Jakarta Dan Wacana Pemindahan Ibukota

JAKARTA, dulu di jaman kolonial bernama Batavia, pada tanggal 22 Juni 1964, ditetapkan oleh presiden Soekarno sebagai ibukota Republik Indonesia. Meski mendapatkan polemik, Soekarno memperkuat penetapan ini melalui UU No 10 tahun 1964. Saat itu, Bung Karno mengajukan sejumlah alasan kenapa Jakarta menjadi pilihan, yaitu, karena Jakarta tempat proklamasi, pusat revolusi kemerdekaan, pusat penemuan pancasila, dan segi teknis seperti kesiapan infrastruktur, dan lain sebagainya.

Dulunya, Jakarta merupakan kawasan pelabuhan yang bernama Sunda Kalapa, yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pakuan Pajajaran. Pada tahun 1526, Sunda Kelapa diserbu oleh pasukan yang dipimpin Fatahillah, seorang panglima perang dari Demak, dan kemudian merubah namanya menjadi Jayakarta. Selanjutnya, pelabuhan Jayakarta dikuasai dan dimasukkan dalam kekuasaan Kerajaan Banten.

Ketika VOC mulai menguasai wilayah nusantara, mereka menjadikan daerah ini sebagai pusat administrasi dan perdagangan, yang namanya disebut Batavia. Di tangan Jan Pieterszoon Coen, seorang Gubernur Jenderal Belanda, Batavia mulai diubah menjadi kota. Selain orang belanda, keturunan Portugis, Spanyol, dan golongan Eropa lainnya, terdapat pula golongan orang-orang Indonesia seperti Betawi, Bugis, Bali, Madura, Ambon, Melayu, dan Makasar, yang jumlahnya tidak melebihi 20.000 orang.

Setelah Merdeka, di era Soekarno, Jakarta diubah menjadi simbol anti-kolonialisme dan kebanggan nasional. Jakarta menjadi kota anti-Belanda, anti-tradisi. Sebuah kota baru, pemaknaan baru yang dibutuhkan oleh bekas koloni asing yang rendah diri dan terbelakang. Berdirilah Gelora Bung Karno, Monumen Nasional, Tugu Selamat Datang, Hotel Indonesia, Masjid Istiqlal, dan sebagainya.
Soekarno telah mengatakan, proyek-proyek seperti monumen nasional, stadion, dan masjid megah adalah contoh dari nation dan character building seluruh bangsa Indonesia untuk menunjukkan identitas nasionalnya.

Sekarang ini, setelah 64 tahun ditetapkan sebagai ibukota, Jakarta telah menjadi salah satu kota paling sibuk di dunia, berpenduduk kira-kira 12 juta pada siang hari dan 9 juta pada malam hari. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), Jakarta dianggap kota terjorok ketiga di dunia setelah Meksiko dan Thailand. Disamping itu, Jakarta juga telah menjadi gudang kemacetan, polusi udara, pusat kriminalitas, ditambah lagi banjir setiap tahunnya.

Ini terjadi, karena Jakarta tidak saja berfungsi sebagai ibukota Republik Indonesia, namun juga menjadi ibu-kota capital, pusat konsentrasi ekonomi dan kehidupan bisnis. Ini akibat pola pembangunan yang tidak merata, terutama sejak jaman orde baru.

Ancaman terbesar Jakarta saat ini adalah over-populasi. Kelebihan penduduk diikuti pula dengan kelebihan kendaraan, yang menurut perkiraaan, bahwa pada tahun 2014 Jakarta akan mengalami macet total. Tidak berhenti, penumpukan aktivitas ekonomi dan manusia di kota ini, telah menyebabkan penurunan permukaan tanah dan berkurangnya persediaan air tanah.

Sebetulnya, kalau soal gagasan ibukota negara, pernah muncul perdebatan panjang mengenai sejumlah kota yang punya syarat. Di jaman Hindia-Belanda, tepatnya saat diperintah Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum, ada usulan untuk menjadikan Kota Bandung sebagai ibukota Hindia-Belanda. Usul itu datang dari ahli kesehatan dan kebersihan Hindia Belanda, Hendrik Freek Tillema, setelah melakukan studi panjang mengenai standar kesehatan di kota-kota pulau Jawa.

Setelah Indonesia merdeka, melalui sebuah Panitya Agung Ibukota Negara pada tahun 1947, sejumlah kota diusulkan sebagai ibukota, diantaranya, Jakarta, Bogor, Bandung, Magelang, dan Malang. Semua ini kandas di tengah jalan.

Namun, pada tahun 1957, Bung Karno pernah punya mimpi besar untuk memindahkan ibukota ke Palangka Raya. Sebagai tahap persiapan, Soekarno pun telah meletakkan batu pertamanya di Kampung Dayak, di jantung Kalimantan, 17 Juli 1957. Palangkaraya yang berarti tempat suci, mulia, dan agung, yang didesain sebagai ibu kota Indonesia Raya.

Namun, usaha Soekarno pun kandas, selain karena faktor pengadaan bahan dan medan yang sangat sulit, saat itu juga sedang dipersiapkan penyelenggaraan Asian Games (1962) dan ajang olahraga tandingan Olimpiade Games of the New Emerging Forces (Ganefo).

Palangkaraya, kota yang sempat diidamkan Bung Karno, memiliki luas mencapai 2.678,51 km persegi, sedangka Jakarta hanya 661,52 km2. Ini berarti Palangka sangat punya potensi untuk kita kembangkan sebagai ibu kota baru; arsitekturnya, jalan-jalan lebar, infrastruktur, taman-taman hijau, dan sebagainya.

Soekarno pernah berkata; “……. Jadikanlah Kota Palangka Raya sebagai Modal dan Model. Jangan Membangun Bangunan Di sepanjang Tepi Sungai Kahayan. Dan Lahan di Sepanjang Tepi Sungai tersebut, hendaknya diperuntukkan bagi taman sehingga pada malam yang terlihat hanyalah kerlap-kerlip lampu indah pada saat orang melewati sungai tersebut.

Sekarang ini, bertepatan dengan hari penetapan Jakarta sebagai Ibukota, wacana pemindahan Ibukota tentu masih sangat relevan. Negara lain sudah memindahkan Ibukotanya dan berhasil, misalnya Brazil, Jepang, Amerika Serikat, Australia, Jerman. Terakhir, Malaysia sudah bersiap-siap untuk melakukannya. Pada tahun 2004, pemerintah Korsel sudah merancang pemindahan ibukotanya ke Gongju-Yongi, yang direncanakan tuntas pada tahun 2020.

Jakarta cukup dijadikan pusat bisnis jasa dan wisata, sedangkan ibukota di pindahkan ke tempat lain, mungkin Palangkaraya. Industri dan kegiatan bisnis pun seharusnya mulai dilempar ke luar Pulau Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua. Kalau tidak begitu, Jakarta akan menyimpan “bom waktu” di masa depan.

*) Penulis adalah Deputi dan Kajian KPP-PRD.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid