roda-roda kemajuan bisa menggelinding tanpa halangan.

Pernah seorang gadis Jawa tertabrak oleh Trem, kata Mrazek, dan kejadiannya tidak jauh dari Jepara. Kartini segera membuat reportase mengenai kejadian itu melalui sepucuk surat. Ia kemudian menegaskan, bahwa sistem transportasi modern butuh didukung “pertolongan medis pertama”.

Kereta api memang menyimbolkan kemajuan jaman itu. Kemunculan kereta api, dengan kecepatannya, asapnya yang membumbung ke udara, dan juga jeritannya yang meraung-raun, telah membangkitkan kesadaran banyak orang jaman itu tentang datangnya zaman modern. Termasuk di kalangan pribumi yang sudah lama terkungkung oleh feodalisme yang kolot dan kolonialisme yang eksploitatif.

Ira Kusumah

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid