Jaksa Agung Baru

Masa jabatan Jaksa Agung, yang saat ini dipimpin oleh Hendraman Supandji, akan segera berakhir dan diganti. Terkait pergantian ini, mulai menghangat polemik tentang asal-usul figur yang pantas memimpin lembaga penegakan hukum tersebut. Sejumlah kalangan mendesak presiden agar mengangkat figur dari luar lembaga kejaksaan atau non karir, berhubung parahnya keadaan internal kejaksaan saat ini, sehingga “orang dalam” diduga kuat telah menjadi bagian dari persoalan. Alasan lainnya, dalam sejarah keberadaan republik ini, kebanyakan Jaksa Agung bukanlah berasal dari jaksa karir melainkan dari luar. Sementara kalangan dari dalam lembaga ini, seperti yang disampaikan Persatuan Jaksa Indonesia (PJI), justru menolak “orang luar” karena dianggap tidak memahami seluk-beluk persoalan internal kejaksaan.

Bila kriteria “orang dalam” atau “orang luar” ini menjadi acuan pokok dalam situasi sekarang, maka lebih mudah kita peroleh jawaban, bahwa “orang luar” lah yang lebih tepat untuk memimpin lembaga ini. Kita harus mengakui bahwa institusi kejaksaan sendiri telah dihinggapi persoalan akut sejak rezim orde baru, yang membentuk watak korup dan anti kemajuan berpikir dalam jajaran aparatusnya. Berbagai skandal korupsi yang melibatkan aparat kejaksaan, serta pelarangan terhadap buku-buku ilmiah baru-baru ini adalah bukti adanya persoalan tersebut.

Tak terelakkan juga bahwa persoalan internal ini berdampak pada kapasitas dan efektivitas institusi kejaksaan sebagai alat penegakkan hukum. Dalam batasan ini, memilih “orang luar” untuk melakukan perombakan terhadap institusi kejaksaan bisa jadi merupakan suatu pilihan baik di diantara pilihan-pilihan buruk. Namun, terlepas soal hak prerogatif presiden, perlu juga diketengahkan kriteria yang lebih luas untuk menilai layak tidaknya seorang figur berada di posisi tersebut. Sejalan dengan persoalan kriteria, siapapun yang akan menjadi jaksa agung akan menghadapi hambatan-hambatan politik, seperti intervensi penguasa koruptor dan atau pihak-pihak yang terlibat dalam kasus kelam yang tak ingin diungkap (seperti buku-buku ilmiah seputar tragedi nasional 1965 yang dilarang pihak kejaksaan).

Dalam konteks ini perdebatan tentang “orang luar” atau “orang dalam”, jaksa karir atau bukan, menjadi tidak terpisah dari persoalan subyektif maupun obyektif yang dihadapi. Pada ranah subyektif, Jaksa Agung baru harus mampu melakukan perombakan besar-besaran terhadap institusinya dari pusat sampai ke daerah. Dalam satu kriteria umum ini, meski belum didetailkan pada wacana-wacana perubahan yang lebih kongkrit, pun sudah terdengar tidak realistis karena menjadi bunuh diri bagi penguasa yang menikmati hasil-hasil korupsi dan persekongkolan politik yang terus membodoh-bodohkan rakyat. Ketidakterpisahan institusi kejaksaan dengan dinamika situasi politik tampaknya menjadi kunci bagi pembenahan—yang berarti juga berhubungan dengan figur yang ditunjuk. Ada diantara kita menaruh harapan pada figur tertentu untuk memimpin, sebut saja Bambang Wijayanto yang baru-baru ini turut menjadi calon ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun banyak keraguan, pemerintahan yang masih di tangan penguasa korup dan anti kemajuan berpikir ini akan memilih figur yang mampu mengatasi persoalan-persoalan di internal kejaksaan dan menjalankan fungsi penegakkan hukumnya secara adil.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid