Inspirasi Hugo Chavez Dan Evo Morales

Hugo Chavez dan Evo Morales tak henti-hentinya memberi inspirasi. Pada saat kaum buruh merayakan Hari Buruh Sedunia, kedua pemimpin Amerika Latin ini kembali membuat gebrakan besar: Chavez mengesahkan UU perburuhan yang menjamin penuh hak-hak kaum buruh dan keluarganya, sedangkan Evo Morales menasionalisasi perusahaan listrik milik kapitalis Spanyol.

Sebelum menandatangani pengesahan UU baru itu, Chavez sempat membandingkan keadaan pekerja di Eropa dan di Venezuela. Di Eropa, kata Chavez, pemerintahannya sedang sibuk memangkas kesejahteraan kaum buruh. Sedangkan di Venezuela, pemerintah sedang berusaha mendorong sebuah UU yang menjamin kesejahteraan kaum buruh dan keluarganya.

UU perburuhan baru itu sangat progressif. UU perburuhan baru ini memangkas jam kerja dalam seminggu, memberikan cuti hamil selama 12-25 minggu, dan pemberian bonus kepada pekerja yang pensiun. Satu hal penting lagi, UU baru ini menghapuskan sistim kerja kontrak warisan rezim neoliberal tahun 1990-an.

Bersamaan dengan pengesahan UU itu, Chavez juga mengumumkan kenaikan upah pekerja sebesar 32,25 persen. Dengan kenaikan upah ini, maka Venezuela menjadi negara dengan upah minimum tertinggi di Amerika Latin. Ditambahkan bantuan pemerintah berupa voucher makan, dan manfaat lain yang diterima rakyat dari kebijakan sosial pemerintah, maka total upah yang diterima pekerja Venezuela perbulan mencapai 700 dollar AS.

Sepak terjang Evo Morales tak kalah pro-rakyatnya. Pada saat memperingati Hari Buruh Sedunia lalu, Evo Morales mengumumkan nasionalisasi terhadap Transportadora de Electricidad (TdE)—anak perusahaan dari perusahaan listrik asal Spanyol, Red Electrica Corporacion.

Di hadapan para pekerja dan rakyat Bolivia, Evo Morales mengatakan, nasionalisasi perusahaan listrik itu merupakan penghormatan terhadap pekerja dan rakyat Bolivia yang sedang berjuang untuk mengembalikan kekayaan alam dan layanan dasarnya dari korporasi asing.

Tentara Bolivia—yang berbeda dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI)—sudah ditempatkan di perusahaan listrik tersebut. Mereka langsung memasang bendera nasional Bolivia di semua pintu masuk perusahaan tersebut. Pada tahun 2006, tentara Bolivia juga menjalankan tugas yang sama saat Evo Morales mengumumkan dekrit nasionalisasi perusahaan minyak dan gas.

Morales mengatakan, TdE hanya menginvestasikan 81 juta dollar AS (Rp 745 miliar) di jaringan listrik Bolivia sejak diswastakan tahun 1997. Sedangkan pihak pemerintah Bolivia telah menanamkan modal sebesar 220 juta dollar AS. Rupanya, pihak lain alias korporasi asing-lah yang mengambil keuntungan.

TdE sangat vital bagi Bolivia. Perusahaan Spanyol itu memiliki 73 persen jaringan transmisi di Bolivia atau 2.772 kilometer kabel transmisi tegangan tinggi. Dengan demikian, Bolivia bisa memastikan proyek eletrifikasi demi kepentingan nasionalnya. Sebab, seperti dikatakan Lenin, awal dari segalanya adalah proses elektrifikasi seluruh negeri.

Sepak terjang Chavez dan Morales sangat membanggakan. Kedua pemimpin itu bukan saja berhasil memulihkan martabat bangsanya, tetapi telah berhasil mengembalikan “kedaulatan rakyatnya” dalam pembangunan ekonomi dan pengelolaan kekayaan alam. Sejak Chavez dan Morales berkuasa, juga pemimpin lain seperti Cristina Fernandez di Argentina, Lula Da Silva/Dilma Roussef di Brazil, Rafael Correa di Ekuador, Fernando Lugo di Paraguay, Pepe Mujica di Uruguay, dan lain-lain, amerika latin tidak lagi menjadi “halaman belakang” Amerika Serikat.

Sayang sekali, Indonesia tidak punya pemimpin seperti Hugo Chavez dan Evo Morales. Para pemimpin Indonesia sejak orde baru hingga rezim SBY sekarang sangat takluk kepada kepentingan asing. Lihatlah gaya SBY saat mendorong renegosiasi kontrak pertambangan dengan perusahaan asing. Kita susah membedakan apakah itu renegosiasi atau kongkalikong. Pasalnya, Presiden SBY sendiri berkomitmen menjalankan renegosiasi kontrak dengan cara “baik-baik”. Masalahnya, metode ‘cara baik-baik’ ini membuat pemerintah sangat lembek dalam proses renegosiasi. Prinsip ‘negara berdaulat’ tidak dipergunakan pemerintah dalam proses renegosiasi. Sebaliknya, pemerintah tetap saja bertindak layaknya agen kolonial: meminta baik-baik.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid