Jangan Membaca Bung Karno Sebatas Slogan!

Banyak orang yang mencibir Bung Karno, baik dari spektrum pemikiran kiri maupun kanan, hanya melihat pada konteks slogan-slogan besar belaka. Sedangkan pemikiran-pemikirannya terkadang tidak dieksplorasi.

“Mereka sama-sama hanya memegang abu pemikiran Bung Karno, namun tidak bisa menangkap dan memahami api pemikirannya,” kata Airlangga Pribadi, pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, saat diwawancarai oleh Berdikarionline.com, Sabtu (8/6/2012).

Akibatnya, lanjut Airlangga, orang melupakan sebuah kerja penting untuk menggali mutiara warisan pemikiran Bung Karno sebagai cara pandang dinamis untuk memetakan relasi sosial produksi sebagai basis dari proses ekonomi politik, komposisi blok sejarah beserta ideologi kontrolnya, peran negara sebagai institusi politik dan peta besar tatanan internasional.

“Dengan begitu, kita membaca Soekarnoisme sebagai sebuah sistem pemikiran yang utuh yang berusaha membumikan prinsip-prinsip dasar dari sosialisme dalam konteks keindonesiaan,” kata Airlangga.

Demokrasi politik dan ekonomi

Salah satu contoh pemikiran Bung Karno adalah demokrasi ekonomi dan politik. Dalam pidatonya ‘Lahirnja Pantjasila’, Soekarno menekankan pentingnya demokrasi yang bukan hanya demokrasi Barat atau demokrasi politik saja namun “politiek ekonomische democratie”.

“Apa maksud konsepsi itu? Banyak kalangan yang membacanya sebagai demokrasi politik (liberal) yang dilengkapi oleh demokrasi diwilayah ekonomi. Pembacaan ini meskipun memiliki niat baik tapi tidak tepat pada konsepsi yang dimaksud oleh Bung Karno,” ungkap Airlangga.

Airlangga memberi contoh pidato Bung Karno pada tahun 1965. Di situ Bung Karno mengatakan, “untuk membangun suatu negara yang demokratis, maka satu ekonomi yang merdeka harus dibangun. Tanpa ekonomi yang merdeka tidak mungkin kita mencapai kemerdekaan, tidak mungkin kita mendirikan negara, tidak mungkin kita tetap hidup.”

Untuk memahami maksud pidato itu, kata Airlangga, kita harus mengawalinya dengan memahami konsepsi politik dari interaksi antara relasi ekonomi sekaligus relasi politik yang tak terpisah satu sama lain.

Di sini, Airlangga mendefenisikan politik sebagai setiap aktivitas sosial dalam kehidupan bernegara dalam konteks hubungan kerjasama, konflik maupun persetujuan dari tiap-tiap orang didalamnya yang kemudian terformulasikan dalam kebijakan publik untuk menggunakan, memproduksi maupun mendistribusikan sumber-sumber daya ekonomi.

“Inilah pengertian politik dalam konteks ekonomi politik. Inilah landasan kita dalam membangun demokrasi ekonomi-politik,” tegasnya.

Sebuah relasi politik dapat dikatakan demokratis, kata Airlangga, ketika terjadi hubungan-hubungan antara warga negara yang setara satu sama lain untuk ikut merumuskan strategi kebijakan yang mengatur proses produksi distribusi dan penggunaan sumber-sumber daya secara demokratis.

Masih relevan untuk sekarang

Formulasi Bung Karno di atas, menurut Airlangga, masih sangat relevan untuk menjawab tantangan demokrasi liberal dan ekonomi neoliberalisme yang sedang menjajah Indonesia saat ini.

“Model demokrasi liberal dan ekonomi neoliberalnya tidak menghasilkan kedudukan yang setara diantara warga negara dan tidak menghasilkan kehidupan ekonomi yang ditandai oleh pengelolaan aset-aset produktif secara demokratik dan setara,” ungkap Airlangga.

Model demokrasi elitisme harus dirombak. Airlangga mengajukan konsep alternatif, yakni demokrasi berbasis musyawarah, yang berupaya melibatkan setiap komponen bangsa dari level paling mikro sampai pada level makro.

Persatuan Indonesia

Nah, di mata Airlangga, konsep persatuan Indonesia pun harus digagas dari konsep demokrasi ekonomi-politik yang berbasis musyawarah di atas.

“Hal itu berbeda dengan bentuk persatuan di kalangan elit yang hanya dibasiskan pada konsensus diantara para elite politik,” ujar Airlangga.

Dengan tidak menapikan gagasan Bung Karno pada tahun 1927, yaitu persatuan diantara kaum Nasionalis, Islamis (Agamais), dan Marxis, maka basis persatuan nasional saat ini bisa didasarkan pada penerimaan terhadap konsep demokrasi ekonomi dan politik.

Dalam konteks saat ini, bangsa Indonesia sedang berhadapan dengan dua serangan sekaligus: serangan dari luar berupa eksploitasi ekonomi dari transnational class capitalism, sedangkan secara internal berupa penjarahan asset-assset publik oleh elite politik.

Oleh karena itu, di mata Airlangga Pribadi, persatuan Indonesia didalamnya juga membutuhkan pembelahan politik, yaitu diantara mereka yang kepentingannya dipertemukan oleh konsepsi politiek economische demokratie yang diperjuangkan oleh Soekarno dan mereka yang kepentingannya dipuaskan oleh model neoliberal ekonomi dan demokrasi polyarchy.

“Inilah intisari dari metode berfikir ajaran Soekarno yang bisa kita kembangkan untuk melihat konteks perkembangan zaman,” katanya menutup diskusi dengan Berdikarionline.com.

Timur Subangun

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid