Jumat, 4 Juni 2010 | 02.29 WIB | Editorial
Dua hari lalu (2/6), Yukio Hatoyama mengundurkan diri dari jabatan Perdana Menteri Jepang, setelah gagal menepati janji kampanyenya. Sebelum menjabat delapan bulan lalu, Hatoyama berjanji memindahkan pangkalan militer Amerika Serikat dari pulau Okinawa. Namun sikapnya berubah. Ketika mundur, ia nyatakan “tidak mungkin memindahkan pangkalan militer dari Okinawa”. Apapun alasan perubahan sikap ini, Yukio Hatoyama telah mengambil sikap yang kesatria.
Ada dua pelajaran dari pengalaman di atas. Pertama, niat Yukio Hatoyama untuk memulihkan kedaulatan negerinya setelah puluhan tahun harus menerima segala dampak buruk keberadaan pangkalan militer AS di negeri mereka. Kedua, pengunduran diri sebagai tradisi yang terhormat ketika seorang pemimpin gagal memenuhi janjinya kepada rakyat.
Di sini ada ketimpangan besar saat coba bandingkan dengan kondisi di Indonesia. Hal menjaga kedaulatan nasional, kita dapat menunjuk keberadaan “pangkalan ekonomi” berupa perusahaan-perusahaan multinasional (pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan kelautan), yang menguasai jutaan hektar lahan di Indonesia. Penguasaan ini berlangsung menyejarah, sejak kolonialisme, orde baru Soeharto, sampai orde reformasi sekarang. Catatan penelitian Instute of Global Justice (IGJ) menyebut penguasaan modal asing (di darat dan laut) sampai dengan tahun 2007 telah setara dengan 90% luas daratan Indonesia. Bagaimana janji kampanye SBY-Boediono terkait masalah ini?
Tidak kongkrit, tapi tersirat. Di salah satu kampanyenya, SBY mengatakan bahwa “rakyat Indonesia membutuhkan pemimpin yang jauh dari pemikiran radikal dan ekstrim dalam menyelesaikan masalah bangsa”. Tentu yang diserang sebagai “radikal dan ekstrim” adalah pasangan saingannya, Megawati – Prabowo Subianto, yang saat itu mengkampanyekan program anti-neoliberal atau perubahan haluan ekonomi. Lebih jauh, penggunaan istilah “radikal dan ekstrim” menciptakan ketakutan atau kekhawatiran masyarakat terhadap segala bentuk perubahan sosial yang mendasar, terutama terkait penguasaan terhadap sumber daya ekonomi.
Jadi, dalam hal ini, SBY-Boediono tidak mengingkari janji kampanyenya: mempertahankan keberadaan “pangkalan ekonomi” milik korporasi asing. Pada saat yang sama, sejumlah janji sudah diingkari. Isu pemberantasan korupsi sudah terang dilanggar, dengan mencuatnya kasus Century. Proses pemiskinan terus terjadi dari waktu ke waktu, pelan dan memilukan.
Memang pemerintahan SBY-Boediono tak tampak malu atas kedaulatan nasional yang tidak terlindungi. Tidak juga merasa gagal atas janji-janji yang diingkari. Protes rakyat terhadap dampak ketidakadilan dihadapi dengan represi aparat seperti yang terjadi di sejumlah tempat di Sulawesi baru-baru ini. Sementara kekuatan-kekuatan politik oposisi, atau yang berada di luar setgab partai koalisi, belum menunjukkan kemajuan kualitatif yang baru dalam pengorganisasian politiknya.
Dalam situasi ini sulit kita berharap SBY-Boediono menyatakan diri gagal kemudian mengundurkan diri. Satu-satunya jalan bagi oposisi di Indonesia adalah memajukan pengorganisasian politik persatuan, sambil terus memblejeti berbagai kepalsuan pada pemerintahan ini.
Anda dapat berpartisipasi menanggapi editorial ini di email: redaksiberdikari@yahoo.com