Evo Morales, Aktivis Petani yang Jadi Presiden

Pada tahun 2005, seorang Indian (Aymara) terpilih sebagai Presiden Bolivia. Dia menjadi orang pribumi pertama yang menduduki kursi nomor satu di negeri mayoritas Indian itu.

Dia adalah Evo Morales. Kemenangan Evo di Pemilu tahun 2005 cukup menggemparkan. Betapa tidak, Ia berhasil menyingkirkan Jorge “Tuto” Quiroga, orang kaya yang pernah jadi Presiden Bolivia tahun 2001-2002. Sementara Evo hanya anak keluarga miskin dan pemimpin serikat petani Coca.

Begitu jadi Presiden, nama Evo berkibar ke berbagai penjuru dunia lantaran keberaniannya menasionalisasi sejumlah perusahaan asing yang sudah berabad-abad menghisap kekayaan alam negerinya. Dia juga berdiri tegak dan bersuara lantang menentang proyek imperialisme di Amerika Latin.

Masa Kecil

Evo lahir tanggal 26 Oktober 1959, di komunitas kecil bernama Isallavi, di Orinoca, provinsi Sud Caranas, Departemen Oruro. Ayahnya, Dionisio Morales Choque, hanyalah seorang petani miskin. Sedangkan ibunya bernama Maria Mamani. Kedua orang tuanya sudah mangkat.

Evo lahir di tengah kemiskinan. Tanpa pertolongan dokter, apalagi rumah sakit. Dari 7 bersaudara, hanya Evo dan dua saudaranya—Ester dan Hugo—yang berhasil hidup. “Di Isallavi, kami tinggal di sebuah rumah kecil dengan atap jerami. Sangat kecil. Tidak lebih dari 3-4 meter. Kami menggunakannya sebagai kamar tidur, dapur, ruang makan, dan segala hal,” kenang Evo.

Evo kecil dikenal pekerja keras. Dia rajin membantu ayahnya di pertanian. Dia juga menjadi penggembala Llama (Lama glama), sejenis unta tapi tidak punya bonggol.

Usia 6 tahun, Evo menemani ayah dan kakak perempuannya ke bagian utara Argentina. Di sana mereka bekerja memanen tebu. Evo sendiri sempat jadi penjual es krim. Di sana mereka tinggal 6 bulan, lalu kembali ke kampung halaman.

Evo juga kerap menemani ayahnya ke pasar di Cochabamba. Perjalanan itu ditempuhnya dua minggu dengan berjalan kaki. Dari pengalaman itu, Evo mengenal bagaimana diskriminasi terhadap kaum pribumi. Untuk diketahui, hingga saat itu kaum pribumi dilarang masuk ke kota, sekalipun hanya untuk berbelanja atau jalan-jalan.

Evo kecil juga jatuh cinta pada sepak bola. Ia kerap memainkan olahraga paling populer di Amerika Latin itu ketika sedang menggembala Llama. Bolanya dibuat sendiri dari jerami atau kain yang digulung. Di usia 13 tahun, ia mendirikan klub sepak bola bernama  Fraternidad (Persaudaraan) komunitasnya. Di situ dia menjadi kapten tim, kadang jadi wasit, bahkan jadi manejer tim. Di usia 16, karena kepiawaiannya di lapangan hijau, Evo ditunjuk Direktur teknis untuk seluruh tim sepak bola di wilayahnya.

Menuntut Ilmu

Kendati miskin, Evo tidak ketinggalan dalam soal pendidikan. Meskipun keluarganya dan dia sendiri harus jatuh bangun untuk mencari biaya sekolah. Ketika memasuki SMP, di Unidad Educativa Central Orinoca, ia dan temannya sempat berkunjung ke Palacio Quemado—nama istana Presiden Bolivia—di Ibukota La Paz. Sayang, mimpinya bertemu Presiden tidak kesampaian karena ditolak protokeler istana. Saat itu, karena kecewa, dia bilang, “suatu hari nanti, aku akan jadi Presiden.”

Untuk membiayai pendidikannya, Evo melakukan segala-galanya: menjadi tukang batu, tukang roti, hingga peniup terompet di acara-acara. Dia menjadi peniup terompet di Band Imperial Royal, yang memungkinkan dirinya berkeliling Bolivia. “Satu kenangan terbaikku sebagai peniup terompet adalah kunjungan ke daerah pertambangan di Potosi. Aku masih 16 tahun, masih remaja dan punya banyak cerita,” kenang Evo.

Sayang, Evo gagal menuntaskan pendidikannya. Tahun 1977, dia mengikuti wajib militer. Ia kemudian ditempatkan di markas militer di Ibukota La Paz. Itu adalah masa-masa krisis politik di Bolivia. Dalam dua tahun saja terjadi lima kali pergantian Presiden dan dua kali kudeta militer, yaitu Juan Pereda Asbun (1978) dan David Padilla Arancibia (1978).

Tahun 1978, Evo meninggalkan militer dan kembali ke kampung halamannya sebagai petani. Namun tragis: badai El Niño datang dan menyebabkan 70 persen pertanian hancur dan 50 persen ternak mati seketika. Karena kejadian itu, Evo dan keluarganya memutuskan pindah ke Chepare, Cochabamba. Di sana mereka berladang dan menanam koka.

Sebagai Petani Koka

Tahun 1980-an, harga koka sedang naik. Selain dijadikan sebagai teh dan obat-obatan, masyarakat Indian sejak 6000 tahun yang lampau punya tradisi mengunyah koka.

Daun koka punya zat stimulan untuk mengurangi rasa lapar, haus, sakit, dan lelah. Tidak hanya itu, daun koka juga berguna untuk mengurangi penyakit orang yang tinggal di daerah ketinggian. Namun, di negeri lain, terutama di AS, daun koka disalahgunakan menjadi kokain.

Harga koka yang tinggi memicu banyak orang Bolivia, terutama pribumi, beralih menjadi petani koka. Koka menjadi sumber pendapatan yang dapat diandalkan bagi kaum miskin. Termasuk bagi Evo dan keluarganya.

Selain bertani, Evo juga tetap melanjutkan kegemarannya bermain sepak bola. Karena kerap mencetak gol terbanyak, orang-orang senang berkawan dengannya. Yang menarik, si kulit bundarlah yang mengenalkan Evo dengan organisasi.

Tak lama kemudian, Evo bergabung dengan serikat petani coca—sering disebut cocaleros. Dia ditunjuk sebagai sekretaris urusan olahraga.

Menjadi Aktivis Serikat Petani

Pada tahun 1980an, AS meningkatkan kampanye perang melawan koka. Mereka menekan pemerintah Bolivia untuk membumihanguskan tanaman koka. Sejak itu, pertanian dan perdagangan koka dianggap ilegal. Untuk tujuan itu, AS menggunakan militer lokal untuk membumihanguskan daun koka dan menghajar petani.

Situasi itu berbarengan dengan perubahan politik di Bolivia. Tahun 1980, seorang jenderal kanan, Luis García Meza, mengambilalih kekuasaan melalui kudeta. Tidak hanya memberangus demokrasi, Meza juga sangat loyal pada AS.

Tahun 1981, seorang petani koka di Senda Bayer, Chipiriri, dibunuh dengan sangat kejam oleh tentara Meza. Petani itu disiram bensin dan dibakar hidup-hidup oleh tentara. Evo mendengar kejadian itu. “Itu adalah kejahatan mengerikan. Sejak itu, saya memutuskan untuk berjuang tanpa kenal lelah untuk hak azasi manusia, untuk perdamaian, untuk kedamaian tanah kami, untuk kebebasan menanam koka, untuk sumber daya alam kami, untuk membela kedaulatan nasional kami, untuk martabat dan kemerdekaan rakyat Bolivia,” janji Evo.

Sejak itu Evo aktif di serikat. Dia sempat ditunjuk sebagai sekretaris di serikat lokal. Namun, di tahun 1983, ayahnya meninggal. Gara-gara itu, Evo sempat meninggalkan aktivitasnya di serikat petani koka. Dia banyak bekerja untuk keluarganya.

Tapi itu tidak berlangsung lama. Di tahun 1984, Evo kembali ke serikat. Setahun kemudian, dia mendapat mandat sebagai Sekretaris di serikatnya, San Francisco. Tahun 1988, dia mulai menjabat sebagai sekretaris federasi petani koka. Itu bersama dengan meningkatnya tekanan militer terhadap petani Koka.

Evo makin radikal dan militan. Ia memimpin aksi pendudukan kantor pemerintah, memblokade jalan, mogok makan, pawai, dan aksi jalan kaki, untuk memaksa pemerintah menghentikan pembasmian daun koka. Dalam aksi tersebut, tidak sedikit kawannya sesama petani yang tewas dibunuh oleh militer. Ia sendiri beberapa kali ditangkap dan dipukuli.

Pada tahun 1989, UMOPAR—semacam unit patroli mobil untuk daerah pedesaan—menangkap Evo, lalu menyiksanya dan membuangnya ketika dianggap sudah mati. Beruntung, temannya sesama petani berhasil menyelamatkan nyawanya.

Tahun 1994, untuk menaikkan tekanan tuntutannya, Evo memimpin 3000 petani melakukan aksi long-march sejauh 600 kilometer, dari Cochabamba menuju La Paz. Di tengah jalan mereka diserang oleh militer dan milisi. Tetapi militansi petani tidak surut. Begitu sampai di La Paz, mereka disambut oleh rakyat yang menawari petani dengan minuman, makanan, pakaian dan sepatu. Tuntutan petani diterima oleh pemerintah, tetapi tidak dijalankan.

Teror dan ancaman pembunuhan mengejar Evo. “Saya merasakan saat sulit ketika di Eterazama (1997), ketika helikopter DEA (agen pengendalian obat terlarang AS) memberondong kami peluru dan lima orang mati dalam semenit. Di kantor HAM, di Villa Tunari (2000), ada upaya menembakku dengan peluru, tapi gagal, peluru hanya menyerempet saya,” kenangnya.

Menjadi Anggota Parlemen

Tahun 1989, Evo mulai menyadari perlunya menciptakan alat politik untuk merebut kekuasaan politik. Namun, keingiannya itu baru terwujud di tahun 1995, ketika para petani, penambang, dan masyarakat adat sepakat mendirikan Majelis untuk Kedaulatan Rakyat Banyak (ASP) dan Alat Politik untuk Kedaulatan Rakyat Banyak (IPSP). Atau sering disingkat ASP-IPSP.

ASP-IPSP diciptakan sebagai alat politik, semacam partai, untuk merebut kekuasaan politik lokal dan nasional. Tetapi cita-cita itu menubruk tembok. Pengadilan Pemilu Bolivia (semacam KPU) menolak mengakui ASP-IPSP sebagai partai elektoral.

Tetapi Evo tidak mati langkah. Ia kemudian membuat kesepakatan dengan Persatuan Kiri alias Izquierda Unida (IU), sebuah alat politik yang di dalamnya ada Partai Komunis Bolivia (PCB). Di bawah payung IU, anggota ASP-IPSP ikut bertarung di pemilu. Di pemilu lokal tahun 1995, IU merebut 5 walikota dan 49 dewan kota.

Di pemilu nasional tahun 1997, IU membuat gebrakan. Mereka memenangkan 3 kursi parlemen. Salah satunya adalah Evo Morales yang maju dari Chepare. Sungguh menakjubkan, Evo meraih 70,1 persen suara. “Tahun 1997, walaupun sulit dipercaya, saya terpilih sebagai anggota parlemen dengan suara terbanyak di Bolivia,” terangnya.

Dengan menggunakan corong parlemen, Evo bersuara keras menentang pembasmian tanaman koka. Ia juga menolak penggunaan militer untuk merepresi petani koka. Suara kerasnya dari gedung parlemen melambungkan namanya sebagai ‘pejuang petani koka’.

Pendirian MAS

Kendati berhasil menggunakan alat politik lain untuk menjadi anggota parlemen, tetapi cita-cita Evo untuk alat politik sendiri tidak pernah surut. Inilah yang mendasari kelahiran partainya: Gerakan Menuju Sosialisme (MAS).

Ada cerita menarik dan tak terduga dari MAS ini. Untuk diketahui, sistim politik Bolivia sangat menghalangi partai baru untuk berpartisipasi di pemilu. Evo dan serikat petani koka gagal berkali-kali untuk target ini.

MAS ini berasal dari Movimiento al Socialismo – Unzaguista (MAS-U). MAS-U ini adalah sempalan dari partai fasis Bolivia, Falange Socialista Boliviana, disingkat FSB). Unzaguista (U) diambil dari nama pendiri gerakan fasis Bolivia, Óscar Únzaga. MAS-U didirikan tahun 1987 oleh David Añez Pedraza, seorang pengusaha dan bekas militer yang anti-pribumi. Jadi, kendati sudah sempalan, MAS-U tetap partai fasis. MAS-U menggunakan warna biru—warna fasisme.

MAS-U terdaftar sebagai partai legal. Namun, ya, seperti kata pepatah: hidup segan, mati tak mau. Tahun 1998, Evo berhasil membuat kesepakatan dengan David Añez Pedraza untuk mengambilalih nama MAS-U. Keputusan ini sempat ditolak banyak aktivis petani, terutama kiri radikal, karena MAS-U identik dengan gerakan fasisme. Kiri radikal, seperti CSUTCB yang dipimpin oleh Felipe Quispe, meninggalkan IPSP.

Evo tetap bergeming. Jadilah nama IPSP-MAS. Sudah begitu, Anez diangkat sebagai Presiden seumur hidup partai. Sedangkan Evo menjadi Calon Presidennya. Evo menekankan, pengadopsian nama MAS hanyalah kebutuhan formalitas saja agar bisa legal dan berpartisipasi dalam pemilu. Ya, sekedar taktik!

Tetapi pengadopsian nama MAS dengan menghilangkan huruf “U”-nya menimbulkan masalah. KPU Bolivia menolak mengakui MAS. Sebab, pergantian nama harus mendapat persetujuan berbentuk tanda-tangan dari cabang-cabang partai; dalam hal ini, cabang-cabang MAS-U. Bayangkan, untuk memenangkan penghilangan huruf “U” ini, Evo dan kawan-kawan harus melobi cabang-cabang MAS-U yang notabene fasis untuk menyetujui penghilangan huruf “U” tersebut. Dan memang berhasil.

Memenangkan Pemilu

Di pemilu lokal pada Desember 1999, MAS hanya meraup suara 3,2 persen secara nasional. Hasil ini hanya menempatkan MAS diurutan ke-9. Saat itu MAS belum begitu diperhitungkan secara politik.

Di tahun itu, pemerintahan yang dipimpin oleh Hugo Banzer, dan kemudian dilanjutkan oleh  Jorge “Tuto” Quiroga, keduanya dari Partai Aksi Demokratik Nasionalis (ADN), meningkatkan kampanye pembasmian koka. Polisi dan militer dikerahkan untuk membumihanguskan perkebunan koka di Chepare. Tidak sedikit petani koka yang dibunuh.

Sebagai anggota parlemen, apalagi mewakili para pemilih yang sebagian besar petani koka, Evo melawan. Ia mengecam pembumihangusan dan pembantaian petani itu. Tak disangka, tindakannya ini dijadikan dalih oleh penguasa melalui partai pendukungnya di parlemen untuk mencabut Evo dari kursinya sebagai anggota parlemen. Komite Etik dibentuk. Dan tak lama kemudian, Evo dicopot dari jabatannya karena dianggap ‘lalai menjalankan tugasnya’.

Bukannya berhasil mematikan langkah Evo, tindakan itu justru kian mempopulerkannya. Dia dianggap pahlawan bagi petani koka. Sejak itu pula MAS makin dikenal sebagai partainya petani koka dan kaum pribumi (masyarakat adat).

Sementara itu, sepanjang 1997 hingga 2003, agenda neoliberal makin deras menghunjam rakyat Bolivia. Pada tahun 2000, atas tekanan Bank Dunia, rezim neoliberal menjual layanan air minum di Chocabamba kepada korporasi raksasa asal California, Bechtel. Akibatnya, tagihan air melonjak 43 persen tiap bulan, jauh dari jangkau keluarga berpendapatan kecil dan menengah.

Situasi itu memicu kemarahan rakyat. Lebih dari 100.000 orang rakyat di Chocabamba, yang meliputi petani, pekerja pabrik, pengangguran, pelajar, kelas menengah, dan petani coca, menggelar aksi protes. Pemerintah merespon aksi protes itu dengan represi: satu orang tewas dan 175 orang terluka. Federasi petani koka dari Chepare, yang dipimpin oleh Evo, bergabung dalam perlawanan. Perlawanan ini, yang kemudian disebut “Perang Air”, dimenangkan oleh gerakan rakyat.

Tak lama kemudian, tepatnya di tahun 2003, protes besar-besaran kembali meledak seiring dengan rencana pemerintahan Sanchez de Lozada (Goni) menjual cadangan gas Bolivia kepada konsorsium Pacific LNG. Dan seperti sebelumnya, pemerintah merespon aksi protes ini dengan mengirimkan tentara: 80 orang tewas dan 500-an lainnya terluka.

Evo dan MAS terlibat aktif dalam perlawanan itu. Bolivia dilanda protes besar-besaran dalam sejarah negeri itu. Hingga, 17 Oktober 2003, Presiden Sanchez de Lozada terpaksa melarikan diri dengan jet pribadi ke Amerika Serikat.

Pengganti Sanchez de Lozada adalah Carlos Mesa, bekas Wakil Presiden. Ia diberi mandat untuk mengembalikan kontrol negara terhadap gas Bolivia melalui nasionalisasi. Namun, Mesa juga gagal memenuhi tuntutan ini. Akhirnya, pada bulan Juni 2005, Mesa pun terjungkal dari kekuasaannya.

Bersamaan dengan berkobarnya perlawanan itu, popularitas Evo dan MAS juga menguat tajam. Terlebih lagi, MAS mengusung tiga program yang benar-benar menjawab keresahan rakyat Bolivia saat itu, yaitu nasionalisasi industri, legalisasi daun koka, dan distribusi yang adil kekayaan dan sumber daya alam.

Kombinasi antara situasi objektif, yakni gelombang pasang perlawanan anti-neoliberalisme, dengan kepemimpinan MAS dalam aksi dan program politik, mengantarkan Evo Morales memenangi Pemilu tahun 2005. Ia meraup suara cukup signifikan, yaitu 53,7 persen.

Melayani Rakyat

Evo resmi menjadi Presiden Bolivia tanggal 22 Januari 2006. Begitu memegang tampuk kekuasaan, Evo langsung memenuhi janji politiknya semasa kampanye.

Pada bulan Mei 2006, hanya lima bulan setelah dilantik, Evo mengumumkan dekrit tentang nasionalisasi industri dan cadangan hidrokarbon Bolivia. Tindakannya itu menggemparkan dunia, terutama negeri-negeri imperialis, yang membuat dirinya disejajarkan dengan Presiden Venezuela, Hugo Chavez.

Patut diketahui, sepanjang 2006 hingga 2013, Evo sudah lima kali melakukan nasionalisasi besar-besaran, yaitu nasionalisasi hidrokarbon (2006), nasionalisasi perusahaan telekomunikasi (2008), nasionalisasi perusahaan pembangkit listrik tenaga air (2010), nasionalisasi perusahaan listrik utama (2012), serta nasionalisasi perusahaan mineral dan pengelolaan bandara (2013).

Di bawah pemerintahan Evo, model pembangunan ekonomi Bolivia digeser dari model neoliberal yang berorientasi pada akumulasi profit (keuntungan) menjadi model pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kesejahteraan sosial.

Di era Evo, keuntungan dari tata kelola sumber daya alam tidak lagi mengalir ke kantor perusahaan multinasional, tetapi dialihkan pada investasi sosial atau belanja publik. Belanja publik meningkat 750 persen di era Evo. Strategi ini berhasil menurunkan angka kemiskinan ekstrem dari 38,2 persen (2005) menjadi 21,6 persen (2012).

Tidak hanya itu, berdasarkan catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO), sepanjang tahun 2005 hingga 2013, upah minumum kaum buruh Bolivia meningkat sebesar 104%. Malahan, dalam dua tahun terakhir, peningkatan upah minimum buruh di Bolivia termasuk tertinggi di Amerika Latin.

Kemudian, pada bulan Juni 2014, UNESCO juga menyatakan Bolivia terbebas dari buta-huruf. Sementara FAO memuji strategi kebijakan pangan Bolivia yang inklusif dan pro-rakyat miskin karena berhasil memerangi kelaparan dan kekurangan gizi.

Di bidang politik, Evo juga meraih sukses besar. Pada bulan Januari 2009, Bolivia berhasil menciptakan konstitusi baru melalui proses referendum. Konstitusi baru ini menetapkan Bolivia sebagai negara plurinasional, yang mengakui keragaman suku-bangsa yang mendiami dan menyusun negara Bolivia. Negara plurinasional mengakui keberadaan warga pribumi, yang mencakup hampir 50 persen dari total penduduk Bolivia, sebagai warga negara yang bermartabat dan setara dengan suku-bangsa lain. Ini mengakhiri kebijakan diskriminatif terhadap warga pribumi yang berlangsung selama beratus-ratus tahun. Konstitusi ini juga mengakui tradisi warga asli Bolivia untuk menanam dan menggunakan daun koka.

Bagi Evo, politik adalah “seni melayani rakyat”. Karena itu, ia menerapkan konsep pemerintahan yang disebut “memerintah dengan mematuhi rakyat”. Dalam hal ini, kedaulatan tidak berada di tangan negara, melainkan di tangan rakyat. Dan rakyat mengekspresikan kedaulatannya melalui partisipasi aktif dalam merumuskan dan memutuskan berbagai kebijakan negara yang menyangkut kehidupannya sehari-hari.

Evo juga berhasil membawa Bolivia lebih merdeka dari negeri-negeri imperialis dan lembaga-lembaganya. Pada tahun 2006, Bolivia bergabung dalam Alternatif Bolivarian untuk Rakyat Amerika Latin (ALBA), sebuah blok regional yang mempromosikan kerjasama berbasiskan solidaritas dan persaudaraan.

Tetapi berbagai kemajuan itu bukan tanpa tantangan dan rongrongan dari negara-negara imperialis dan sekutu lokalnya. Pemerintahan Evo Morales berulangkali diancang ‘destabilisasi’ hingga penggulingan. Diantaranya: secara ekonomi (pembekuan deposito bank pada tahun 2006; sabotase produksi dari tahun 2007-2009; dan boikot pangan pada tahun 2007-08) dan secara politik (sabotase terhadap Majelis Konstituante pada tahun 2006-08; referendum menuntut otonomi pada tahun 2008; tuntutan recall Presiden pada tahun 2008) militer (percobaan kudeta pada tahun 2008 dan separatisme pada tahun 2009). Namun demikian, berkat sokongan rakyat, revolusi jalan terus!

Pada pemilu 2009, Evo dan MAS kembali menang. Kali ini perolehan suaranya meningkat, yaitu 64.3. Kemudian, pada pemilu 2014 lalu, Evo kembali menang dengan perolehan suara 61.36 persen. Bagi Evo, peningkatan dukungan ini menandai besarnya dukungan rakyat terhadap proyek “sosialisme komunitarian”, yaitu proyek sosialisme yang berbaur secara harmonis dengan tradisi masyarakat asli Bolivia dan ibu alam (Mother Earth).

RAYMOND SAMUEL

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid