Haruskah Jokowi-JK Memangkas Subsidi BBM?

Pengumuman pengurangan beban subsidi BBM yang dilakukan Pemerintahan Jokowi-Jk pada Senin, 17 November 2014, telah memicu berbagai reaksi masyarakat yang dipelopori mahasiswa.

Berbagai aksi penolakan yang berujung pada bentrokan antara demonstran melawan aparat Kepolisian, telah menyebar ke berbagai kota yang berbasis pada mahasiswa. Harapan dan antusiasme yang begitu besar dari masyarakat terhadap pemerintahan baru, seakan terhapuskan oleh kebijakan yang tak berpihak tersebut. Janji-janji Tri-Sakti yang dilontarkan semasa kampanye Pilpres lalu seakan runtuh jatuh bertekuk lutut dihadapan kebijakan bernuansa neolib. Seakan jatuh bertekuk lutut, merangkak, dihadapan tekanan dan dorongan World Bank. TriSakti diplesetkan menjadi TriSakit.

Bagi para pendukung liberalisasi pasar, dan juga pendukung buta Jokowi, kebijakan tersebut tentu cukup menggembirakan. Tak ada yang salah dari kebijakan tersebut, yang perlu dilakukan adalah pensiasatan. Masyarakat harus memahami apa yang dilakukan Jokowi, selayaknya retorika-retorika Orde Baru ketika berkuasa. Meskipun terjadi penurunan harga minyak dunia hingga mencapai US $ 76,9/barel di Pasar Asia -sementara dalam APBNP 2014 harga minyak dipatok US $ 105/barel dan US $ 1 setara dengan Rp 11.760,00- pemerintahan Jokowi tetap bergeming. Pada Jumat malam, 24 November 2014, di hadapan 260-an WNI di Queensland University of Technology (QUT) Brisbane, Australia, sekali lagi Jokowi menegaskan bahwa pengurangan subsidi BBM itu akan tetap dijalankan. Meskipun dengan resiko: tingkat popularitasnya akan turun. Subsidi energi yang tidak tepat sasaran, boros dan menghabiskan anggaran karena terjadinya pembengkakan dari 282.100,3 milyar menjadi 392.132,2 milyar dalam APBNP 2014, merupakan alasan utama yang dikemukakan pemerintah untuk tetap mempertahankan kebijakan tersebut.

Namun tidak demikian halnya bagi mereka yang selama ini terus getol mengkampanyekan persoalan kemandirian bangsa. Mereka merasa bahwa kebijakan tersebut tidak tepat waktu, ditengah pemerintah belum memiliki blueprint atas kebijakan tata kelola energi nasional. Ditengah pemerintah belum menunjukan kinerja yang lebih pro rakyat –meskipun pengurangan beban subsidi BBM diikuti dengan sogokan mengeluarkan Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Keluarga Sejahtera—namun dampak inflasi yang mengiringi pengurangan subsidi tersebut jauh melampaui ambang batas kemampuan daya beli masyarakat. Bagi sebuah masyarakat modern/industri, Migas sudah berubah menjadi barang kebutuhan pokok sehari-hari selayaknya kebutuhan akan sembako.

Persoalan pokok yang sebetulnya terjadi, bukan semata-mata diletakan pada pemerintah mengurangi subsidi atau mempertahankan subsidi, namun lebih jauh kita harus mempertanyakan terlebih dahulu bagaimana konsep pengelolaan Migas pemerintah ke depan. Apakah energi ini akan diletakan pasa mekanisme pasar ataukah energi ini akan menjadi persoalan negara sebagaimana yang dispiritkan Pasal 33 UUD 1945.

Benny Lubiantara, seorang Fiscal Policy Analyst OPEC, dalam blog pribadinya menjelaskan bahwa dalam tata kelola migas yang ada di dunia ini pada dasarnya terbagi ke dalam tiga fungsi, yaitu kebijakan (policy), regulasi (regulator) dan komersial (commercial). Dalam sebuah negara, fungsi komersial, yaitu fungsi eksplorasi dan produksi, biasanya dijalankan oleh National Oil Company (NOC) dan atau juga melibatkan International Oil Company (IOC). Sementara dalam fungsi-fungsi lainnya, ada pemerintahan yang secara tegas memisahkan ketiga fungsi tersebut, namun ada pula negara yang merangkap atau menyatukan fungsi regulator dengan fungsi komersial. Kita ambil contoh negara yang secara tegas memisahkan ketiga fungsi tersebut, misalnya Norwegia, Brazil, Aljazair, Meksiko dan Nigeria. Sementara Arab Saudi, Malaysia, Angola, Russia, dan Venezuela adalah negara-negara yang tidak secara tegas memisahkan ketiga fungsi tersebut. Negara-negara yang disebut belakangan merupakan negara-negara yang menyatukan fungsi regulasi sekaligus fungsi komersial, atau fungsi regulasi jadi satu dengan fungsi kebijakan.

Menurut Benny selanjutnya, ketahanan energi migas sebuah negara tidak terletak pada bagaimana mengkombinasikan atau memisahkan ketiga fungsi tersebut. Namun terletak pada sejauh mana pemerintah terlibat langsung dalam investasi di sektor migas. Dalam kasus Indonesia, dimana 75 % produksi minyak dalam negeri dipasok oleh IOC sehingga menjadikan NOC –dalam hal ini Pertamina- terlihat inferior dihadapan IOC. Ketahanan energi dalam negeri terancam. Hal ini terkait dengan kebijakan energi yang selama ini dilakukan semenjak Orde Baru berkuasa, dimana pemerintah lebih suka menjadi Tuan Tanah yang menyewakan lahannya untuk dieksplorasi oleh IOC dengan sistem bagi hasil yang tidak menentu. Dan keuntungan yang diterima oleh pemerintah tidak dikembalikan ke sektor migas sebagai investasi. Pemerintah lebih suka menjadikan dirinya sebagai pemburu rente, yang bergantung pada besar kecilnya biaya sewa dan bagi hasil. Akibatnya, dari tahun ke tahun, produksi kilang minyak Indonesia mengalami penurunan akibat ladang-ladang sumur yang menua ataupun ketiadaan pembaharuan mesin-mesin yang berakibat pada keekonomisan kilang. Tiadanya penemuan kilang-kilang baru merupakan dampak dari ketiadaan investasi baru. Dan pemerintahan Jokowi-Jk seakan mendaur ulang kebijakan pemerintahan sebelumnya, dimana investasi dibidang migas diabaikan. Seakan menanam BOM WAKTU, kebijakan pengurangan subsidi BBM akan selalu terulang dan selalu kontroversial dari satu pemerintah ke pemerintah selanjutnya. Apalagi pemerintah lebih suka menerapkan UU Nom 22 tahun 2001, terutama pasal 28, yang menyerahkan penentuan harga BBM pada mekanisme harga pasar internasional.

Apakah subsidi BBM tidak tepat sasaran? Menurut Gde Pradyana, Sekretaris SKK Migas dalam diskusi publik bertema “Indonesia Menjawab Masa Depan” yang diadakan di Tugu Proklamasi, Jakarta Selatan, pada 6 September 2014 lalu, menyatakan bahwa 90 % konsumsi BBM diserap oleh sektor transportasi. Sementara menurut data yang dikeluarkan BPS tahun 2012 menyebutkan bahwa jumlah mobil penumpang di Indonesia ada sekitar 10,4 juta (11 %), Bus ada sekitar 2,3 juta (2 %), Truk sejumlah 5,3 juta (6 %) dan sepeda motor sejumlah 76,4 juta (81 %) dari total otomotif yang beredar di pasaran. Di tengah ketiadaan sistem alat transportasi massal yang memadai, serta ketiadaan keberpihakan pemerintah yang terdahulu dalam membenahi sistem transportasi umum, sepeda motor merupakan jawaban si miskin untuk terus mempertahankan tingkat mobilitas personalnya. Bahkan yang terjadi saat ini, sepeda motor bagi si miskin telah menjadi alat produksi untuk mensiasati semakin mahalnya tingkat kebutuhan hidup sehari-hari, serta tiadanya lapangan kerja yang layak bagi mereka. Sepeda Motor merupakan mode transportasi yang murah dan efektif ketika pemerintah tidak bisa menyediakan mode transportasi umum yang nyaman dan murah. Pembangunan mode transportasi umum yang terintegratif dari hulu ke hilir, merupakan jawaban terhadap over kapasitas produksi otomotif. Hingga saat ini, selama pemerintahan Orde Baru berkuasa hingga Orde Reformasi, tidak terlihat konsep pembangunan yang integratif. Membludaknya produksi otomotf di pasaran yang tidak disertai dengan volume penambahan jalan umum berdampak pada semakin tersendatnya lalu lintas. Masyarakat itu ibarat air, yang harus terus mengalir. Ia akan mencari celah dimana ada lubang. Melimpahnya sepeda motor, merupakan jawaban masyarakat bawah atas ketiadaan sistem transportasi umum yang memadai.

Apakah BBM di Indonesia murah? Jika dilihat dari perbandingan tingkat pendapatan penduduk dengan besaran biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan seliter bensin, harga bensin di Indonesia terbilang mahal. Dalam sebuah penelitian yang bertajuk Highest and Cheapest Price by Country yang diterbitkan oleh harian ekonomi dunia, Bloomberg, dan dimuat oleh BH Online pada Sabtu, 15 November 2014, memperlihatkan bahwa penduduk Indonesia dengan pendapatan harian sebesar US $ 11/hari harus mengalokasikan 33 % pendapatan mereka untuk mendapatkan segalon bensin (1 galon setara dengan 1,9 liter). Sementara Singapura dengan pendapatan sekitar US $ 139/hari hanya mengalokasikan 4,5 persen pendapatannya, diikuti Malaysia dengan tingkat pendapatan harian penduduknya sebesar US $ 32 hanya mengalokasikan 7,5 persen. Sementara Thailand, dengan tingkat pendapatan harian penduduknya sebesar US $ 17 harus mengeluarkan 25 persen untuk membeli bensin. Yang paling tinggi adalah Filipina yang hanya berpenghasilan US $ 7.11/hari, harus mengeluarkan 69 persen nya untuk mengkonsumsi energi.

Meskipun terjadi pembengkakan alokasi subsidi energi dari 282.100,3 milyar menjadi 392.132,2 milyar dalam APBNP 2014, namun seperti dikatakan sebelumnya bahwa harga minyak dunia telah mengalami penurunan menjadi US $ 76,9/barel dari US $ 105/barel. Artinya, telah terjadi penghematan sebesar US $ 27,1/barel dari kebutuhan import minyak yang ada di APBNP 2014. Penjelasan yang dikeluarkan Pemerintah Jokowi-Jk terkesan tidak seimbang, hanya menekankan sisi pengeluaran tanpa menjelaskan sisi pemasukan dalam APBNP yang diperoleh dari sektor Migas. Memang benar telah terjadi penurunan tingkat produksi minyak dan gas bumi semenjak tiga tahun belakangan ini, namun jika dilihat dari kebutuhan konsumsi BBM perharinya yang mencapai 1,5 juta barel/hari, Indonesia semestinya masih bisa berswasembada. Menurut data asumsi yang dipakai oleh APBNP 2014 mengatakan bahwa telah terjadi penurunan tingkat produksi minyak semenjak tahun 2010. Pada tahun  2011, realisasi lifting minyak hanya mencapai 899 juta barel per hari, lebih rendah dari target sebesar 945 ribu barel per hari. Sementara realisasi lifting minyak bumiselama periode Desember 2013 –Maret 2014 baru mencapai sekitar 797 ribu barel per hari. Tren penurunan produksi dan lifting minyak diperkirakan masih akan berlanjut di tahun 2014. Sasaran lifting minyak yang dalam APBN 2014 ditetapkan sebesar 870 ribu barel per hari diperkirakan hanya akan terealisasi sebesar 818 ribu barel per hari.

Sementara untuk realisasi lifting gas bumi cenderung meningkat dan mencapai level tertinggi di tahun 2010 yaitu sebesar 1.328 ribu barel setara minyak per hari (MBOEPD). Akan tetapi selama kurun waktu tahun 2011-2013, realisasi lifting gas bumi terus mengalami penurunan menjadi 1.214 MBOEPD pada tahun 2013. Selama periode Desember 2013 s.d. Maret 2014, realisasi lifting gas bumi mencapai 1.301ribu barel setara minyak per hari dan untuk keseluruhan tahun 2014, lifting gas diperkirakan mencapai 1.224 ribu barel setara minyak per hari, lebih rendah bila dibandingkan dengan asumsi lifting gas bumi pada APBN tahun 2014 yang ditetapkan sebesar 1.240 ribu barel setara minyak perhari. Jika produksi Minyak dan Gas Bumi digabungkan, seharusnya Indonesia masih bisa melakukan swasembada energi. Artinya, subsidi energi yang ada di APBNP jauh lebih rendah dari apa yang diasumsikan selama ini.

Sebetulnya yang lebih penting dan mendasar dari alasan penolakan tersebut diatas adalah semangat yang terkandung di dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat 3 yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Produksi Migas dalam negeri yang lebih banyak dipasok oleh produksi IOC hingga mencapai 75 %, sementara Pertamina sebagai NOC pemerintah hanya mampu memasok sisa kebutuhan dalam negeri, menunjukan pemerintah telah mengangkangi amanat para pendiri bangsa ini. Migas, sebagai salah satu Sumber Daya Alam yang dimiliki Indonesia, sudah seharusnya dan sepantasnya dikelola negara dan dipersembahkan bagi pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri. Pemerintahan Jokowi-Jk lebih suka berpegang pada UU Nom 22 Tahun 2001 Pasal 28 yang berbunyi: “Harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”. Meskipun sebetulnya, Pemerintahan Jokowi-Jk tidak konsisten.

Ketika pemerintah belum terlihat mempunyai konsep dan akan melakukan pembenahan sektor transportasi, serta ketiadaan keinginan pemerintah untuk melakukan investasi di sektor migas, maka tidak selayaknya mereka mencabut subsidi dengan alasan pemborosan. Ketika pemerintah belum terlihat melakukan pembenahan untuk memaksimalkan produksi kilang-kilang minyak peninggalan jaman Belanda, atau melakukan pencarian sumber-sumber kilang minyak baru untuk meningkatkan tingkat produksi Migas, menuju swasembada energi, alasan masyarakat yang disuarakan para mahasiswa selayaknya mendapatkan pertimbangan utama.

Harapan realisasi kebijakan Tri Sakti nya Bung Karno, yang selama masa kampanye telah menjadi identitas kubu Jokowi-Jk, seakan menuju keruntuhan. Harapan untuk menjadi sebuah bangsa yang berdaulat dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain, yang dibebankan pada pundak pemerintahan baru, semakin menjauh dan menipis. “Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalam Bidang Ekonomi dan Berkepribadian dalam Budaya” seakan hanya menjadi kenangan semu belaka. Pemerintahan populis berbaju kesederhanaan dan kesahajaan yang tetap saja menghamba dan membebek pada kaki tangan neoliberalisme, sepatutnya kita sematkan pada pemerintahan bekas Walikota Solo ini. PDIP, sebagai partai utama pengusung Jokowi untuk menjadi presiden, selayaknya harus ingat pada apa yang mereka lakukan semasa pemerintahan SBY selama ini, yaitu dengan melakukan penolakan terhadap kebijakan pengurangan subsidi energi. Jangan sampai menghianati amanah dan kepercayaan rakyat yang telah mendukungnya untuk menjadi partai pemenang dalam pemilu 2014 kemarin.

Kelik Ismunanto, kader Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid