Jejak Trem Di Jakarta

Jakarta terus bergelut dengan masalah transportasi. Maklum, sekalipun penduduknya sangat besar, sampai sekarang ini Jakarta belum punya sistim transportasi massal yang mantap. Akibatnya, warga pun bergantung pada kendaraan pribadi. Sementara bagi klas menengah ke bawah, pilihan paling mungkin adalah kendaraan bermotor.

Belakangan, muncul keinginan pemerintah untuk membangun kembali Trem di Jakarta dan Surabaya. Bagi sejumlah pengamat transportasi, keinginan pemerintah tersebut sangat masuk akal.

Kapasitas angkutnya terbilang tinggi. Kompas mencatat, trem kota dapat mengangkut 80.000 penumpang per jam, monorel 40.000, hard rail transit (seperti kereta api) 140.000, dan bus rapid transit(seperti bus TransJakarta) hanya 25.000 penumpang per jam.

Namun, jika menengok kembali sejarah, trem bukan hal baru bagi Jakarta. Pada tahun 1869, Trem sudah muncul di Jakarta alias Batavia. Generasi pertama disebut Trem berkuda. Maklum, gerbong-gerbongnya ditarik oleh tiga sampai empat ekor kuda.

Meskipun hanya ditarik kuda, tetapi rutetnya cukup panjang. Misalnya, rute Kwitang ke pasar Ikan. Tak pelak lagi, banyak kuda yang sakit atau bahkan meninggal karena kelelahan. Baru berjalan tiga tahun, sudah ada 545 kuda penarik trem yang tewas.

Tak hanya itu, jalanan menjadi kotor akibat kotoran kuda. Alhasil, Trem kuda ini tidak berlangsung lama: hanya 12 tahun.

Kemudian, pada 1881, munculah trem generasi kedua, yakni trem uap. Trem ini memang digerakkan oleh uap. Di bagian depannya terdapat bahan bakar batubara. Konon, trem uap ini mulai beroperasi pukul 06.00 pagi dan berakhir pukul 19.00 malam.

Ongkos trem uap ini variatif sesuai klasnya. Untuk klas I, yang biasanya diperuntukkan untuk kaum dan keturunan eropa, ongkosnya 20 sen. Sedangkan klas ke II, yang diperuntukkan bagi keturunan Arab, Tionghoa, dan bangsawan pribumi, ongkosnya 10 sen. Sedangkan klas ke-III diperuntukkan untuk pribumi biasa. Di klas ke III ini, biasanya tak hanya manusia, tetapi juga ada hewan piaraan si penumpang. Maka muncul istilah “Klas Kambing”.

Jarak tempuh kereta uap juga lebih panjang. Misalnya, rutenya dari Pasar Ikan ke Gajah Mada hingga Harmoni, berlanjut ke Kramat melalui Pasar Baru dan lapangan Banteng, kemudian ke Meester Cornelis (Jatinegara) melewati Salemba dan Matraman.

Trem uap ini sangat bising. Seorang prajurit Belanda pada awal abad ke-20, seperti dikutip sejarahwan Jakarta Alwi Shahab menceritakan, “dari kejauhan terdengar bunyi lonceng trem uap persis seperti di Belanda.” Tak hanya itu, kalau musim hujan, kereta uap sering mogok.

Lalu, pada pada 10 April 1899, muncullah trem generasi ketiga, yakni trem listrik. Namun, kehadiran trem listrik tidak serta merta menghapus keberadaan trem uap. Trem uap baru benar-benar berhenti beroperasi pada tahun 1933.

Trem listrik punya cerita tersendiri bagi warga Jakarta. Seiring dengan lonjakan penduduk Jakarta, trem listrik pun selalu penuh. Bahkan, setelah proklamasi kemerdekaan, trem listrik tetap bertahan sebagai transportasi utama di kota Jakarta.

Trem listrik mengoperasikan lima jalur, seperti Menteng – Kramat – Jakarta Kota. Senen – Gunung Sahari. Menteng – Merdeka Timur – Harmoni. Menteng – Tanah Abang – Harmoni.

Karena harganya murah, rakyat Jakarta sering berebut naik trem. Tarifnya cuma sepicis alias 10 sen. Namun, berbeda dengan Kereta Rel Listrik (KRL) sekarang ini, trem listrik bisa menjangkau seluruh Jakarta.

Sayang, trem listrik hanya bertahan 27 tahun. Pada tahun 1960, ketika Jakarta dipimpin oleh Walikota bernama Sudiro, trem listrik dihapus. Trem listrik dianggap biang kemacetan, terutama di jalur jalan Gaja Mada. Padahal, terkadang pemicu kemacetan adalah oplet yang mogok.

Bung Karno sendiri tidak setuju dengan keberadaan trem listrik itu. Menurutnya, trem listrik kurang cocok untuk kota seperti Jakarta. Ia pun mengusulkan model metro atau kereta api bawah tanah.

Pada kenyataannya, setelah trem listrik dihapus, penggantinya adalah bus, yang dikelola oleh PPD. Sejak itulah Jakarta mulai kehilangan sistim transportasi massal-nya. Sedangkan Metro atau kereta api bawah tanah tidak pernah terwujud di era Bung Karno.

Penyingkiran Trem patut disayangkan. Sebab, dengan daya angkutnya yang cukup besar, trem bisa dikembangkan terus sebagai sistim transportasi massal di kota besar. Termasuk Jakarta. Apalagi, di banyak kota besar di dunia, trem juga masih bertahan sebagai alat transportasi massal. (Mahesa Danu)

Cat: diolah dari berbagai sumber (Kompas, catatan Alwi Shahab, dan Wikipedia)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid